Tanya Jawab

SJ: Seputar Taqiyah

(Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Berbagai Pertanyaan di Akun Facebook Beliau)

 

Jawaban Pertanyaan: Seputar Taqiyah

Kepada Abu Muhammad as-Suwalamah

 

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Al-‘alim al-jalil Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah hafizhakumullah.

Saya mohon kelapangan hati dan waktu Anda untuk menjawab pertanyaan berikut:

“Menteri Wakaf dan Urusan Tempat Suci Islam Yordania mengatakan bahwa Rasul SAW melakukan taqiyah. Dan bahwa taqiyah itu dinyatakan dalam nas al-Quran dan hadits asy-syarif. Ada keyakinan keliru bahwa taqiyah itu bagian dari mazhab syiah. Ia berargumentasi dengan ayat:

مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (TQS an-Nahl [16]: 106)

Dan dengan hadits Rasul SAW:

«إِنَّ فِي الْمَعَارِيضَ مَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ»

Sesungguhnya di dalam al-ma’ârîdh ada keleluasaan jauh dari kebohongan

Dan bahwa Rasul SAW melakukan taqiyah ketika ditanya seorang Badui dari mana Anda? Maka Rasul SAW menjawab “min mâ` -dari air-“, dan yang beliau maksudkan adalah dari air yang hina. Menteri itu mengatakan itu seraya berkata kepada qadhi, “Bukankah ini adalah taqiyah?” Sebagaimana ia menekan qadhi atas penolakannya untuk mengkafirkan syiah, seraya meyakini bahwa orang-orang syiah adalah muslim, selama mereka bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

Ia mengatakan bahwa perbedaan antara taqiyah yang syar’i dan taqiyah syiah bahwa taqiyah syiah dianggap bagian dari ushuluddin dan keharusan i’tiqad, bahkan tidak ada agama dan iman bagi orang yang tidak ada taqiyah. Sementara taqiyah syar’i adalah bagian dari masalah furu’ bukan ushul, dan tidak apa-apa jika seorang muslim meninggalkannya dan tidak mengambil taqiyah”.

Pertanyaannya:

Apakah istidlal dengan ayat dan hadits tersebut atas masalah taqiyah adalah benar?

Apakah benar apa yang dia katakan tentang perbedaan antara taqiyah syar’iyah dan taqiyah syiah?

Allah SWT berfirman:

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. (TQS Ali Imran [3]: 28)

Ibn Jarir berkata, “Taqiyah yang disebutkan oleh Allah di ayat ini tidak lain taqiyah terhadap orang kafir, bukan kepada selain mereka”. Sa’id bin Jubair berkata, “Di dalam Islam tidak ada taqiyah, melainkan taqiyah itu untuk ahlul harb”.

Apakah maksud ayat tersebut taqiyah?

Apakah mungkin kita katakan tentang semua orang syi’ah bahwa mereka adalah muslim padahal mereka mengatakan al-Quran itu telah diselewengkan dan mereka melaknat khulafa ar-rasyidun ridhwanullâh ‘alayhim dan mempertuhankan sayiduna Ali karramallâh wajhah …?

Saya sampaikan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Anda.

 

Jawaban:

Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Sesungguhnya menteri itu mencampuradukkan antara tiga perkara dan dia letakkan di satu wadah untuk masalah yang sama. Kami tidak ingin mengatakan lebih banyak!

Perkara pertama, taqiyah di dalam ayat yang mulia:

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. (TQS Ali Imran [3]: 28)

Perkara kedua, ayat yang mulia:

مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (TQS an-Nahl [16]: 106)

Perkara ketiga, hadits Rasulullah saw yang dikeluarkan oleh Abu Bakar al-Baihaqi (w. 458H) di Syu’ab al-Îmân dari Mutharrif bin Abdullah, ia berkata, “Kami bertemu dengan Imran bin Hushain dari dari Bashrah ke Kufah, dia mengatakan:

«إِنَّ فِي الْمَعَارِيضَ مَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ»

Sesungguhnya di dalam al-ma’ârîdh ada keleluasaan jauh dari kebohongan

Ini yang benar adalah mawquf”. Ibn al-A’rabi (w. 340H) telah mengeluarkan di Mu’jam-nya secara marfu’, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Dawud bin az-Zibriqan dari Sa’id dari Qatadah dari Zurarah bin Abi Awfa dari Imran bin Hushain bahwa Nabi SAW bersabda:

«إِنَّ فِي الْمَعَارِيضَ مَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ»

Sesungguhnya di dalam al-ma’ârîdh ada keleluasaan jauh dari kebohongan

Tiga perkara ini masing-masing topiknya sendiri. Ketiganya tidak boleh dikumpulkan di satu tempat. Untuk menjelaskan hal itu kami katakan:

Pertama, adapun taqiyah yang dibolehkan secara syar’i adalah taqiyah antara muslim terhadap kaum kafir. Yaitu bila seorang muslim hidup di tengah kaum kafir di bawah kekuasaannya. Dia terancam oleh siksaan yang luar biasa jika muslim itu tidak menampakkan loyalitas dan kecintaannya kepada mereka … Jika masalahnya demikian, maka boleh bagi muslim itu menampakkan kecintaan kepada mereka dengan lisannya, tanpa hatinya. Akan tetapi seorang Muslim tidak boleh menampakkan di depan muslim lainnya yang berbeda dengan apa yang dia batin, siapapun muslim itu, baik dia dari kalangan awam atau kalangan khusus, seperti penguasa yang zalim. Ini secara syar’iy tidak boleh.

Dalil atas hal itu adalah nas ayat yang mulia dan topiknya. Adapun nas, Allah SWT berfirman:

لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu). (TQS Ali Imran [3]: 28)

Adapun topik ayat tersebut maka itu jelas di dalam nasnya: yaitu berwalinya orang-orang mukmin kepada orang-orang kafir, yakni menampakkan pertemanan kepada mereka … Nas tersebut adalah:

لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. (TQS Ali Imran [3]: 28)

Dan jika dinyatakan ayat atau hadits pada topik tertentu maka ia khusus pada topik itu dan tidak mencakup topik lainnya…

Ayat tersebut diturunkan pada kondisi kaum Muslimin yang belum berhijrah dan tetap berada di Mekah di bawah kekuasaan kaum kafir Quraisy. Mereka dipaksa atas perkara mereka. Jika mereka menampakkan permusuhan dan tidak loyal kepada Quraisy, maka akan mendapatkan siksaan yang keras … maka ayat tersebut mengecualikan mereka. Jadi makna ayat tersebut adalah:

Pengharaman yang keras untuk persahabatan (muwâlâh) kaum Mukmin kepada kaum kafir dengan bentuk persahabatan apapun. Pengharaman itu ditegaskan dengan firman Allah SWT:

وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ

Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah (TQS Ali Imran [3]: 28)

Kemudian ayat tersebut mengecualikan satu kondisi, yakni kondisi yang menyerupai kondisi kaum Muslimin yang belum berhijrah dari Mekah. Mereka tetap berada di bawah kekuasan kafir Quraisy dan dipaksa atas urusan mereka. Mereka akan mendapat siksaan seandainya menampakkan permusuhan dan tidak bersahabat dengan Quraisy. Inilah kondisi yang dikecualikan.

Atas dasar itu, menampakkan kecintaan kepada penguasa muslim karena takut siksaannya, sementara dia seorang yang zalim dan fasik yang memerintah dengan kekufuran, itu adalah haram. Demikian juga menampakkan kecintaan kepada muslim yang menyalahi pendapat Anda dan membatin kebencian terhadapnya juga haram. Berpura-pura menampakkan tidak terikat dengan Islam atau tidak memperhatikan Islam di depan orang kafir atau di depan orang fasik dan zalim adalah tidak boleh. Semua itu dan semacamnya merupakan nifak yang telah diharamkan oleh syara’ atas kaum Muslimin. Sebab topik:

إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً

kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. (TQS Ali Imran [3]: 28)

terbatas pada kejadian kondisi kaum Muslimin yang berada di Mekah di tengah kaum musyrik. Artinya terbatas pada kondisi keberadaan kaum Muslimin di bawah kekuasaan kaum kafir, dan tidak ada kemampuan untuk menghilangkan kekuasaan kaum kafir, yakni mereka dipaksa atas urusannya.

Imam ath-Thabari (w. 310H) mengatakan di dalam tafsirnya: “pendapat tentang takwil firman Allah:

لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (TQS Ali Imran [3]: 28)

Sampai firman Allah:

إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً

kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. (TQS Ali Imran [3]: 28)

Abu Ja’far berkata: “Ini adalah larangan dari Allah azza wa jalla untuk kaum Mukminin dari menjadikan kaum kafir sebagai pendukung, penolong dan penopang, kecuali kaum Mukmin ada dalam kekuasaan mereka dan takut kepada mereka atas dirinya, sehingga kaum Mukmin menampakkan persahabatan kepada kaum kafir dengan lisannya … dan tidak mengikuti kaum kafir itu atas kekufuran yang mereka jalani, dan tidak menolong mereka melawan muslim secara riil”.

Atas dasar itu hilanglah apa yang mereka sebut taqiyah yaitu seorang mukmin menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang di batinnya di depan penguasa zalim atau fasik yang memiliki kekuatan, atau menyalahi pendapat atau semacamnya. Perbuatan itu adalah haram, sebab itu adalah nifak dan nifak semuanya haram.

Kedua: ayat yang mulia

مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (TQS an-Nahl [16]: 106)

Topiknya adalah topik kufur setelah beriman. Yakni topik murtad dari Islam. Dan kondisinya adalah kondisi khawatir mati. Itu yang disebut oleh para fukaha al-ikrâh al-mulji`. Paksaan seperti itu saja yang diakui secara syar’i, yang di situ diangkat (dimaafkan) hukum dari orang yang dipaksa. Paksaan yang dikecualikan secara syar’i adalah al-ikrâh al-mulji`. Dan itu adalah kondisi takut dibunuh secara yakin. Ayat tersebut turun tentang Amar bin Yasir ra. Ia diambil dan disiksa orang-orang kafir. Ibu dan bapaknya dibunuh karena menolak untuk kafir … Mereka menyiksa Amar bin Yasir dengan siksaan yang sangat pedih, sehingga ia mendekati kematian seperti ibu bapaknya. Pada saat itu, Amar mengatakan kata-kata kufur. Ath-Thabari berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abdul A’la, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsawr dari Ma’mar dari Abdul Karim al-Jazriy dari Abu Ubaid bin Muhammad bin Amar bin Yasir, ia berkata, “Kaum musyrik mengambil Amar bin Yasir. Mereka menyiksanya hingga ia menaati sebagian apa yang mereka inginkan. Lalu hal itu disampaikan kepada Nabi SAW, maka Nabi SAW bersabda:

«كَيْفَ تَجِدُ قَلْبَكَ؟ قَالَ: مُطْمَئِناً بِاْلإِيْمَانِ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِنْ عَادُوْا فَعُدَّ»

“Bagaimana engkau dapati hatimu?” Amar berkata, “Tenteram dengan keimanan”. Nabi saw bersabda, “Jika mereka kembali (melakukannya) maka kembali (ulangi)”

Begitulah, sebab turunnya ayat tersebut adalah kejadian Amar dan topiknya adalah murtad dari Islam. Kondisinya khusus dengan hal itu, yaitu takut dibunuh secara yakin. Ini saja cukup untuk menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara taqiyah dengan ayat:

إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً

kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. (TQS Ali Imran [3]: 28)

Terlebih bahwa ayat

إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (TQS an-Nahl [16]: 106)

Adalah ayat Makiyyah dan diturun pada topik keimanan. Dan ayat

إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً

kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. (TQS Ali Imran [3]: 28)

Adalah ayat madaniyah diturunkan pada topik pengharaman muwalah kaum mukminin kepada kaum kafir dan dikecualikan kondisi yang dijelaskan oleh ayat tersebut. Karena itu, ayat yang pertama berbeda dengan ayat kedua dan keduanya tidak saling intervensi dan tidak terkait dengan taqiyah, disebabkan perbedaan kondisi dan topik. Jadi seorang muslim jika dia berada di bawah kekuasaan kaum kafir dan dipaksa atas urusannya di tengah kaum kafir, maka muslim itu tidak boleh murtad dari Islam dan menampakkan kesopanan kepada mereka. Akan tetapi ia wajib berhijrah jika dia tidak mampu melaksanakan agamanya. Berbeda dengan muwalah dengan lisannya tanpa hatinya, maka itu adalah boleh. Akan tetapi jika muslim tadi khawatir atas dirinya dari pembunuhan yang sangat mungkin terjadi atau dipaksa atas kekufuran, maka ia boleh menampakkan kekufuran dan menyimpan keimanan. Tampak jelas perbedaan di antara kedua ayat yang mulia itu.

Ketiga, hadits Rasul saw yang marfu’ dan mawquf:

«إِنَّ فِي الْمَعَارِيضَ مَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ»

Sesungguhnya di dalam al-ma’ârîdh ada keleluasaan jauh dari kebohongan

Ini dinyatakan alam topik at-tawriyah, dan bukan dari bab berbohong atau menampakkan sesuatu berbeda dengan batinnya. Akan tetapi at-tawriyah itu dari sisi kejujuran. Jadi digunakan kata yang memiliki dua makna: makna yang jauh dan makna yang dekat. Sehingga langsung terlintas di benak makna yang dekat, padahal yang dimaksudkan adalah makna yang jauh. Ini makna al-ma’âridh.

Di Mukhtar ash-Shihah dinyatakan: “at-ta’rîdh: lawan at-tashrîh (menyatakan terbuka), dan darinya al-ma’ârîdh pada ucapan dan itu adalah at-tawriyah dengan sesuatu dari sesuatu.” Al-Mandûhah, Abu ‘Ubaid berkata, yakni luas (sa’atan) dan longgar (fasihatan). Dan jika demikian makna itu adalah penggunaan al-ma’ârîdh atau at-tawriyah adalah jalan menjauhi kebohongan. Jawaban Rasul saw kepada orang tua itu ketika bertanya “dari mana anda?”, maka Rasul saw berkata “nahnu min mâ` -kami dari air-“, ini adalah at-tawriyah dan bukan taqiyah: di dalam sirah Ibn Hisyam dinyatakan:

الرَّسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ يَتَعَرَّفَانِ أَخْبَارَ قُرَيْشٍ… ثُمَّ نَزَلَ قَرِيبًا مِنْ بَدْرٍ، فَرَكِبَ هُوَ وَرَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ: قَالَ ابْنُ هِشَامٍ: الرَّجُلُ هُوَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ. قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ كَمَا حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ حِبَّانَ: حَتَّى وَقَفَ عَلَى شَيْخٍ مِنْ الْعَرَبِ، فَسَأَلَهُ عَنْ قُرَيْشٍ، وَعَنْ مُحَمَّدٍ وَأَصْحَابِهِ، وَمَا بَلَغَهُ عَنْهُمْ، فَقَالَ الشَّيْخُ: لَا أُخْبِرُكُمَا حَتَّى تُخْبِرَانِي مِمَّنْ أَنْتُمَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا أَخْبَرْتنَا أَخْبَرْنَاكَ. قَالَ: أَذَاكَ بِذَاكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ الشَّيْخُ فَإِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ مُحَمَّدًا وَأَصْحَابَهُ خَرَجُوا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا، فَإِنْ كَانَ صَدَقَ الَّذِي أَخْبَرَنِي، فَهُمْ الْيَوْمَ بِمَكَانِ كَذَا وَكَذَا، لِلْمَكَانِ الَّذِي بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَبَلَغَنِي أَنَّ قُرَيْشًا خَرَجُوا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا، فَإِنْ كَانَ الَّذِي أَخْبَرَنِي صَدَقَنِي فَهُمْ الْيَوْمَ بِمَكَانِ كَذَا وَكَذَا لِلْمَكَانِ الَّذِي فِيهِ قُرَيْشٌ. فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ خَبَرِهِ، قَالَ: مِمَّنْ أَنْتُمَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَحْنُ مِنْ مَاءٍ، ثُمَّ انْصَرَفَ عَنْهُ. قَالَ يَقُولُ الشَّيْخُ: مَا مِنْ مَاءٍ، أَمِنْ مَاءِ الْعِرَاقِ؟ قَالَ ابْنُ هِشَامٍ: يُقَالُ: ذَلِكَ الشَّيْخُ: سُفْيَانُ الضَّمَرِيُّ

Rasul SAW dan Abu Bakar mencari berita Quraisy … kemudian beliau sampai di dekat Badar, maka beliau dan sahabat beliau naik hewan tunggangan: Ibn Hisyam berkata: laki-laki itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibn Ishaq mengatakan seperti yang diceritakan kepadaku oleh Muhammad bin Yahya bin Hibban: sehingga beliau berdiri di hadapan seorang tua dari orang arab. Beliau lalu bertanya tentang Quraisy, tentang Muhammad, sahabatnya dan apa yang telah sampai kepadanya tentang mereka (Quraisy). Orang tua itu berkata: “Aku tdak memberitahu kalian berdua sampai kalian memberitahuku siapa kalian berdua?” Maka Rasulullah SAW berkata: “Jika engkau memberitahu kami, kami beritahu engkau.” Beliau berkata: “Bukankah itu dengan itu?” Orang tua itu berkata: “Benar.” Orang tua itu berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa Muhammad dan para sahabatnya keluar pada hari anu dan anu, jika orang yang memberitahuku berkata benar, maka mereka hari ini ada di tempat anu dan anu, tempat di mana Rasulullah SAW berada, dan telah sampai kepadaku bahwa Quraisy keluar hari anu dan anu dan jika orang yang memberitahuku berkata benar, maka mereka hari ini ada di tempat anu dan anu, di tempat di mana Quraisy berada. Ketika orang tua itu selesai dengan beritanya dia berkata: dari mana kelian berdua? Maka Rasulullah saw berkata: “Kami dari mâ`.” Kemudian beliau pergi darinya. Orang tua itu berkata: “Dari mâ` atau m` Irak?” Ibn Hisyam berkata: dikatakan: orang tua itu Sufyan adh-Dhamari.”

Jadi Rasul saw ketika mengatakan kepada orang tua itu atas pertanyaannya dari mana kalian? Rasul menjawab “Kami dari mâ`,” beliau menggunakan at-tawriyah dan ma’ârîdh al-kalâm. Kata mâ` memiliki makna air biasa dan punya makna air kehidupan yakni nuthfah yang darinya diciptakan janin. Maka langsung terlintas di benak orang tua itu dari kampung atau daerah di mata air tertentu. Seperti dahulu orang arab tinggal di sekitar air. Jadi Rasul SAW tidak menggunakan taqiyah, sebab taqiyah itu tidak boleh kecuali dalam kondisi seorang muslim dipaksa (dikuasai) atas urusannya di bawah pemerintahan kaum kafir untuk menolak keburukan/kejahatan dan siksaan mereka. Pada selain kondisi itu, maka taqiyah tidak boleh, sebab merupakan kebohongan dan nifak, dan Rasul tentu jauh dari hal itu. Sebab Rasul SAW adalah ash-shâdiq al-mashdûq.

Menteri itu telah berbuat buruk dengan ucapannya tentang Rasul SAW bahwa beliau menggunakan taqiyah. Mudah-mudahan menteri itu membaca jawaban ini lalu dia meminta ampunan Allah SWT dan bertaubat kepada-Nya. Mudah-mudahan dia melakukannya. Kami menyukai untuk setiap muslim agar tertunjuki kepada kebenaran dan bertaubat dari kesalahan, sebagaimana sabda Rasul SAW:

«كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ» الترمذي

Setiap anak Adam mungkin berbuat salah dan sebaik-baik orang berbuat salah adalah mereka yang bertaubat (HR at-Tirmidzi)

Adapun terkait dengan Syiah yang mengikuti mazhab Ja’fari, maka pada asalnya mereka termasuk kaum Muslimin. Adapun orang yang mengatakan al-Quran telah disimpangkan, menuhankan Ali radhiyallâh ‘anhu, maka orang yang begitu adalah kafir dan tidak dihitung bagian dari kaum Muslimin.

 

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

29 Sya’ban 1434

08 Juli 2013

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close