Tafsir

Potret Buruk Gembong Kekufuran (1)

(QS al-Muddatstsir [74]: 11-13)

ذَرۡنِي وَمَنۡ خَلَقۡتُ وَحِيدٗا  ١١ وَجَعَلۡتُ لَهُۥ مَالٗا مَّمۡدُودٗا  ١٢ وَبَنِينَ شُهُودٗا  ١٣

Biarkanlah Aku (bertindak) terhadap orang yang telah Aku ciptakan seorang diri, yang telah Aku beri kekayaan yang melimpah, juga anak-anak yang selalu bersama dirinya (QS al-Muddatstsir [74]: 11-13).

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: ذَرۡنِي وَمَنۡ خَلَقۡتُ وَحِيدٗا (Biarkanlah Aku [bertindak] terhadap orang yang Aku sendiri telah menciptakannya). Ayat ini turun berkenaan dengan Walid bin al-Mughirah. Demikian menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ibnu Zaid, dan lain-lain.1 Bahkan banyak mufassir mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa orang yang dimaksudkan oleh  ayat ini adalah Walid bin al-Mughirah al-Makhzumi.2 

Menurut asy-Syaukani, dikhususkan penyebutannya karena kekufurannya yang semakin bertambah dan pengingkarannya yang hebat terhadap nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada dirinya.3

Khithâb (seruan)-nya ditujukan kepada Rasulullah saw.4 Kepada beliau Allah SWT berfirman: ذَرۡنِي (Biarkanlah Aku). Maknanya: دَعْنِي (Tinggalkan Aku).5 Bisa juga bermakna: دَعْنِي وَاتْرُكْنِي (Biarkan dan tinggalkanlah Aku).6 Ini merupakan kalimat ancaman dan intimidasi.7 Yang diancam adalah orang yang disebut setelah huruf alwâwu al-ma’iyyah. Menurut Ibnu ‘Asyur, huruf al-wâwu merupakan wâwu al-ma’iyyah. Jadi kata sesudahnya berkedudukan sebagai maf’ûl ma’ah. 8

Ada juga yang mengatakan bahwa huruf al-wâwu tersebut merupakan wâwu al-‘athf (kata sambung).9 Jadi al-mawshûl (مَنۡ) ma’thûf (disambungkan) kepada yâ` al-mutakallim.10

Makna اَلْوَحِيْدُ adalah الْمُنْفَرِدُ عَنْ غَيْرِهِ (yang terpisah dari lain), baik dari segi tempat maupun keadaan yang ditunjukkan oleh konteks kalimatnya, juga dari popularitas maupun kisahnya. Kata tersebut merupakan bentuk فَعِيْلٌ dari kata وَحُدَ (sendiri, bersendirian), sebagaimana kata كَرُمَ وَعَلِمَ (mulia dan mengetahui), ketika اَنْفَرَدَ (menyendiri).11

Dalam konteks ayat ini, kata tersebut berkedudukan sebagai al-hâl (yang menerangkan keadaan). Hanya saja terdapat perbedaan pendapat di kalangan para mufassir tentang al-hâl bagi siapa.

Menurut sebagian ulama, kata itu menjadi al-hâl dari mawshûl atau dhamîr al-maf’ûl al-mahdzûf (kata ganti dari objek yang dihilangkan). Diperkirakan kalimat lengkapnya adalah: خَلَقْتُهُ وَحْدَهُ (Aku yang telah menciptakan dia seorang diri). Jadi maknanya, orang yang diciptkan Allah SWT dalam keadaan seorang diri. Artinya, tidak memiliki apa pun, baik harta maupun anak.

Di antara yang menafsirkan demikian adalah al-Qurthubi. Menurut al-Qurthubi, makna ayat ini adalah: Aku telah menciptakan dia seorang diri. Tidak memiliki harta dan tidak memiliki anak. Kemudian setelah itu Aku memberi dia apa telah Aku tetapkan untuk diberikan kepada dirinya.12 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

وَلَقَدۡ جِئۡتُمُونَا فُرَٰدَىٰ كَمَا خَلَقۡنَٰكُمۡ أَوَّلَ مَرَّةٖ ٩٤

Kalian benar-benar datang sendiri-sendiri kepada Kami sebagaimana kalian Kami ciptakan pada mulanya (QS al-An’am [6]: 94).13

                  

Menurut Mujahid, ayat ini bermakna: Aku menciptakan dia seorang diri dalam perut ibunya, tidak memiliki harta dan tidak memiliki anak. Kemudian Aku berikan nikmat kepada dia, lalu dia kufur. Jadi, firman-Nya وَحِيْدًا kembali kepada al-Walid. Artinya, ia tidak memiliki apa pun, kemudian Aku membuat dia memiliki.14

Qatadah juga berkata, “Allah SWT mengeluarkan dia dari perut ibunya sendirian, tanpa harta dan anak. Kemudian Allah menganugerahi dia harta dan anak, kekayaan serta pertambahan.”15

Ibnu Jarir ath-Thabari pun berkata, “Wakilkanlah kepada-Ku, wahai Muhammad, urusan orang yang Aku ciptakan di perut ibunya seorang diri, tidak memiliki harta dan tidak memiliki anak.”16

Abu Hayyan al-Andalusi juga berkata, “Secara lahiriah kata wahîd[an] di-nashab-kan karena menjadi al-hâl bagi adz-dhamîr al-mahzhûf (kata ganti yang dihilangkan) yang kembali pada kata man. Artinya: Aku menciptakan dia dalam keadaan seorang diri. Tidak memiliki harta dan anak. Kemudian Allah SWT memberi dia harta dan anak. Lalu dia mengingkari kenikmatan-Nya, menyekutukan-Nya dan mengolok-olok agama-Nya.”17

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir, al-Mahalli, asy-Syaukani, Ibnu Abi Hatim, al-Khazin, Abdurrahman al-Sa’di, Wahbah al-Zuhaili, al-Jazairi, dan lain-lain.18

Sebagian lainnya berpendapat, kata wahîd[an] menjadi al-hâl bagi Rabb al-‘âlamin, Tuhan semesta alam. Bisa kembali ke huruf al-yâ` (kata ganti pihak pertama) pada kata ذَرْنِي (Biarkanlah Aku). Ini sebagaimana diriwayatkan dari Mujahid yang menafsirkannya, “Biarkan Aku sendiri bersama dia. Sungguh Aku mencukupimu untuk membalas hukuman dari semua orang yang menghukummu.”19

Bisa pula kembali ke huruf at-tâ‘ pada kata خَلَقْتُ (Aku ciptakan). Artinya, “Biarkanlah Aku sendiri yang bertindak kepada dia. Sungguh Aku mewakilimu untuk membalas dalam menghukum.”20

Bisa pula kembali ke huruf at-tâ‘ pada kata خَلَقْتُ (Aku ciptakan). Artinya, “Aku sendiri yang telah menciptakan dia dan tidak ada seorang pun yang ikut campur dalam penciptaan tersebut. Karena itu Aku sendiri yang akan membinasakan dirinya dan Aku tidak membutuhkan pertolongan untuk membinasakan dia.”21

Ada juga yang mengatakan bahwa kata wahîd[an] di-nashab-kan dan bermakna al-dzamm (celaan). Hal itu disebabkan karena ayat ini turun tentang al-Walid yang dijuluki dengan al-wahîd. Dia berkata, “Aku adalah al-wahîd. Tidak ada seorang pun yang setara denganku di kalangan bangsa Arab. Juga tidak ada yang setara dengan ayahku.”22 

Menurut Ibnu Abbas, al-Walid sendirilah yang menamakan dirinya al-Wahîd. Dengan demikian Allah SWT berfirman, “Biarkanlah Aku menghukum manusia yang menganggap dirinya wahîd (spesial) itu.” Bukan karena Allah membenarkan dia sebagai orang spesial.23 Allah SWT menyebut julukan itu sebagai tahakkum (ejekan, olok-olokan).24

Penafsiran lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan wahîd[an] di sini adalah orang yang tidak diketahui siapa bapaknya.25 Di antara yang berpendapat demikian adalah Abu Said adh-Dharir.26

Al-Walid adalah orang yang dikenal sebagai orang yang suka mengaku-aku sebagaimana yang telah disebutkan dalam firman-Nya:

عُتُلِّۢ بَعۡدَ ذَٰلِكَ زَنِيمٍ  ١٣

Yang bertabiat kasar, selain terkenal kejahatannya (QS al-Qalam [68]: 13).27

 

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَجَعَلۡتُ لَهُۥ مَالٗا مَّمۡدُودٗا  ١٢

Aku beri dia kekayaan yang melimpah. (QS al-Muddatstsir [74]: 12).

 

Huruf al-wâwu  pada awal ayat merupakan  harf ‘athf (kata sambung). Menurut Ibnu ‘Asyur, ini merupakan ‘athf al-khâsh ‘alâ al-‘âmm (menyambungkan yang khusus ke yang umum).28 Dalam ayat ini, Allah SWT menjadikan dia memiliki مَالٗا مَّمۡدُودٗا (harta yang melimpah). Kata اَلْمَمْدُوْدُ merupakan ism al-maf’ûl dari kata مَدَّ (memanjangkan, meluaskan).

Menurut asy-Syaukani dan as-Sa’di, makna مَمْدُودًا adalah كَثِيْرًا (banyak).29 Pendapat serupa dikatakan Ibnu Katsir yang memaknainya وَاسِعًاكَثِيرًا (yang sangat luas lagi banyak).30

Az-Zamakhsyari, al-Baidhawi dan al-Alusi mengatakan مبسوط اًكثيرا (membentang sangat banyak).31 Harta yang banyak, jika dihitung, hitungannya akan memanjang.32

Ada juga yang mengatakan bahwa harta itu يُمَدُّ (memanjang, bertambah) dengan penambahan, seperti kambing, pertanian dan berbagai macam perniagaan.33 

Menurut Ibnu Abbas ra., hartanya mamdûd (memanjang) antara Makkah hingga Thaif, yang berupa unta, kuda, kambing dan kebun-kebun yang banyak di Thaif, pohon, sungai-sungai dan uang yang banyak.34 Dia juga memiliki banyak budak laki dan budak perempuan.35

Muqatil berkata: Dia memiliki banyak kebun yang tak terputus manfaatnya oleh musim dingin maupun musim panas. Makna al-mamdûd di sini seperti halnya dalam firman-Nya:

وَظِلّٖ مَّمۡدُودٖ  ٣٠

Naungan yang terbentang luas (QS al-Waqiah [56]: 30).

 

Artinya, tidak terputus.36 Al-Zajjaj juga berkata, “Harta yang tidak terputus dari dirinya.”37 

Al-Walid bin al-Mughirah memang dikenal sebagai orang yang sangat kaya dan memiliki banyak harta dengan berbagai macam jenisnya. Hanya saja, terdapat perbedaan pendapat tentang jumlah harta yang dimiliki. Mujahid dan Said bin Jabir jumlah kekayaannya mencapai 1000 dinar. Sufyan menyebut jumlahnya ada 4000 dinar. Nu’man bin Salim mengatakan hartanya berbentuk tanah.38

AI-Qusyairi mengatakan, yang jelas ayat ini menunjukkan bahwa aI-Walid memiliki harta yang berkesinambungan dan tidak terputus, bahkan terus mengalir; seperti tanaman, peternakan dan perniagaan.39

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَبَنِينَ شُهُودٗا  ١٣

Anak-anak yang selalu bersama dia.

 

Ini adalah kenikmatan lain yang Allah berikan kepada dia. Dia diberi وَبَنِينَ شُهُودٗا (anak-anak yang selalu bersama dirinya). Yang dimaksud dengan بَنِينَ adalah ذكورا (anak-anak laki-laki).40 Menurut as-Suddi, Abu Malik dan ‘Ashim jumlah anak-anaknya ada tiga belas orang. Ibnu ‘Abbas dan Mujahid mengatakan sepuluh orang anak. Hal ini merupakan nikmat yang tiada taranya.41

Muqatil berkata, “Anaknya  berjumlah tujuh anak. Semuanya laki-laki. Tiga di antaranya masuk Islam, yaitu: Khalid, Hisyam dan al-Walid bin al-Walid.”42

Anak-anak yang diberikan kepada dia itu disifati dengan dengan kata شُهُودٗا. Kata tersebut merupakan bentuk jamak dari kata شَاهِدٍ yang berarti حَاضِرٍ (hadir, menyaksikan, tidak absen).43

Menurut al-Qurthubi, makna kata tersebut adalah selalu hadir dan tidak pernah meninggalkan dia.

Menurut Mujahid, maknanya لَا يَغِيبُوْنَ (anak-anak yang tidak pernah absen dari dirinya). Artinya, selalu ada bersama dia, tidak pernah bepergian untuk berniaga, melainkan semuanya itu telah ditangani oleh para budaknya dan pekerjanya. Mereka hanya tinggal saja bersama ayah mereka, dan ayah mereka merasa senang selalu bersama mereka serta merasa terhibur.44

Az-Zamakhsyari berkata, “Anak-anaknya tinggal bersama dia di Makkah. Tidak berpisah dari dia untuk mengurus pekerjaan dan perniagaan. Sebabnya, mereka dicukupi oleh kenikmatan ayah mereka yang melimpah. Tidak perlu melakukan usaha dan mencari penghasilan sendiri. Dengan begitu dia terhibur dengan mereka. Hatinya tidak khawatir kehilangan mereka. Tidak takut bahaya menimpa mereka. Juga tidak sedih berpisah karena berpisah dengan dan  merasa rindu kepada mereka.”45

Asy-Syaukani juga menafsirkan, “Aku telah menjadikan dia mempunyai anak-anak yang selalu di Makkah bersama dirinya. Tidak pernah bepergian dan tidak perlu berpisah  dalam untuk mencari rejeki karena harta bapaknya yang banyak.”46

Sebagian lainnya menafsirkan, mereka bersama dia dalam menghadiri perayaan, pesta dan tempat berkumpul. Al-Walid terhibur oleh mereka dan hidupnya sejahtera meski ketika berpisah dari mereka.47

Ada juga yang menghimpun kedua penjelasan tersebut sebagaimana disampaikan oleh al-Baidhawi, al-Jazairi, dan lain-lain.48 

WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 9

2        al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayn (Kairo: Dar al-Hadits, tt), 776; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 704; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10 (Beirut: Dar al-Fikr,  1420 H), 328; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 135.  Lihat juga al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 226

3        al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 391

4        Quthb, Fî Zhilâl al-Qur‘ân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Syuruq, 1992), 3756

5        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiryyah, 1964), 70; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 224

6        al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 224; all-HIjazi, al-Tafsîr al-Wâdhih, vol. 3 (Beirut: Dar al-Jalil al-Jadid, 1993), 776

7        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 70

8        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 303

9        Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I;râb al-Qur‘ân, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998),1250. Lihat juga al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayn, 776 ; al-Ukbari, al-Tibyân fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 2,1250

10      al-Du’as, I’râb al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 398

11      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 303

12      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 70

13      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 647

14      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 71

15      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 19

16      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 19

17      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 328

18      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 265; al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayn, 776; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391; Ibnu Abi Hatim, Tafsîr Ibnu Abi Hatim, vol. 10 (Saudi: Maktbah Nazar Musthafa, 1999), 3382; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 363; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 896; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 223; al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 465

19      al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 135. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 71; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 647; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 328; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 704

20      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391. Lihat juga Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 328; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 704

21      al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 135; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 71. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391. Lihat juga al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 704

22      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 704

23      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 71

24      al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy,1998), 260. Lihat juga al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 135

25      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 71; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 260

26      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 704

27      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 71

28      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 304

29      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman, 896

30      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 265

31      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 647; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 260; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 135

32      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 704

33      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 704; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 647; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 260

34      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 704

35      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 71

36      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 704

37      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391

38      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 20

39      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 71

40      al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman, 896

41      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 265. Lihat juga al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 21

42      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391

43      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 304

44      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 265

45      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 647

46      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391. Lihat juga al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 704

47      al-Shabuni, Safwat al-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 451. Lihat juga al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 648; al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 329

48      al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 260; al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close