Tsaqofah
Perang Istilah
Oleh: Utsman Zahid as-Sidany
Tentu berbahaya memahami peperangan antara Islam dan kufur hanya terbatas di medan laga (perang fisik). Padahal musuh-musuh Islam tidak pernah melewatkan satu pun kesempatan yang dapat mereka gunakan untuk menyerang Islam dan Kaum Muslim. Tak satu pun celah kecuali mereka masuki. Semuanya demi mewujudkan tujuan besar mereka: melenyapkan Islam hingga dari akar-akarnya.
يُرِيدُونَ أَن يُطۡفِئُواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَيَأۡبَى ٱللَّهُ إِلَّآ أَن يُتِمَّ نُورَهُۥ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٣٢
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sementara Allah enggan selain menyempurnakan cahaya-Nya meski orang-orang kafir tidak suka (QS at-Taubah [9]: 32).
Perang Istilah
Perang Istilah atau Harb al-Musthalahat merupakan perang dengan suatu agenda besar, yaitu menimpakan bahaya dan kehancuran pemikiran dan politik kepada lawan. Caranya dengan menggunakan istilah sebagai alat untuk melemahkan, menyesatkan atau mencitraburukkan lawan.
Perang Istilah telah digunakan oleh musuh-musuh Islam sejak awal perjuangan Nabi saw. di Makkah. Kaum Quraisy di Makkah telah menyerang Nabi saw. dengan amunisi dari senjata Perang Istilah ini. Mereka mempropgandakan bahwa Muhammad adalah tukang sihir, dukun bahkan gila.1
Begitu halnya orang-orang Yahudi di Madinah. Mereka mengambil celah dari istilah “ra’ina” yang digunakan oleh kaum Muslim ketika memohon perhatian Nabi saw. Lalu Allah SWT ‘turun tangan’ memberikan arahan kepada kaum Muslim agar tidak lagi menggunakan istilah “ra’ina” meski makna asalnya tidak mengandung makna negatif sedikit pun. Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقُولُواْ رَٰعِنَا وَقُولُواْ ٱنظُرۡنَا وَٱسۡمَعُواْۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٞ ١٠٤
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian berkata (kepada Muhammad), “Ra’ina,” tetapi katakanlah, “Unzhurna,” dan “dengarlah”. Bagi kaum kafir itu siksaan yang pedih (QS al-Baqarah [2]: 104).2
Perang Istilah di Era Modern
Saat ini musuh Islam mewujud dalam ideologi Kapitalisme sekular yang diemban oleh negara-negara Barat. Mereka melihat sumber kekuatan kaum Muslim adalah pemikirannya. Karena itu Perang Istilah menjadi sangat penting bagi Barat. Bahkan bagi Barat, Perang Istilah ini merupakan bagian penting dari Perang Ideologi. Oleh sebab itu, melalui antek-anteknya, untuk merobohkan Khilafah Turki Utsmani saat itu, Barat telah melakukan serangan massif melalui Perang Istilah ini. Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Thaha Husain, dan yang lain, merupakan tokoh-tokoh yang menjadi antek Barat dalam melancarkan Perang Istilah ini.3
Muhammad Rasyid Ridha 1865-1935 M), misalnya, telah mempropagandakan istilah kafir dengan arti yang belum pernah dikenal sebelumnya di Dunia Islam. Dia pernah menulis di Majalah Al-Manar4 sebagai berikut:
فَمَهْمَا أَطْلَقْنَا لَفْظَ الْكَافِرِ أَوْ لَقَبِ الْكَافِرِ فِي كَلاَمِنَا فَنُرِيْدُ بِهِ مَا ذَكَرْنَا، يَعْنِي: اَلْمُلاَحَدَةُ. وَلاَ نُطْلِقُهُ عَلَى الْمُخُالِفِيْنَ لِمَا فِي الدِّيْنِ مِنْ أَصْحَابِ الْمِلَلِ اْلأُخْرَى. لأنهم لَيْسُوْا كُفَّارًا بِهَذَا الْمَعْنَى. بَلْ نَقُوْلُ بِعَدَمِ جَوَازِ إِطْلاَقِهِ عَلَيْهِمْ شَرْعًاِ…لأَنَّهُ صَارَ فِي هَذِهِ اْلأَيَّامِ مِنْ أَقْبَحِ الشَّتَائِمْ وَأَجْرَحَ سَهَامِ اْلإِمْتِهَانِ، وَ ذَلِكَ مَا تَحْظِرُهُ عَلَيْنَا الشَّرِيْعَةُ بِتِّفَاقِ عُلَمَاءِ اْلإِسْلاَمِ .
Manakala saya menyebut kata “kafir” atau sebutan “kafir” (tanpa ada tambahan keterangan, red). yang saya maksud adalah apa yang telah saya sebutkan diatas, yakni kaum ateis. Saya tidak menyebut kata “kafir” tersebut untuk para pemeluk agama lain selain agama kita. Sebab, mereka bukan kafir dengan arti ini. Bahkan saya berpandangan secara syar’i tidak boleh menyebut mereka kafir…Sebab, saat ini sebutan “kafir” telah menjadi salah satu cacian yang paling buruk dan anak panah penghinaan yang paling melukai. Hal ini dilarang atas kita oleh syariah berdasarkan kesepakatan para ulama Islam.
Pasca keruntuhan Khilafah Islamiyah, lalu dunia mulai menyaksikan tanda-tanda kebangkitan Islam, Barat semakin keras melancarkan Perang Istilah ini. Berbagai upaya dilakukan untuk memuluskan agenda ini.
Metode Perang Istilah
Dalam melancarkan serangan dalam Perang Istilah ini, Barat menggunakan beberapa cara. Di antaranya:
Pertama, distorsi terhadap istilah-istilah yang memiliki makna khas, definitif dan esensial di dalam Islam. Istilah-istilah tersebut mereka distorsikan. Sebagai gantinya, mereka memberikan gambaran yang berbeda dengan hakikat yang sebenarnya. Tujuannya, agar siapa saja yang mendengar merasa jengah, benci atau terpalingkan dari makna yang sesungguhnya.
Istilah jihad dan khilafah adalah contoh paling tampak. Jihad, misalnya, mereka maknai sebagai aksi bar-bar. Jihad selalu mereka kait-kaitkan dengan aksi terorisme. Akibatnya, sebagian umat Islam pun—apalagi umat lain—ketika mendengar istilah jihad, yang terbayang di benak mereka bukan sebuah hakikat yang diinginkan oleh Islam, melainkan makna hasil distorsi di atas.
Melalui agen-agen intelektualnya di negeri-negeri Muslim, Barat juga mempropagandakan bahwa jihad adalah perang melawan kemiskinan, korupsi, ketidakadilan dan semacamnya. Sempurna sudah upaya distorsi oleh Barat terhadap jihad ini.
Istilah khilafah juga mereka serang. Upaya distorsi terhadap istilah khilafah dilakukan secara terus-menerus dan oleh lintas gerenasi. Rasyid Ridha (1865-1935) dengan bukunya yang berjudul Al-Khilafah, juga Ali Abdurraziq (1888 – 1966) dengan bukunya Al-Islam wa Ushul al-Hukm, merupakan dua tokoh yang mengawali upaya pendistorsian makna khilafah.5
Belakangan penditorsian tersebut dilakukan oleh banyak kalangan, mulai yang bersurban, yang bersarung, hingga yang berdasi. Muktamar Internasional yang diadakan oleh al-Azhar, dengan tema Mu’tamar al-Azhar al-‘Alamy li Muwajahah at-Tatharruf wa al-Irhab, yang digelar di Kairo pada 3-4 Desember 2014 M, menghadirkan banyak pembicara. Di antaranya yang berbicara tentang Khilafah ada Basyar Awad Ma’ruf, Muhammad Ra’fat Utsman, Ridhwan as-Sasyyid dan Muhammad Umarah. Di dalam makalah mereka, distorsi terhadap makna khilafah begitu tampak.6
Kedua, dengan cara pengkerdilan dan reduksi. Istilah “ad-din” dan “al-islam” adalah contoh dari istilah yang menjadi sasaran cara kedua. Muhammad Abduh (1849 -1905 M) dan Rasyid Ridha 1865-1935 M) di dalam tafsirnya, Al-Manar, telah berupaya melakukan pengkerdilan terhadap dua istilah tersebut. Mereka memaknai istilah tersebut sebagai hal-hal yang bersifat ritual belaka.7
Belakangan, hal yang sama dilakukan oleh Syaikh Ali Jum’ah.8
Ketiga, dengan mengganti istilah dengan sebutan-sebutan yang bagus dan memikat. Istilah riba, yang pelakunya diancam kekal di neraka oleh Allah, diganti dengan “bunga”, atau dalam bahasa Arab, “fa’idah”. Istilah pezina diganti dengan istilah PSK (pekerja seks komersial), zina disebut kebebasan. Demikian seterusnya.
Keempat, dengan cara memasukkan istilah-istilah asing yang dibungkus dengan baju-baju Islam. Istilah “wasthiyyah” dan “muwathanah” merupakan contoh paling tampak. Al-Hall al-wasath atau teori jalan tengah lahir di Barat akibat pergolakan berdarah antara gereja dan para raja; di satu sisi dengan para pemikir dan kaum filosuf di sisi yang lain. Al-Hall al-wasath tidak lain adalah sekularisme.
Belakangan, saat Barat berhasil mencitraburukkan wajah Islam dengan perang melawan terorisme, radikalisme, dan fundamentalisme, istilah wasathiyyah mencuat di permukaan oleh para intelektual Muslim. Dalam hal ini al-Azhar berada di garda terdepan. Istilah ini sekilas tampak islami karena kata “wasathiyyah” merupakan bentuk sifat (mashdar shina’iy) dari kata wasath. Kata wasath kita jumpai di dalam firman Allah SWT saat menyebut umat ini sebagai “ummat[an] wasath[an]” (QS. Al-Baqarah: 143).
Namun, dengan mencermati berbagai tulisan dan statemen para pengusung istilah ini, baik di dalam maupun di luar negeri, tampak bahwa nas-nas syariah yang dikemukakan tidak ada kaitannya dengan istilah ini. Bahkan bertolak belakang.9 Sebaliknya, tampak hakikat wasathiyyah adalah wadah kampanye toleransi dan deradikalilasi ala Barat, pro terhadap nilai-nilai Barat dan menjadi antitesis terhadap penerapan syariah Islam dalam bingkai Negara serta penegakan Khilafah Islamiyah.
Begitu juga halnya dengan muwathanah atau muwathin. Istilah ini baru-baru ini menjadi perbincangan luas di tengah masyarakat Indonesia sebagai sebuah hasil Bahtsul Masa’il pada Munas NU pada 27 Februari – 01 Maret 2019 di Banjar Jawa Barat. Dengan mengkaji nas-nas syariah dan mengkaji aspek historis lahirnya istilah “muwathanah”, kita dapat melihat dengan terang benderang bahwa istilah “muwathanah”—sebagai sebuah istilah modern, bukan sekadar makna bahasa—bermakna egaliter; persamaan hak antara seluruh penduduk dan warga di sebuah negara dalam semua hak-hak sipil, politik, dan sosial. Semua ini merupakan hak yang bersifat dusturi, hak konstitusional di dalam negara demokrasi. Dalam arti, undang-udang dasar negara menjaga dan melindungi hak-hak tersebut. Makna “muwathanah” di atas merupakan pancaran dari paham sekular. Sekularisme lahir di Eropa sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Negara Kristen.10
Bahaya Perang Istilah
Sesungguhnya strategi Perang Istilah ini—jika tidak dipahami oleh kaum Muslim; tidak disadari bahaya dan akibatnya—dapat dipastikan akan mengantarkan distorsi terhadap berbagai hakikat syar’iyyah di benak kaum Muslim dan berdampak besar di dalam kehidupan riil mereka. Akibatnya, yang batil dianggap sebagai haq, yang haq dianggap batil; haram dianggap halal, halal bahkan wajib dianggap sebagai keharaman; mungkar dianggap makruf, makruf bahkan fardhu dianggap mungkar; mufsid (perusak) dianggap mushlih (pembawa perbaikan), dan seterusnya. Semua itu akan membuka pintu-pintu keburukan yang merajalela dan tidak akan dapat diatasi kecuali dengan usaha yang terus-menerus dan upaya yang berlipat ganda.
Selain itu, di antara bahaya besar akibat Perang Istilah ini adalah semakin kokohnya penjajahan Barat atas negeri-negeri kaum Muslim. Umat Islam semakin jauh dari Islam. Sekularisme semakin mengakar. Dakwah demi tegaknya Khilafah semakin berat. Kriminalisasi terhadap ajaran Islam dan kriminalisasi terhadap para aktivis dan pejuang Islam akan semakin menjadi-jadi, bahkan legal.
Kesimpulan
Walhasil, umat Islam harus selalu waspada dan jeli ketika menjumpai istilah-istilah baru. Hendaklah mereka ber-iltizam (berpegang teguh) pada istilah-istilah syar’i. Umat Islam harus selalu waspada terhadap racun-racun istilah yang ditebar oleh media massa yang tampak manis bagai madu. Khusus para ulama dan intelektual Muslim yang mukhlis, hendaklah mereka berjuang keras membongkar agenda Barat dan antek-anteknya melalui Perang Istilah ini. Pada saat yang sama, umat Islam wajib terus membekali diri dengan tsaqafah Islam yang kaffah, disertai dengan al-wa’y as-siyasi al-islamy (kesadaran politik Islam) yang memadai.
WalLah a’lam. []
Catatan kaki:
1 Lihat: QS. As-Shaffat: 36, ad-Dukhan: 14, ad-Dzariyat: 39 & 52, at-Thur: 29, al-Qamar: 29.
2 Lihat: az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Dar al-Hadits, Cairo, 2012, juz I, hlm. 164. Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Dar Ibn al-Jauzi, Cairo, 2008, Juz I, hlm. 225. Ash-Shawi, Hasyiyah as-Shawi, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003. Juz I, hlm. 68
3 Lihat: Dr. Faris Abu ‘Ulbah, Syawa’ib at-Tafsir fi al-Qarn ar-Rabi’ ‘Asyar al-Hijri. Lihat juga: Dr. ‘Ala’ Bakr, Madzahib Fikriyyah fi al-Mizan, Cet I, 2011.
4 Lihat: 1,1/15
5 Lihat: Syawa’ib Tafsir, sub bab: Syawa’ib fi Nizham al-Hukm.
6 Lihat: Tashhih al-Mafahim Min A’mal Mu’tamar al-Azhar al-‘Alami li Muwajahat at-Tatharruf wa al-Irhab, Cairo 3 -4 Desember 2014. Silsilah Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Cet. 2017.
7 Lihat: Dr. Faris Abu Ulbah, Syawa’ib at-Tafsir, hlm. 147
8 Lihat: Ali Jum’ah, Fiqh al-Awwaliyyat wa Mura’at Maqashid as-Syari’ah, hlm. 15
9 Lihat tulisan Abdullah Muhammad Zain, dengan judul: Manhaj al-Wasathiyyah fi Muwajahat al-Harakat wa al-Jama’at al-Irhabiyyah, di dalam buku al-Irhab wa Khatharuh ‘ala as-Salam al-‘Alamy, Silsilah Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, 2015, hlm. 85.
10 lihat: Mahmud Muhammad, Dharuriyyah al-‘Almaniyyah, www.alawan.org