Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu… Syaikhunâ al-ghâli, semoga Allah senantiasa menjaga Anda dari segala keburukan dan memberikan kekuasaan kepada Anda di muka bumi.
Kita punya pemahaman bahwa ahlu al-fatrah adalah selamat dari azab Allah pada Hari Kiamat … Dan mereka adalah orang-orang yang belum diutus Rasul kepada mereka berdasarkan firma Allah SWT:
﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا﴾
“dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (TQS al-Isra’ [17]: 15).
Akan tetapi, ada hadits-hadits yang memberi pengertian bahwa orang arab jahiliyah dan sebelum diutusnya Muhammad saw bahwa mereka adalah orang kafir dan bahwa mereka di neraka…. Di dalam Shahih Muslim:
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ الرَّسُوْلَ ﷺ: أَيْنَ أَبِيْ؟ فَقَالَ: أَبُوْكَ فِيْ النَّارِ. فَحَزِنَ الرَّجُلُ. فَقَالَ لَهُ ﷺ: أَبِيْ وَأَبُوْكَ فِيْ النَّارِ
“bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasul saw: “di mana bapakku?” Maka Rasul saw menjawab: “bapakmu di neraka”. Lalu laki-laki itu bersedih. Rasul saw pun bersabda: “bapakku dan bapakmu di neraka”.
Dan ada lebih dari satu syâhid (riwayat lain yang semakna) atas perkara ini …
Pertanyaannya: bagaimana mempertemukan antara kedua perkara itu? Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.
Adel Abu Ahmad
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
- Pertanyaan Anda adalah tentang apa yang dinyatakan di asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III pada tema “Lâ Hukma Qabla Wurûdi Asy-Syar’i –Tidak Ada Hukum Sebelum Dinyatakannya Syariah-“:
“… sesuatu dan perbuatan tidak boleh diberikan hukum kecuali jika ada dalil syar’iy atas hukum ini. Sebab tidak ada hukum untuk sesuatu dan perbuatan orang berakal sebelum dinyatakannya syariah. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT:
﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا﴾
“dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (TQS al-Isra’ [17]: 15).
Dan karena firman Allah SWT:
﴿لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ﴾
“agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” (TQS an-Nisa’ [4]: 165).
Dan karena hukum itu tidak bisa ditetapkan kecuali dengan satu di antara dua hal: syara’ atau akal. Adapun akal maka tidak ada tempatnya di sini. Sebab masalahnya adalah masalah pewajiban dan pengharaman, sementara akal tidak mungkin mewajibkan atau mengharamkan, dan masalah itu bukan obyeknya akal, melainkan obyeknya syara’. Jadi hukum tersebut bergantung pada syara’… Dan tidak ada makna hal itu kecuali dinafikannya hukum secara penuh dari manusia sebelum Allah mengutus seorang rasul untuk mereka. Dari sini maka ahlu al-fatrah, mereka selamat. Dan mereka adalah orang-orang yang hidup di antara hilangnya risalah dan diutusnya risalah. Hukum mereka adalah seperti hukum orang-orang yang belum sampai risalah kepada mereka. Hal itu seperti orang yang hidup sebelum diutusnya Rasul Muhammad saw …” selesai.
Dan ini berarti bahwa manusia yang hidup di antara diutusnya Rasul saw dan diutusnya nabi-nabi sebelum beliau (yakni ahlu al-fatrah), mereka selamat sebab mereka belum sampai risalah kepada mereka. Ini jika mereka adalah musyrik atau belum mengikuti risalah. Adapun ahlul kitab maka mereka telah mengikuti risalah kemudian mereka ubah dan palingkan. Jadi mereka (ahlul kitab) telah mengikuti rasul dan telah sampai kepada mereka risalah, kemudian mereka ubah dan palingkan. Karena itu mereka tidak dinilai sebagai bagian dari ahlu al-fatrah, sebab ahlu al-fatrah adalah orang-orang yang belum mengikuti risalah seorang rasul… Atas dasar itu maka ahlul kitab tidak dinilai termasuk ahlul al-fatrah… Demikian juga orang kafir arab tidak dinilai termasuk ahlul al-fatrah sebab telah sampai Islam kepada mereka. Lalu bagaimana dengan kaum kafir yang hidup di tengah kaum Muslim? Jadi ahlu al-fatrah adalah orang-orang yang belum sampai dakwah kepada mereka. Selain mereka maka tidak termasuk ahlu al-fatrah.
- Adapun hadits-hadits yang menunjukkan bahwa orang arab jahiliyah yang mati sebelum diutusnya Rasul saw, mereka itu diazab… dan dengan begitu berarti bertentangan dengan konotasi yang ditunjukkan oleh (madlûl) ayat yang mulia bahwa ahlu al-fatrah mereka selamat… Maka hadits-hadits ini dikaji sesuai ketentuan ushul. Jika mungkin dipertemukan maka ini yang dijadikan sandaran. Dan jika tidak bisa dipertemukan maka dilakukan tarjih atau hadits tersebut ditolak secara dirayah… Berdasarkan hal ini kami paparkan hadits-hadits ini sebagai berikut:
- Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîh-nya: telah menceritakan hadits kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan hadits kepada kami Affan telah menceritakan hadits kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas:
«أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النَّارِ. فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ»
“bahwa seorang laki-laki bertanya: “ya Rasulullah saw, di mana bapakku?” Rasul saw menjawab: “di neraka”. Ketika laki-laki itu bersedih, beliau memanggilnya dan beliau bersabda: “bapakku dan bapakmu di neraka”.
- Ibnu Majah telah mengeluarkan di Sunan-nya dari az-Zuhri dari Salim dari bapaknya yakni Abdullah bin Umar, ia berkata:
«جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي كَانَ يَصِلُ الرَّحِمَ وَكَانَ وَكَانَ فَأَيْنَ هُوَ؟ قَالَ: فِي النَّارِ. قَالَ: فَكَأَنَّهُ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ. فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَيْنَ أَبُوكَ؟ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ مُشْرِكٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ»
“Seorang arab badui datang kepada Nabi saw lalu berkata: “ya Rasulullah sesungguhnya bapakku dahulu menyambung tali kekerabatan, dan begini dan begini, lalu di mana bapakku?” Beliau menjawab: “di neraka”. Abdullah bin Umar berkata: “seolah ada sesuatu dari hal itu, maka laki-laki itu berkata: “ya Rasulullah, di mana bapakmu?” Rasulullah saw bersabda: “di mana saja kamu melewati kubur orang musyrik maka beri dia kabar gembira dengan neraka”.
Al-Bushiri berkata: “ini adalah sanad shahih dan para perawinya tsiqah”. Dan di az-Zawâid: “sanad hadits ini shahih”.
Dinyatakan di Hasyiyah as-Sindi ‘alâ Sunan Ibni Mâjah (I/476, 477) tentang hadits Ibnu Majah di atas sebagai berikut:
“As-Suyuthi berkata: melainkan beliau menyebutkannya, yakni “bapakku dan bapakmu di neraka” dalam hadits Muslim, disebutkan oleh Hamad bin Maslamah dari Tsabit dan Ma’mar dari Tsabit telah menyelesihinya dan beliau tidak menyebutkannya, akan tetapi beliau bersabda: “idzâ mararta biqabrin kâfirin fabasysyirhu bi an-nâr –jika engkau melewati kuburan orang kafir maka beri kabar gembira kepadanya dengan neraka-“. Dan tidak ada dalalah dalam lafazh ini atas kondisi orang tua, dan itu lebih tetap (kuat). Ma’mar lebih kuat dari Hamad, sebab Hamad dipermasalahkan dalam hal hafalannya dan di dalam hadits-haditsnya terjadi beberapa munkar dan al-Bukhari tidak mentakhrij untuknya dan tidak pula Muslim dalam ushul kecuali dari riwayatnya dari Tsabit. Adapun Ma’mar maka tidak dipermasalahkan dalam hal hafalannya dan tidak dimunkarkan sedikitpun dari haditsnya dan asy-Syaikhan sepakat mentakhrij untuknya. Jadi lafazh Ma’mar lebih kuat. Kemudian, kami temukan hadits tersebut dinyatakan dari hadits Sa’ad bin Abi Waqash dengan semisal lafazh Ma’mar dari tsabit dari Anas yang dikeluarkan oleh al-Bazar, ad-Daraquthni dan al-Baihaqi. Dan demikian juga dari hadits Ibnu Umar, diriwayatkan oleh Ibnu Majah sehingga telah ditentukan penyadaran (al-i’timâd) terhadap lafazh ini dan dikedepankan atas yang lain, maka diketahui bahwa riwayat Muslim itu berasal dari tindakan perawi dengan berdasarkan pemahamannya… Para imam kami Syafi’iyah dan al-Asy’ariyah telah menerapkan bahwa siapa saja yang kepadanya belum sampai dakwah, dia tidak diazab dan masuk ke surga berdasarkan firman Allah SWT:
﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا﴾
“dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (TQS al-Isra’ [17]: 15).
Wallâh a’lam”, selesai.
- Ath-Thabarani telah mengeluarkan di al-Mu’jam al-Kabîr dari az-Zuhri, dari ‘Amir bin Sa’ad dari bapaknya yakni Sa’ad bin Abi Waqash ra, ia berkata:
«جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ: إِنَّ أَبِي كَانَ يَصِلُ الرَّحِمَ، وَكَانَ وَكَانَ، فَأَيْنَ هُو؟ قَالَ: فِي النَّارِ، فَكَأنَّ الأَعْرَابِيَّ وُجِدَ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَيْنَ أَبُوكَ؟، قَالَ: حَيْثُ مَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ» قال الهيثمي رجاله رجال الصحيح.
“Seorang arab badui datang kepada Nabi saw lalu berkata: “sesungguhnya bapakku dahulu menyambung tali kekerabatan, dan begini dan begini, lalu di mana dia?” Beliau menjawab: “di neraka”. Maka seolah ada sesuatu dari hal itu, lalu laki-laki itu berkata: “ya Rasulullah, di mana bapakmu?” Rasulullah saw bersabda: “di mana saja kamu melewati kubur orang kafir maka beri dia kabar gembira dengan neraka”. (al-Haytsami berkata: para perawinya perawi shahih).
- Dan al-jam’u (pertemuan/kompromi) di antara dalil-dalil ini sebagai berikut:
– Ayat tersebut memberi pengertian bahwa ahlu al-fatrah, mereka selamat tidak diazab… Oleh karena itu hadits manapun yang bertentangan dengan ayat tersebut tidak bisa dijadikan sandaran jika tidak bisa dipertemukan di antara keduanya…
– Mungkin untuk mempertemukan keduanya dengan apa yang dikatakan oleh as-Suyuthi tentang hadits Muslim seperti yang ada di Hasyiyah as-Sindi ‘alâ Sunan Ibni Mâjah bahwa Rasul saw, berdasarkan yang lebih rajih beliau tidak menjawab penanya (dengan jawaban) “inna abî wa abâka fî an-nâr –sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka-“, tetapi beliau menjawabnya “idzâ mararta bi qabri kâfirin fabasysyirhu bi an-nâr –jika engkau melewati kubur orang kafir maka beri kabar gembira kepadanya dengan neraka-“. Yang merajihkan itu adalah apa yang ada di hadits ath-Thabarani dari Sa’ad bin Abi Wqash ra dan hadits Ibnu Majah dari Ibnu Umar ra.
- Dan ringkasnya, bahwa jawaban atas hukum tentang ahlu al-fatrah bahwa mereka itu selamat… yang saya rajihkan dari bab al-jam’u bayna al-adillah (mempertemukan di antara dalil-dalil) adalah apa yang dikatakan oleh as-Suyuthi: “as-Suyuthi mengatakan di Hasyiyah kitab ini yakni Sunan Ibni Majah termasuk jawaban yang baik bahwa tatkala orang arab badui itu mendapati dalam dirinya (kesedihan), Nabi saw melembutkannya dan beralih ke jawaban umum pada setiap orang musyrik dan beliau tidak masuk ke jawaban tentang orang tua Rasul dengan menafikan atau menetapkan”… Hal itu seperti yang ada di hadits ath-Thabarani:
«حَيْثُ مَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ» قال الهيثمي رجاله رجال الصحيح.
“Di mana saja kamu melewati kubur orang kafir maka beri dia kabar gembira dengan neraka”.
Dan hadits Ibnu Majah:
«حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ مُشْرِكٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ»
“di mana saja kamu melewati kubur orang musyrik maka beri dia kabar gembira dengan neraka”.
Dan keduanya adalah hadits shahih. Ini yang saya pandang dalam mempertemukan di antara ayat tersebut, dengan disertai penegasan bahwa kontradiksi apapun antara ayat dan hadits jika terhalang dipertemukan maka hukum yang diambil adalah: hadits ditolak secara dirayah dan ayat yang dijadikan sandaran sebagaimana yang sudah makruf dalam ushul. Wallâh a’lam wa ahkam.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
18 ramadhan 1439 H
3 Juni 2018 M
http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/52757.html