Fiqih
Wakaf
Definisi Wakaf
Al-waqf berasal dari waqafa–yaqifu–waqf[an]. bentuk jamaknya awqâf. Secara bahasa ia berati habbasa (menahan/menghalangi). Al-Quran menyatakan kata waqafa sebanyak empat kali (QS al-An’am [6]: 27 dan 30; Saba’ [34]: 31) ash-Shaffat [37]: 24). Semuanya dalam makna menahan atau menghalangi.
Selanjutnya para ulama menggunakan kata al-waqf (wakaf) itu untuk menyebut suatu bentuk sedekah yang dinyatakan dan dideskripsikan di dalam hadis, yaitu shadaqah jâriyah.
Para fukaha mendefinisikan wakaf (al-waqf) sebagai: tahbîs al-ashl wa tasbîl ats-tsamrah ‘alâ birr[in] aw qurbat[in] (menahan atau menghalangi asal (pokok harta) dan mengalirkan (mendermakan) buah (hasil, manfaat atau kegunaannya) untuk kebaikan atau kerabat).1 Maksud dari menahan atau menghalangi tersebut adalah menahan atau menghalangi harta dari kepemilikan oleh seseorang atau suatu pihak, baik yang mewakafkan atau yang lain. Definisi tersebut digali dari riwayat Ibn Umar yang menuturkan bahwa Umar pernah mendapat harta sangat berharga berupa kebun kurma di Khaibar yang disebut Tsamghu dan Umar ingin menyedekahkannya. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah. Rasul menjawab:
إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا
Jika engaku mau, engkau dapat menahan pokoknya dan bersedekah dengannya (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad)
Dalam riwayat lain dari Ibn Umar, Rasul menjawab:
تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ
Bersedekahlah dengan pokoknya; tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwarisi; tetapi hasilnya dibelanjakan. (HR al-Bukhari).
Dalam kelanjutan riwayat di atas disebutkan: Umar lalu bersedekah dengannya untuk jihad fi sabilillah, membebaskan budak, untuk orang-orang miskin, para tamu, ibn sabil dan kaum kerabat. Orang yang mengurusnya tidak mengapa makan darinya secara makruf atau memberi makan temannya, tanpa memilikinya (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah, Ahmad).
Hukum Wakaf
Wakaf hukumnya sunnah sebagai bentuk dari shadaqah jâriyah, yang pahalanya akan terus mengalir meski pelakunya telah meninggal dunia.
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika manusia mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak salih yang mendoakannya. (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
Sedekah jariah tersebut adalah wakaf.2
Para Sahabat sangat memperhatikan wakaf. Jabir menuturkan bahwa tidak seorang pun dari Sahabat Nabi saw. yang memiliki kemampuan kecuali ia mewakafkan hartanya.3 Menurut Imam Syafii, wakaf dari para Sahabat itu hampir tak terhitung jumlahnya. Wakaf Nabi saw., keluarga Beliau kalangan Ahlul Bait dan dari kaum Muhajirin terkenal luas di Madinah dan Makkah. Lebih dari delapan puluh Sahabat dari kalangan Anshar mewakafkan hartanya dan masih ada.4
Beberapa Ketentuan Tentang Wakaf
Wakaf termasuk muamalah yang bukan akad, melainkan tasharruf. Muamalah itu ada dua jenis. Pertama: muamalah yang kehendaknya berasal dari kedua pihak. Muamalah jenis ini disebut akad. Kedua: muamalah yang kehendaknya hanya berasal dari satu pihak. Muamalah jenis ini disebut tasharruf, seperti sedekah dan wakaf. Di dalam tasharruf ini tidak perlu ijab-Qabul.
Wakaf harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Al-Wâqif: yaitu pihak yang mewakafkan. Wakaf, sebagaimana sedekah, merupakan bentuk taqarrub kepada Allah sehingga pelakunya harus Muslim. Karena itu, tidak boleh menerima wakaf dari non-Muslim. Al-Wâqif itu haruslah orang yang sah melakukan tasharruf yakni balig, berakal dan sah mengelola harta. Karena wakaf hakikatnya adalah mengeluarkan harta dari kepemilikan, maka al-wâqif haruslah pemilik sah harta yang diwakafkan. Dilihat dari sisi ini, jika seseorang mendapat harta dengan jalan yang haram, ia tidak boleh memanfaatkan atau membelanjakan harta itu; sekalipun untuk kebaikan, termasuk wakaf. Jika ia mewakafkannya maka ia berdosa. Al-Wâqif tidak harus atas namanya sendiri. Ia boleh mewakafkan harta atas nama orangtua atau kerabat yang sudah meninggal. Ibn Abbas menuturkan, Saad ibn Ubadah berkata kepada Nabi saw.:
إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Ibuku meninggal dunia dan aku tidak ada di sisinya, apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas namanya?” Nabi menjawab, “Ya, benar,” Saad berkata, “Kalau begitu, aku persaksikan kepada engkau bahwa kebunku al-Mikhrâf ini menjadi sedekah atas nama ibuku.” (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat an-Nasa’i dan ad-Daraquthni, Saad mewakafkan sumur atas nama ibunya.
Al-Wâqif tidak harus perseorangan, namun bisa juga kelompok. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Bani Najar mewakafkan kebun mereka untuk Masjid Nabawi pada masa Nabi saw.
- Al-Mawqûf (al-Mawqûf ‘alayh), yaitu harta yang diwakafkan. Sering disebut al-waqf (wakaf). Harta ini haruslah harta yang halal zatnya dan halal diperjualbelikan. Selain itu, harta tersebut haruslah harta yang zatnya bertahan lama, yakni jika diambil manfaatnya, zatnya masih bertahan. Jika zatnya habis seiring pemanfaatannya, seperti makanan, minuman, wewangian, uang dan semisalnya, maka harta seperti ini tidak bisa diwakafkan.
- Shighat (redaksi) wakaf. Wakaf bisa dilakukan dengan perkataan, misal dengan mengatakan, “Ini saya wakafkan untuk…” Jika dalam bahasa Arab bisa menggunakan lafazh waqafa, habbasa atau sabbala; bisa juga dengan kata lain yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah wakaf. Menurut para ulama, wakaf juga bisa dilakukan dengan perbuatan, misalnya membangun masjid, lalu dikumandangkan azan untuk shalat berjamaah secara umum atau untuk shalat Jumat, maka secara syar‘i masjid itu telah berstatus wakaf. Dalam hal ini, hendaknya dipersaksikan, dilaporkan atau dicatatkan kepada hakim.
- Al-Mawqûf ilayh (pihak yang menjadi tujuan wakaf). Wakaf boleh diberikan kepada kerabat atau anak keturunan dan disebut waqfu adz-dzurî; boleh juga untuk selain kerabat misal untuk kaum fakir miskin, ibn sabil dsb; atau untuk kebaikan secara umum atau untuk kepentingan tertentu (misal, masjid, pendidikan, makam, jalan, dsb). Wakaf demikian disebut waqf al-khayrî.
Pengelolaan Harta Wakaf
Setelah diwakafkan, harta itu sudah keluar dari kepemilikan al-wâqif dan berubah menjadi milik Allah atau kaum Muslim secara umum. Dalam hadis tentang wakaf Umar di atas jelas bahwa harta wakaf itu tidak bisa atau tidak boleh dijual, dihibahkan ataupun diwarisi. Artinya, harta wakaf itu harus tetap menjadi harta wakaf selamanya, haram dimiliki secara pribadi oleh siapapun.
Namun, sesuai hadis di atas, orang yang mengurus harta wakaf itu boleh makan darinya menurut kepatutan. Ia boleh memberi makan temannya dari hasil harta wakaf itu. Namun, ia tidak boleh memiliki harta wakaf tersebut. Pengurusan harta wakaf oleh orang itu hakikatnya merupakan amanah agar harta wakaf itu tetap bisa diambil manfaatnya, tidak hilang, rusak atau habis.
Adapun mengubah harta wakaf bisa terjadi dalam dua bentuk. Pertama: mengganti bentuk harta karena adanya keperluan, karena harta itu tidak bisa secara langsung dimanfaatkan untuk tujuan wakafnya. Misalnya, wakaf tanah untuk jihad, maka tanah itu bisa dijual dan dibelikan sesuatu sebagai gantinya yang bisa digunakan di dalam jihad. Dalam konteks ini bisa juga mengubah sekaligus memindahkan tempat harta wakaf itu. Umar bin al-Khaththab pernah memerintahkan Saad bin Abi Waqash, ketika menjadi wali di Kufah, untuk memindahkan Masjid Kufah yang lama ke tempat lain dan membangun Baitul Mal di sebelah kiblat masjid. Lalu tempat masjid lama itu diubah menjadi pasar bagi pedagang kurma. Kedua: mengubah harta wakaf untuk kemaslahatan yang lebih. Umar dan Utsman, misalnya, pernah merehab dan memperbesar Masjid Nabawi. Apa yang dilakukan Umar di atas atau perombakan Masjid Nabawi oleh Umar dan Utsman itu diketahui oleh para Sahabat dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Hal itu menujukkan adanya Ijmak Sahabat akan kebolehan hal itu.5
Inilah beberapa ketentuan pokok tentang wakaf. Ketentuan rinci dan banyak ketentuan lain tentang wakaf dapat dirujuk dalam kitab-kitab fikih yang ada. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman].
Catatan kaki:
1 Lihat: Musa ibn Ahmad ibn Salim al-Maqdisi Abu an-Naja, Zâd al-Mustaqni’, iv/240, Maktabah an-Nahdhah al-Haditsh, Mekah. tt; Al-Bahuti, Kasyâf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, iv/240-dst, Dar al-Fikr. tt; Ibn Qudamah, ‘Umdah al-Fiqh, i/165-dst, Maktabah ath-Tharfin, Thaif. tt
2 Lihat: Abu Thayyib, ‘Awn al-Ma’bûd, viii/62, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. ii.1415; an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, i/90, Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi, Beirut, cet. ii. 1392; al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwâdzi, iv/522, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut. tt
3 Ibrahim ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Muflih, al-Mubdi’, v/312, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1400.
4 Al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar, x/233, Dar al-Wafa’, Mesir, 1412
5 Lihat: As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, iii/265, Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah.