Tanya Jawab

Soal Jawab: Dalil Dipilihnya Mu’awin Yang Paling Tua Menjadi Amir Muaqat

بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau

Jawaban Pertanyaan: Penjelasan Pasal 33 di Muqaddimah ad-Dustur

(Kosongnya Jabatan al-Khalifah dan Mu’awin Yang Paling Tua Menjadi Amir Muaqat)

Kepada Omar Almukhtar

 

Pertanyaan:

Dengan nama Allah yang Maha Agung, dan kepada-Nya aku meminta pertolongan.

‘Alimuna al-jalil, assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya punya dua pertanyaan dan mohon perkenan Anda menjawabnya. Saya memohon kepada Allah agar menguatkan langkah-langkah Anda dan langkah-langkah para pejuang untuk melanjutkan kehidupan islami:

Di dalam Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mûjibah bagian I halaman 135 pasal 33 ayat B dinyatakan: “jika al-Khalifah wafat atau dipecat sebelum penunjukan amir muaqat, atau kosongnya jabatan al-Khilafah pada kondisi selain karena wafat atau dipecat, maka mu’awin yang paling tua menjadi amir muaqat.” Apa dalil pasal ini? Dan kenapa mu’awin yang paling tua yang menjadi amir muaqat dan bukan yang lebih muda?

 

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pasal 33 dijelaskan dengan baik di Muqaddimah ad-Dustûr, dan itu berkaitan dengan dua perkara: pertama, penunjukkan amir muaqat oleh khalifah sebelum wafatnya, dan kedua, urutan yang disebutkan jika khalifah sebelum wafatnya tidak menunjuk amir muaqat.

Adapun perkara pertama, dalilnya seperti di pasal tersebut adalah ijmak. Di dalam Muqaddimah ketika menjelaskan pasal ini dikatakan:

(Khalifah ketika merasa sudah dekat ajalnya, menjelang kosongnya jabatan al-Khilafah dengan jangka waktu yang sesuai, khalifah berhak menunjuk amir muaqat untuk mengurusi perkara kaum muslimin selama jangka waktu proses pengangkatan al-Khalifah yang baru. Dan amir muaqat itu melangsungkan aktifitasnya setelah wafatnya al-Khalifah. Dan aktifitasnya yang mendasar adalah menyelesaikan pengangkatan al-Khalifah yang baru dalam jangka waktu tiga hari.

Amir muaqat tidak boleh mengadopsi hukum. Sebab itu adalah bagian dari wewenang al-Khalifah yang dibaiat oleh umat. Demikian juga, amir muaqat tidak boleh mencalonkan diri untuk al-Khilafah atau mendukung calon, sebab Umar ra., menunjuk amir muaqat dari selain orang yang ia calonkan untuk al-Khilafah.

Jabatan amir muaqat berakhir dengan diangkatnya al-Khalifah yang baru. Sebab tugasnya dibatasi jangka waktunya dengan tugas tersebut.

Adapun dalil hal itu adalah apa yang diperbuat oleh Umar pada saat tertikam. Yang demikian itu diketahui oleh para sahabat ridhwanullah ‘alayhim tanpa ada yang mengingkari sehingga menjadi ijmak.

Umar ra. telah berkata kepada enam orang calon ketika Umar ra. tertikam:

«وليصلِّ بكم صهيب هذه الأيام الثلاثة التي تتشاورون فيها»

“dan hendaknya Shuhaib memimpin shalat kalian pada tiga hari dimana kalian bermusyawarah.”

Kemudian Umar berkata kepada Shuhaib seperti yang ada di Târîkh ath-Thabarî:

«صل بالناس ثلاثة أيام، إلى أن قال: فإن اجتمع خمسة، ورضوا رجلاً، وأبى واحد، فاشدخ رأسه بالسيف …»

“Pimpinlah shalat masyarakat tiga hari” sampai ia berkata: “jika lima orang sepakat dan mereka ridha dengan seorang laki-laki, sementara satu orang lainnya menolak, maka penggallah kepalanya dengan pedang…”

 

Ini berarti bahwa Shuhaib ditunjuk sebagai amir atas mereka. Dia telah ditunjuk sebagai amir untuk shalat. Dan kepemimpinan shalat waktu itu berarti kepemimpinan masyarakat. Dan karena ia diberi wewenang sanksi (‘uqubat) “penggallah lehernya”, sementara tidak ada yang melaksanakan sanksi pembunuhan kecuali seorang amir.

Perkara ini telah sempurna terjadi diketahui oleh para sahabat tanpa ada yang mengingkari, sehingga merupakan ijmak bahwa al-Khalifah berhak menunjuk amir muaqat yang menangani proses pengangkatan al-Khalifah yang baru) selesai.

Adapun perkara kedua, yaitu tatacara penunjukan amir muaqat jika al-Khalifah tidak menunjuk amir muaqat dan prioritas dalam hal itu, maka itu merupakan perkara administratif dan boleh diadopsi pasal yang merinci perkara administratif ini. Atas dasar itu maka disebutkan di dalam pasal 33: (… Mu’awin yang paling tua menjadi amir muaqat, kecuali jika ia ingin mencalonkan diri untuk al-Khilafah, maka yang menjadi amir muaqat adalah mu’awin tertua berikutnya … begitulah. Dan jika semua mu’awin ingin mencalonkan maka wuzara at-tanfidz yang paling tua menjadi amir muaqat, kemudian yang tertua berikutnya jika ia (yang lebih tua) ingin mencalonkan diri untuk al-Khilafah … begitulah. Dan jika semua wuzara at-tanfidz ingin mencalonkan diri untuk al-Khilafah maka amir muaqat itu dibatasi pada mu’aqin at-tanfidz yang paling muda.)

Perlu diketahui, dalam pengadopsian (tabanni) ini telah diperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang seharusnya. Para mu’awin adalah orang yang paling mengetahui pemerintahan dan paling banyak penelaahan atas jalannya berbagai perkara pada masa Khalifah sebelumnya. Berikutnya dalam hal pengetahuan dan pengalaman itu disusul oleh wuzara at-tanfidz karena keterkaitan mereka dengan khalifah dan aktifitas-aktifitas khalifah. Mereka semua adalah orang yang lebih afdhal untuk menangani kepemimpinan sementara. Dan karena para mu’awin adalah sama, tidak ada yang lebih utama diantara mereka dalam hal perbantuan (al-mu’âwanah), dan wuzara at-tanfidz juga demikian halnya, maka faktor usia menjadi faktor yang tepat untuk pengutamaan, sebagaimana dalam hal kepemimpinan shalat. Jika para mushalli setara dalam hal syarat-syarat imamah maka dikedepankan yang lebih tua. Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahih-nya dari Syu’bah dari Ismail bin Raja’, ia berkata: “aku mendengar Aws bin Dham’aj berkata: “aku mendengar Abu Mas’ud berkata: “Rasulullah saw bersabda kepada kita:

: «يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً، فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً، فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً، فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا، وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ، وَلَا فِي سُلْطَانِهِ، وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ، أَوْ بِإِذْنِهِ»

“Yang mengimami kaum adalah yang paling paham terhadap Kitabullah dan paling banyak bacaannya. Jika qira’ah mereka setara, maka yang mengimami adalah yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka sama dalam hal hijrah, maka yang mengimami mereka adalah yang lebih tua. Dan janganlah seseorang diimami pada keluarganya dan jangan pula dalam kekuasaannya. Jangan duduk di tempat duduknya di rumahnya kecuali ia mengijinkan untukmu, atau dengan izinnya.”

 

Atas dasar itu, maka perkara administratif yang diadopsi dalam masalah ini adalah dikedepankannya mu’awin yang paling tua, kemudian yang berikutnya. Kemudian wuzara at-tanfidz yang paling tua, dan disusul yang berikutnya, begitulah.)

 

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

02 Sya’ban 1435 H

31 Mei 2014 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_36543

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Close