Tsaqofah
Kedudukan Mayoritas dan Minoritas Dalam Islam
Soal: Bagaimana pandangan Islam tentang kelompok mayoritas maupun minoritas dalam Negara Khilafah? Apakah ada istilah mayoritas dan minoritas dalam Negara Khilafah?
Jawab:
Istilah kelompok mayoritas dan kelompok minoritas sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah Islam. Karena itu istilah ini tidak pernah digunakan dalam sejarah maupun fikih Islam. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya istilah ini:
1- Adanya Nation State, dengan batas teritorial yang baku sehingga individu yang menetap di dalam wilayah terirorialnya tidak bisa berpindah ke wilayah lain, kecuali adanya izin dari Nation State kedua.
2- Hilangnya kontrol negara yang adil, yang direpresentasikan oleh Negara Khilafah, sehingga bisa menegakkan keadilan di dalam dan di luar wilayahnya, serta mencegah terjadinya kezaliman dalam segala bentuknya.1
Ketika pengaruh Khilafah Islam mulai melemah, istilah ini muncul. Ini sekaligus menegaskan bahwa istilah minoritas dan mayoritas ini bukan istilah Islam, tetapi istilah politik baru. Istilah ini baru digunakan sejak era penjajahan, sebagai bagian dari strategi devide et impera (politik belah bambu).
Istilah minoritas didefinisikan dengan sekelompok penduduk di sebuah daerah, wilayah atau negara, yang berbeda dengan mayoritas, dengan ras, bahasa dan agama tanpa harus melihat posisi politik tertentu.2 Dalam konvensi internasional disebut bahwa minoritas adalah ratusan rakyat sebuah negara, yang terdiri dari etnis, bahasa atau agama, yang berbeda dengan mayoritas penduduknya.3
Dalam Negara Khilafah, istilah mayoritas dan minoritas ini tidak ada, dan tidak akan digunakan. Negara Khilafah yang dibangun berdasarkan akidah Islam, dan menerapkan hukum Islam secara kâffah kepada seluruh rakyat. Negara Khilafah akan melebur seluruh rakyatnya, baik Muslim maupun non-Muslim, Arab maupun non-Arab, dalam satu ikatan ideologi yang sama, yaitu Islam. Setelah dilebur dengan ideologi yang sama, seluruh bangsa dan pemeluk agama yang hidup di dalam wilayah Khilafah mempunyai loyalitas yang sama kepada Islam. Meski mereka bukan Muslim. identitas mereka juga sama, yaitu Islam, termasuk bahasanya, yaitu bahasa Arab yang merupakan bahasa Islam.
Mengenai tidak adanya minoritas dan mayoritas karena faktor etnis, suku dan bangsa, jelas telah dinyatakan oleh Nabi saw.:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى، أَبَلَّغْتُ ؟ قَالُوا: بَلَّغَ رَسُولُ اللَّهِ
“Wahai umat manusia, ingatlah bahwa Tuhan kalian adalah satu, dan nenek moyang kalian juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab atas bangsa non-Arab, juga bangsa non-Arab atas bangsa Arab; bangsa berkulit putih atas bangsa kulit hitam, juga bangsa kulit hitam atas bangsa kulit putih, kecuali karena ketakwaannya. Apakah aku sudah menyampaikan?” Mereka [para sahabat] menjawab, “Rasulullah saw. telah menyampaikan.” (HR Ahmad). 4
Ini adalah penegasan Nabi saw. saat khutbah Haji Wada’. Dengan tegas Nabi saw. menyatakan bahwa identitas ketakwaan atau Islam itulah satu-satunya identitas yang ada; sementara identitas kesukuan, etnis dan bangsa semuanya telah dilebur dalam identitas keislaman. Karena itu meski suku, etnis dan bangsa tertentu jumlahnya banyak, itu tidak menentukan kedudukannya di dalam Islam. Yang menentukan adalah kualitas ketakwaan atau keislamannya.
Dengan demikian aspek dan faktor kesukuan, etnis dan bangsa yang menjadi penyebab lahirnya kelompok mayoritas dan minoritas jelas telah dihapus oleh Islam. Sebabnya, siapapun sama kedudukannya di dalam Islam. Inilah yang juga ditunjukkan oleh Nabi saw. ketika beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah untuk menjadi pimpinan sementara di Madinah, selama Nabi saw. tidak berada di tempat saat berperang. Padahal Muhammad bin Maslamah bukan dari suku Quraisy. Begitu juga Abu Bakar yang dari suku Quraisy menjadi Khalifah, menggantikan Nabi saw., meski suku Quraisy di Madinah merupakan suku minoritas karena yang menjadi pertimbangan bukan faktor kesukuan, tetapi keislamannya.
Begitu juga aspek dan faktor agama, bukan karena banyaknya pemeluknya, tetapi karena loyalitas yang harus diberikan oleh para pemeluk agama kepada Islam meski boleh jadi di wilayah tersebut pemeluk Islam tidak banyak. Ketika Negara Islam berdiri di Madinah, jumlah pemeluk Islam dibanding dengan pemeluk Yahudi dan penganut pagan (musyrik) hampir berimbang, jika tidak bisa dikatakan kalah. Begitu juga setelah Negara Islam menaklukkan berbagai wilayah yang ada di Jazirah Arab, tidak semuanya Muslim. Bahkan Nabi saw. memberikan jaminan kepada non-Muslim untuk tetap dibiarkan memeluk agamanya:
وَكَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ:[مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ وَأَنَّهُ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ يَهُودِيٍّ، أَوْ نَصْرَانِيٍّ، فَإِنَّهُ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، لَهُ مَا لَهُمْ وَعَلَيْهِ مَا عَلَيْهِمْ، وَمَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّتِهِ، أَوْ نَصْرَانِيَّتِهِ، فَإِنَّهُ لا يُفْتَنُ عَنْهَا، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ]
Baginda telah menulis surat kepada penduduk Yaman, “Dari Muhammad, Rasulullah kepada penduduk Yaman. Bahwa, siapa saja dari kalangan Yahudi yang memeluk Islam, atau dari kalangan Nasrani yang memeluk Islam, maka dia termasuk orang Mukmin. Dia akan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan mereka. Siapa saja yang tetap memeluk Yahudi atau Nasrani tidak boleh dipaksa meninggalkannya. Atas dirinya diwajibkan jizyah.” (HR al-Qasim dalam kitab Al-Amwâl).
Ini membuktikan bahwa persoalan mayoritas dan minoritas karena faktor agama dalam pandangan Islam sebenarnya tidak ada. Sebabnya, Islam yang diterapkan sebagai ideologi mengatur Muslim dan non-Muslim dengan aturan yang adil. Masing-masing juga diatur dengan hukum yang jelas dan detail tanpa dilihat mayoritas atau minoritas jumlah pemeluknya. Non-Muslim, meski berstatus sebagai Ahli Dzimmah, mempunyai hak yang sama dengan kaum Muslim, kecuali dalam perkara yang dikhususkan kepada kaum Muslim. Mereka tidak dilihat sebagai kelompok minoritas non-Muslim.
Begitu juga minoritas dan mayoritas karena faktor bahasa. Sebabnya, apapun latar belakang etnis, suku dan bangsanya, ketika mereka hidup di wilayah Islam, mereka harus menggunakan bahasa Arab, sebagai bahasa Islam, bahasa persatuan dan kesatuan. Karena itu bangsa-bangsa non-Arab pun akhirnya menguasai bahasa Arab. Dari sana lahir ribuan ulama yang menguasai bahasa Arab, meski mereka bukan orang Arab. Sebut saja, Imam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan al-Hakim dari kalangan ahli hadis; Imam az-Zamakhsyari, al-Qurthubi, Ibn Katsir dan as-Suyuthi dari kalangan ahli tafsir; Sibawaih, Ibn Sikiyat dan lain-lain dari kalangan ahli bahasa. Mereka semuanya bukan orang Arab. Namun, bahasa Arab sebagai bahasa Islam telah menjadikan mereka menguasai bahasa tersebut, bahkan melebihi orang Arab sendiri.
Karena itu Nabi saw. menyatakan:
أَحِبُّوا الْعَرَبَ لِثَلاثٍ: لأَنِّي عَرَبِيٌّ، وَالْقُرْآنُ عَرَبِيٌّ، وَكَلامُ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَرَبِيٌّ
Cintailah Arab karena tiga alasan: karena aku adalah Arab, al-Quran berbahasa Arab dan bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab (HR ath-Thabrani, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Mempelajari, menguasai dan menggunakan bahasa Arab bukan karena suku, etnik dan bangsanya, tetapi karena perintah Nabi saw. dan tuntutan Islam. Karena itu bahasa Arab adalah bahasa Islam. Ketika bahasa ini digunakan semata karena Islam, bukan karena dominasi bangsa Arab atas bangsa non-Arab, atau Arab mayoritas, dan non-Arab sebagai minoritas. Tidak, tetapi semata karena ini adalah bahasa Islam.
Islam tidak memberangus kebebasan beragama non-Muslim. Mereka tetap dibolehkan beribadah, makan, minum, berpakaian, menikah dan talak berdasarkan agama mereka. Namun, dalam urusan lain yang tidak diatur oleh agama mereka, seperti politik dalam dan luar negeri, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial, sanksi hukum, dan peradilan, mereka tunduk dan loyal pada Islam. Jika dalam seluruh aspek di luar aspek-aspek yang diatur oleh agama mereka, mereka tunduk dan loyal kepada Islam, Negara Khilafah pun tidak akan memerangi mereka. Sebaliknya, mereka berhak mendapat perlindungan dari negara sebagai Ahli Dzimmah dengan hak yang sama dengan kaum Muslim, kecuali apa yang dikhususkan untuk kaum Muslim.
Dengan demikian jelas istilah mayoritas dan minoritas yang lahir karena faktor etnis, bahasa dan agama tersebut tidak ada dalam Islam. Istilah ini juga berbahaya karena merupakan bagian dari strategi yang digunakan oleh penjajah untuk terus-menerus mengontrol negeri-negeri kaum Muslim. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Sulaiman Muhammad Tubuliyah, Al-Ahkam as-Siyasiyyah li al-‘Aqalliyat al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islami, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1997 M/1417 H, hal. 27-28.
2 ‘Abdul Wahhab al-Kayali, Mawsu’ah as-Siyasah, al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah li ad-Dirasah wa an-Nasyr, Beirut, cet. I, 1987, Juz I/244.
3 Ahmad ‘Athiyyatullah, Al-Qamus as-Siyasi, Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, Kaero, cet. II, 1968, hal. 96.
4 Lihat: al-Albani, Silsilah al-Ahâdits as-Shahîhah, Juz VI/199.