FiqihTsaqofah

Pria-Wanita Haram Berprofesi Yang Merusak Akhlak Pribadi dan Masyarakat

Islam melarang pria dan wanita bekerja atau dipekerjakan pada pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan kerusakan akhlak dan mafsadat di tengah-tengah masyarakat.  Di antara usaha yang dilarang di dalam Islam adalah mempekerjakan wanita untuk dieksploitasi kecantikan, kemolekan dan kesensualannya. Wanita dipekerjakan berdasarkan kemampuan kerja. Bukan berdasarkan kecantikan, kemolekan, sensualitas dan lain sebagainya.   Rafi’ bin Rifa’ah ra. menuturkan:

نَهَانَا رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْأَمَّةِ إِلَّا مَا عَمِلَتْ بِيَدَيْهَا وَقَالَ : هَكَذَا بَأَصَابِعِهِ نَحْوِ الْخُبْزِ وَالْغُزْلِ وَالنَّقْشِ

Rasulullah saw. telah melarang kami dari apa yang diusahakan budak perempuan, kecuali apa yang dihasilkan oleh kedua tangannya.   Rafi’ berkata, “Yang dikerjakan tangannya misalnya adalah membuat roti, mencuci dan memahat.” (HR Ahmad dan al-Hakim).

 

Yang dimaksud dengan al-kasb (usaha) di sini adalah al-maksûb (yang diusahakan) (Bustân al-Akhbâr, 1/158).

Maksud hadis ini adalah seorang wanita dilarang bekerja pada setiap pekerjaan yang mengeksploitasi kecantikan, kemolekan, sensualitas dan lain sebagainya.  Pekerjaan selain itu dibolehkan. Seseorang tidak boleh pula mempekerjakan pria dan wanita pada pekerjaan-pekerjaan yang mengeksploitasi sensualitas dan maskulinitas mereka serta pekerjaan-pekerjaan yang bisa merusak kehidupan masyarakat.

Di dalam Kitab Syarh Sunan Abî Dâwud, ‘Abd al-Muhsin al-Ibad berkata, “Imam Abu Dawud menuturkan hadis dari Rafi’ bin Rifa’ah ra. bahwa Nabi saw. melarang sesuatu yang diharamkan.  Beliau menyebutkan di antara perkara yang diharamkan itu, yakni mempekerjakan budak wanita, kecuali apa yang ia hasilkan dari tangannya; yakni seperti mencuci, menjahit atau pekerjaan-pekerjaan lain yang dilakukan oleh tangannya. Adapun jika usaha itu dari jalan yang diharamkan atau syubhat, maka inilah yang dimaksud dengan larangan dari kasb al-ammah (apa yan diusahakan budak wanita).” (Abd al-Muhsin al-‘Ibad, Syarh Sunan Abî Dâwud, 1/2).

Di dalam beberapa hadis sahih dituturkan bahwasanya sebaik-baik penghasilan adalah apa-apa yang diperoleh dari usaha sendiri. Abu ‘Abdullah al-Zubair bin al-’Awwam menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ أَحْبُلَهُ فَيَأْتِي الْجَبَلَ فَيَجِئَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِه فَيَبِيعَهَا فَيَسْتَغْنِيَ بِثَمَنِهَا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Sungguh sekiranya salah seorang di antara kalian mengambil seutas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, yang dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, maka itu lebih baik bagi dirinya daripada ia meminta-minta kepada sesama manusia baik mereka memberi ataupun tidak memberi (HR al-Bukhari).

 

Imam as-Sanadi, dalam Syarh Sunan Ibnu Mâjah, mengatakan bahwa apa yang diperoleh manusia dengan cara yang terhormat, yakni bekerja keras di kehidupan dunia, lebih baik dibandingkan dengan apa yang dia peroleh dengan cara meminta-minta meskipun ia bekerja keras untuk kehidupan akhiratnya (As-Sanadi, Syarh Sunan Ibnu Mâjah, hadis nomor 1826).

Miqdam bin Ma’dikarib ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِه وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِه

Tidak ada seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada memakan dari hasil usahanya sendiri. Sungguh Nabi Allah Dawud as. makan dari hasil usahanya sendiri (HR al-Bukhari).

 

Hadis ini menerangkan bahwa sebaik-baik makanan adalah apa yang diusahakan dari jerih payahnya sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain (Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, hadis nomor 1930).

Abu Hurairah ra. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَة عَلَى ظَهْرِه خَيْر لَه مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَه أَوْ يَمْنَعَهُ

Sungguh sekiranya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan dia pikul ikatan kayu itu, maka yang demikian itu lebih baik bagi dirinya daripada ia meminta-minta kepada seseorang baik orang itu memberi ataupun tidak memberi (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa sebaik-baik penghasilan adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan halal serta hasil dari apa yang diusahakan kedua tangannya. Sebaliknya, Islam melarang penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan haram. Di antaranya adalah hasil dari mengeksploitasi ketampanan, kecantikan, kemolekan dan sensualitas.

Larangan mengeksploitasi kecantikan dan ketampanan dalam mempekerjakan laki-laki maupun wanita juga didasarkan pada kaidah ushul fikih:

أَلْوَسِيْلَة إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمٌ

Sarana yang mengantarkan pada keharaman adalah haram.

 

Seseorang dilarang melakukan suatu pekerjaan yang bisa menjadi sarana/wasilah menuju perbuatan haram.  Mempekerjakan seorang pria atau wanita agar bisa dieksploitasi ketampanan dan kecantikannya merupakan wasilah menuju perbuatan-perbuatan haram. Bagi wanita itu sendiri, ia, misalnya, berusaha tampil semenarik mungkin, seronok dan sensual  hingga taraf memancing syahwat lawan jenisnya. Akibatnya, tidak jarang mereka membuka aurat, bersolek (tabarruj) dan melakukan interaksi-interaksi lawan jenis yang diharamkan oleh syariah Islam.

Adapun dari sisi masyarakat, adanya wanita-wanita yang dipekerjakan karena kecantikan, kemolekan dan kesensualannya, akan menimbulkan mafsadat bagi masyarakat. Muncullah di tengah-masyarakat, pelecehan terhadap wanita, perzinaan, memandang wanita dengan cara menikmati kecantikannya, dan lain sebagainya,   Oleh karena itu, Islam melarang mempekerjakan pria maupun wanita pada pekerjaan-pekerjaan yang merusak akhlak dan menimbulkan kerusakan masyarakat.

Di tengah-tengah masyarakat kapitalis dengan mudah ditemui wanita-wanita yang bekerja di mal, di showroom mobil, dan lain sebagainya. Mereka berpakaian seronok, berdandan menor dan berpenampilan menggoda untuk menarik perhatian calon pembeli.  Begitu pula sales girl yang menjajakan produk-produk tertentu. Mereka dipilih dari kalangan pria atau laki-laki yang seksi dan sensual agar produk-produk mereka laku terjual.  Pramugari di pesawat terbang, kapal pesiar atau kereta eksklusif berdandan menor menonjolkan kecantikan dan keseksiannya. Padahal pekerjaannya hanya menyediakan makanan dan minuman bagi para penumpang. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini termasuk mengeksploitasi aspek-aspek kecantikan dan kesensualan yang merusak akhlak dan melanggar larangan-larangan syariah.

Atas dasar itu, semua pekerjaan yang diduga kuat menjatuhkan seseorang para perbuatan-perbuatan haram, merusak akhlak dan menimbulkan mafsadat bagi masyarakat diharamkan.

Larangan mengeksploitasi kecantikan dan ketampanan dalam pekerjaan juga didasarkan pada kaidah ushul fikih lain, yakni:

كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْأَمْرِ الْمُبَاحِ إِذَا كَانَ ضَارًا أَوْ مُؤَدِّيًا إِلَى ضَرَرٍ حُرِمَتْ ذَلِكَ الْفَرْدُ وَظَلَّ الْأَمْرُ مُبَاحًا

Setiap perkara di antara perkara-perkara mubah, jika mengandung madarat (bahaya) atau mengantarkan kepada kemadaratan (bahaya), maka perkara mubah itu diharamkan, sedangkan perkara itu tetap dalam hukum kemubahan.  

 

Seorang laki-laki maupun perempuan dilarang bekerja pada profesi yang menjatuhkan masyarakat atau dirinya pada keharaman atau kemadaratan.  Di dalam Kitab Fath al-Bâri disebutkan:

وَقِيلَ الْمُرَاد بِكَسْبِ الْأَمَة جَمِيع كَسْبهَا وَهُوَ مِنْ بَابٍ سَدّ الذَّرَائِع لِأنها لَا تُؤْمَنَ إِذَا أُلْزِمَتْ بِالْكَسْبِ أَنْ تَكْسِب بِفَرْجِهَا

Dinyatakan: yang dimaksud dengan mempekerjakan budak wanita adalah semua bentuk “memperkerjakan dia”, dan ini masuk dalam bab sad al-dzarâ’i’.  Sebab, budak wanita tidak akan aman jika diwajibkan bekerja sehingga ia akan bekerja dengan kemaluannya (Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bâri, 7/75. Maktabah Syamilah).

 

Dalam masyarakat kufur demokrasi, banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang memanfaatkan atau mengeksploitasi kecantikan dan ketampanan seseorang, semacam pramugari di pesawat terbang, bintang iklan yang menonjolkan seksualitas, sales girl, pemain sinetron, artis, penyanyi wanita, front office, penjaga toko, mal, dan lain sebagainya.   Contoh lain adalah wanita-wanita cantik yang dipekerjakan di showroom mobil atau anak-anak yang bertampang tampan dan cantik yang dipekerjakan di rumah-rumah makan, hotel, wanita yang bekerja di klub-klub malam, bilyard, dan lain sebagainya.  Profesi-profesi semacam ini pada dasarnya menjadikan kecantikan wanita dan ketampanan laki-laki sebagai obyek eksploitasi.  Seorang  Muslim dan Muslimah dilarang bekerja atau mempekerjakan orang lain dalam profesi-profesi semacam ini, baik profesi yang mengeksploitasi seksualitas, kecantikan, dan ketampanan, maupun profesi yang bisa mengantarkan pada kemadaratan umat dan dirinya sendiri. [Gus Syams]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close