Tsaqofah

Negara tak Boleh Mengintervensi Keyakinan?

Soal:

Ada kalangan tertentu yang menyatakan, bahwa negara tidak boleh mengintervensi keyakinan. Bahkan, negara juga tidak boleh menghukumi keyakinan rakyatnya. Benarkah demikian?

Jawab:

Pandangan seperti ini tentu tidak mempunyai dasar hukum dalam Islam sehingga tidak ada nilainya sama sekali dalam pandangan Islam. Pandangan ini juga merupakan turunan dari prinsip kebebasan beragama yang bertentangan dengan Islam.

Dalam pandangan kaum kafir kapitalis, yang menjadikan Liberalisme (kebebasan) sebagai pandangan hidup mereka, setiap manusia mempunyai kebebasan yang menjadi hak hidup mereka. Dari sinilah, lahir kebebasan beragama, yang berarti bebas sebebas bebasnya; baik bebas tidak beragama (ateis), bebas pindah-pindah agama (murtad) maupun bebas mengubah dan mengutak-atik agama (bebas menistakan agama).

Dalam pandangan kaum kafir kapitalis, yang memang menjadikan Sekularisme sebagai basis ideologi mereka, memang bisa dinalar, karena agama memang tidak mempunyai tempat dalam kehidupan mereka, selain sebagai urusan pribadi. Inilah prinsip dasar Sekularisme, yaitu fashl ad-din ‘an al-hayat (pemisahan agama dari kehidupan).

Kebebasan beragama seperti ini jelas bertentangan dengan Islam, bahkan tidak bisa diterima oleh setiap orang yang beragama sekalipun. Al-Quran telah menegaskan:

Siapa saja yang ingin (beriman), hendaknya beriman, dan siapa saja yang ingin (menjadi kafir), silakan kafir. (QS al-Kahfi []: 29).

Ini berarti, menjadi Mukmin dan kafir memang merupakan pilihan masing-masing orang. Meskipun demikian, pilihan menjadi kafir yang dinyatakan oleh Allah di dalam ayat ini, menurut para mufassir, bukan berarti izin dan legalitas (tarkhish) serta pilihan (takhyir) untuk menjadi kafir. Sebaliknya, pilihan yang dinyatakan oleh Allah di dalam ayat ini berarti ancaman (tahdid) dan peringatan keras (tahdzir).1 Sebab, setelah Allah menyatakan pilihan iman dan kufur, Allah mengancam mereka yang zalim, apalagi kafir, dengan ancaman neraka:

Sesungguhnya Kami telah menyediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS al-Kahfi []: 29).

Karena itu, menjadi Mukmin atau kafir jelas merupakan pilihan pribadi masing-masing orang; artinya bukan kehendak—apalagi paksaan—Allah. Hanya saja, konsekuensi dari pilihan iman dan kufur tersebut jelas. Orang yang memilih menjadi kafir, baginya kelak di akhirat adalah neraka. Itulah konsekuensinya.

Nash-nash al-Quran yang senada dengan ini jumlahnya pun sangat banyak. Namun, nash-nash syariah tidak hanya berhenti sampai di situ. Rasulullah saw. misalnya, dengan tegas menyatakan:

Siapa saja yang menukar agamanya (murtad), bunuhlah. (HR al-Bukhari).

Itu artinya, begitu seseorang memutuskan untuk memeluk Islam, dia harus terikat dengan Islam, dan tidak boleh berpindah-pindah agama dengan seenaknya. Jika seseorang murtad sekali, dia harus diminta oleh negara untuk bertobat, dan diberi waktu selama tiga hari. Jika dia mau kembali, dia harus diterima. Namun, jika tetap tidak mau, dia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali harus dihukum mati oleh negara.

Inilah yang dipraktikkan Umar bin al-Khaththab ketika menjadi khalifah. Kepada utusan walinya, Umar memberikan instruksi:

Mengapa kalian tidak memenjarakannya selama tiga hari; memberinya makan setiap harinya dengan roti; dan memintanya bertobat agar dia bertobat dan kembali kepada ajaran Allah? (HR as-Syafi’i).2

Inilah ketentuan yang jelas dan tegas di dalam Islam. Karena itu, dalam pandangan Islam tidak ada kebebasan beragama secara mutlak.

Selain itu, kebebasan beragama yang juga diartikan bebas untuk tidak beragama (menjadi ateis) jelas bertentangan dengan fitrah manusia yang mempunyai naluri beragama. Kebebasan berpindah-pindah agama dan mengacak-acak agama juga bertentangan dengan hak yang diberikan oleh Allah. Sebab, ketika manusia mempunyai hak kebebasan, sebenarnya dia mendapatkannya ketika diberi oleh Allah. Karena itu, dia harus tunduk dan patuh pada ketentuan Allah. Pertanyaannya, lalu dari mana dia bisa melanggar hak-hak yang diberikan oleh Allah, Zat yang memberinya kebebasan? Itulah mengapa, istilah HAM (hak asasi manusia) ditolak oleh Islam. Yang benar adalah hak manusia yang diberikan oleh Allah sehingga tetap harus tunduk pada ketentuan hukum Allah. Karena itu, di dalam Islam disebut al-huquq as-syar’iyyah li al-insan (hak manusia menurut syariah).

Berdasarkan paparan di atas, jelas sekali bahwa negara bisa—bahkan harus—mengintervensi keyakinan rakyatnya ketika sudah dinyatakan melanggar ketentuan syariah. Karena itu, negara akan membiarkan rakyatnya bebas memeluk agama apa saja, tanpa paksaan. Namun, ketika sudah memeluk agama Islam, negara berhak memaksanya untuk terikat dan konsisten dengan Islam, termasuk dipaksa untuk kembali pada Islam; jika murtad, pelakunya bahkan harus dibunuh jika tidak mau kembali ke pangkuan Islam. Negara juga berhak memaksa rakyatnya yang Muslim untuk tidak mengacak-acak dan menodai Islam, dengan alasan kebebasan beragama, agar menghentikan aktivitasnya dan bertobat. Jika tidak, negara juga diberi hak oleh Allah untuk membunuh atau memerangi mereka.

Dengan demikian, negara juga diberi otoritas oleh Allah untuk menghukumi keyakinan. Hukum yang dimaksud di sini tentu berbeda dengan hukum syariah. Sebabnya, hukum syariah adalah pandangan atau keputusan tentang suatu perbuatan. Adapun hukum tentang keyakinan/menghukumi keyakinan maksudnya adalah pandangan atau penilaian yang berkaitan dengan keyakinan tertentu. Kufur itu buruk dan iman itu baik adalah hukum. Kufur dinilai buruk karena syariah telah menetapkannya sebagai keburukan. Sebaliknya, iman dinilai baik karena syariah juga telah menetapkannya sebagai kebaikan.

Kategorisasi Islam dan kufur yang dinyatakan di dalam nash-nash syariah, baik al-Quran maupun as-Sunnah, dengan segala konsekuensinya, sebenarnya adalah bentuk lain dari menghukumi keyakinan.

Karena itu, dari mana logika tidak boleh menghukumi keyakinan tersebut dibangun, kalau bukan dari logika kebebasan beragama? Hanya sayang sekali, karena mereka yang menggunakan logika ini ternyata juga tidak konsisten. Lihatlah, betapa dengan mudah mereka juga menghukumi keyakinan orang lain yang berbeda dengannya, dengan vonis ‘Islam Preman’, ‘Islam Radikal’, ‘Islam Fundamentalis’, ‘Islam Sinting’ dan sebagainya. Apakah ini bukan bentuk menghukumi keyakinan?

Kalau begitu, ada apa sebenarnya dengan seruan mereka, bahwa negara tidak boleh menghukumi keyakinan, atau mengintervensi keyakinan? Jawabannya tidak lain adalah penyesatan politik dan pemikiran. Tujuannya agar negara tidak mengambil tindakan terhadap mereka dan apa yang mereka propagandakan. Sebaliknya, kalau orang atau kelompok lain yang berseberangan dengan mereka, segera saja mereka katakan, “Negara harus mengambil tindakan,” “Negara tidak boleh kalah,” “Negara tidak boleh lemah,” dan seterusnya. Itulah kepicikan dan kebusukan mereka.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []Hafidz Abdurrahman

Catatan kaki:

1 Lihat: al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. I, 2004, II/1898; at-Thabari, Tafsir ath-Thabari, VII/547; Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, V/154; al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, V/165; Abu Hayyan, Tafsir al-Bahr al-Muhith, X/387.

2 Lihat: asy-Syaukani, Nayl al-Awthar, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1995, VII/ 202.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close