Tsaqofah

MENEPIS FITNAH TERHADAP HIZBUT TAHRIR DI MAJALAH TAUIYAH SIDOGIRI

Majalah Tau’iyah yang diterbitkan An-Najah Center Sidogiri edisi Sya’ban 1441 H telah memuat tulisan berjudul “Hizbut Tahrir: Perbedaannya dengan Kita” yang ditulis oleh Achmad Arief. Penulis terlihat begitu tendensius meski berusaha tampil ilmiah dengan kutipan-kutipan referensi. Kenapa? Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, penulis terlihat tidak memahami pendapat Hizbut Tahrir yang sedang dibantahnya; ke-Dua, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan ke-Tiga, menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersebut.

Penulis menyebutkan beberapa permasalahan yang diklaim sebagai “pendapat menyimpang pendiri Hizbut Tahrir” lalu kemudian dibantahnya sendiri. Berikut beserta tanggapannya.

Permasalahan Pertama: Qada’-Qadar dari Filsafat Yunani

Menurut penulis Hizbut Tahrir menganggap teori qadha’ dan qadar Ahlussunnah wal Jamaah mengadopsi dari para filsuf Yunani. “Semua persoalan ilmu kalam diadopsi dari para filsuf Yunani, termasuk masalah qadha’ dan qadar.” (Lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa konsep qadha qadarnya Ahlussunnah itu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan filsuf yunani. Sambil menyebutkan referensi Mukhtasharul I’tiqad lil Baihaqi, hlm 231.

Tanggapan: Maksud Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani tidak demikian. Beliau mengatakan di kitab tersebut tidak seperti yang diketengahkan terjemahannya oleh penulis itu.

فَننا لا نكاد نجد مسألة من مسائل علم الكلام إلا كان ناشئة عن مسألة سبق للفلاسفة اليونان أن بحثوها

“Sungguh kita nyaris tidak menemukan satupun di antara permasalahan ilmu kalam melainkan itu muncul dari permasalahan yang sudah pernah dibahas oleh kaum filsuf Yunani.” (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66)

Maksudnya disitu adalah terkait pengambilan tema atau topiknya. Bukan mengadopsi pendapat filsuf tanpa merujuk kepada Al-Quran dan Hadits seperti yang disangkakan.

Terbukti di halaman-halaman berikutnya beliau menjelaskan bahwa kelompok Ahlussunnah berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan oleh kaum Jabariyah untuk menetapkan perbuatan manusia itu ciptaan dan atas kehendak Allah, dan berdalil dengan ayat-ayat tertentu untuk teori kasab di antaranya Al-Baqarah 286 (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/73). Sampai sini tampak jelas klaim penulis adalah tidak benar.

Permasalahan ke-Dua: Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan

Menurut penulis Hizbut Tahrir meyakini semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia. Tidak ada campur tangan Allah dan ketetapan Allah tidak ada kaitan dengannya. (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa semua perbuatan manusia pada hakikatnya adalah ciptaan Allah dan terjadi sesuai dengan keputusan-Nya (tanpa menafikan ikhtiyar manusia). Sambil menyebutkan referensi Al-I’tiqad ‘ala Madzhabis Salaf Ahlissunnah wal Jama’ah, hlm 53-54.

Tanggapan: Tuduhan tersebut tidak sebagaimana adanya. Sebab, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani membagi perbuatan manusia itu menjadi dua: 1) perbuatan yang berada di bawah kendali manusia dan 2) perbuatan yang berada di luar kendali manusia. Jadi tidak “semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia” sebagaimana klaim penulis.

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani juga memiliki pemaknaan khusus untuk Istilah qadha’ dan istilah qadar dalam konteks sebagai sebutan yang berdampingan (al-qadha’ wal qadar) dengan masing-masing memiliki makna khusus yang berbeda. Bahwa qadha itu perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia, dan qadar itu adalah khashiyatul asya` (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Sehingga perkataan bahwa perbuatan ikhtiyari manusia itu tidak termasuk qadha’ di situ maksudnya adalah makna khususnya ini, yaitu tidak termasuk perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia. Bukan bermaksud makna qadha’ secara mutlak sebagai ketetapan Allah atas segala sesuatu seperti yang dipersepsikan penulis.

Tampak di sini penulis gagal memahami konsep qadha’ dan qadar yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir, sehingga salah dalam tuduhannya. Apalagi dengan narasi jahat mengopinikan Hizbut Tahrir menganut “Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan”.

Permasalahan ke-Tiga: Para Nabi Tidak Maksum

Penulis menyebutkan bahwa menurut Hizbut Tahrir para nabi tidak maksum sebelum diangkat menjadi nabi. “Para nabi dan rasul itu maksum setelah menjadi nabi dan rasul. Sedangkan sebelum menjadi nabi dan rasul mereka tidak maksum.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 1/136). Lalu pendapat itu dibantahnya dengan mengutip pendapat salah satu ulama Ahlussunnah, Imam Muhammad bin Ahmad Ad-Dusuki dalam Hasyiyahnya atas kitab Ummul Barahin.

Tanggapan: Padahal masalah tersebut termasuk perkara khilafiyah bahkan di kalangan ulama Ahlussunnah sendiri. Pendapat yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir itu merupakan pendapat salah satu imam besar Ahlussunnah, yaitu Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, dan pendapat tersebut disahihkan oleh Al-Imam Saifuddin Al-Amidi rahimahumullah.

أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَدْ ذَهَبَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِنَا وَكَثِيرٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِمُ الْمَعْصِيَةُ كَبِيرَةً كَانَتْ أَوْ صَغِيرَةً ، بَلْ وَلَا يَمْتَنِعُ عَقْلًا إِرْسَالُ مَنْ أَسْلَمَ وَآمَنَ بَعْدَ كُفْرِهِ …. وَالْحَقُّ مَا ذَكَرَهُ الْقَاضِي.

“Adapun sebelum kenabian, maka al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, mayoritas sahabat kami (ulama Ahlussunnah), dan banyak dari kalangan muktazilah berpendapat bahwasannya tidak tertutup kemungkinan bagi mereka melakukan kemaksiatan, baik dosa besar maupun kecil. Bahkan secara logika tidak tertutup kemungkinan akan diutusnya orang yang berislam dan beriman sebelum tadinya tidak. … dan pendapat yang benar adalah apa yang diutarakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani.” (Lihat: Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. 1/169-170)

Bahkan itu merupakan pendapat mayoritas Ahlussunnah, menurut keterangan Al-Imam Ibnu Hajib dan dibenarkan pula oleh Al-Imam Az-Zarkasyi:

أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَالَ الْمَازِرِيُّ : لَا تُشْتَرَطُ الْعِصْمَةُ ، وَلَكِنْ لَمْ يَرِدْ فِي السَّمْعِ وُقُوعُهَا . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ : الصَّوَابُ عِصْمَتُهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ مِنْ الْجَهْلِ بِاَللَّهِ وَصِفَاتِهِ ، وَالتَّشْكِيكِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ ، وَقَدْ تَعَاضَدَتْ الْأَخْبَارُ عَنْ الْأَنْبِيَاءِ بِتَبْرِئَتِهِمْ عَنْ هَذِهِ النَّقِيصَةِ مُنْذُ وُلِدُوا ، وَنَشْأَتِهِمْ عَلَى التَّوْحِيدِ وَالْإِيمَانِ . وَنَقَلَ ابْنُ الْحَاجِبِ عَنْ الْأَكْثَرِينَ عَدَمَ امْتِنَاعِهَا عَقْلًا ، وَأَنَّ الرَّوَافِضَ ذَهَبُوا إلَى امْتِنَاعِهَا ، وَنَقَلَهُ غَيْرُهُ عَنْ الْمُعْتَزِلَةِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُوجِبُ هَضْمَهُ وَاحْتِقَارَهُ ، وَهُوَ خِلَافُ الْحِكْمَةِ ، وَالْأَصَحُّ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ، وَمِنْهُمْ الْقَاضِي .

“Adapun sebelum kenabian, al-Imam al-Maziri berkata: tidak disyaratkan adanya kemaksuman, akan tetapi tidak ada dalam dalil sam’i informasi akan terjadinya hal tersebut. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: yang benar adalah adanya kemaksuman mereka sebelum masa kenabian dari hal ketidak-tahuan akan Allah beserta sifat-sifat-Nya, dan keragu-raguan terkait hal itu. Banyak hadits yang saling menguatkan tentang bahwa mereka terbebas dari sifat kurang ini sejak dilahirkan, dan mereka tumbuh dalam ketauhidan dan keimanan. Sementara Ibnu Hajib meriwayatkan pendapat dari mayoritas ulama bahwa menurut akal hal itu tidak mustahil. Dan bahwasannya kalangan Rafidhah berpendapat akan tertutupnya kemungkinan tersebut, dan yang lain meriwayatkan pendapat ini dari Muktazilah; karena hal itu akan menghancurkan dan menghinakan dirinya. Dan itu bertentangan dengan tujuan diutusnya mereka. Dan yang paling benar (al-ashahh) adalah pendapat mayoritas ulama, yang di antaranya adalah al-Qadhi (Abu Bakar al-Baqillani).” (Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh. vol 6 hlm 13)

Juga menurut keterangan Al-‘Arif biLLah Asy-Syaikh Yusuf bin Isma’il An-Nabhani, yang tidak lain adalah kakek dari pendiri Hizbut Tahrir sendiri:

وَلَا يَخْفَى أَنَّ عِصْمَةَ النَّبِيِّيْنَ غَيْرُ مُتَّفَقٍ عَلَيْهَا عِنْدَ جَمِيْعِ الْفِرَقِ الْإِسْلَامِيَّةِ … وَإِنْ كَانَ الْمُحَقِّقُوْنَ مِنْ أَئِمَّةِ الْعُلَمَاءِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالشِّيْعَةِ أَيْضًا مُتَّفِقِيْنَ عَلَى عِصْمَتِهِمْ مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوْبِ الْكَبَائِرِ وَالصَّغَائِرِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَبَعْدَهَا ، وَأَوَّلُوْا جَمِيْعَ مَا وَرَدَ فِي حَقِّهِمْ مِنْ ذَلِكَ . نَعَمْ مَذْهَبُ جُمْهُوْرِ أَهْلِ السُّنَّةِ عَدَمُ عِصْمَتِهِمْ مِنَ الذُّنُوْبِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، وَيَحْمِلُوْنَ مُعْظَمَ مَا وَرَدَ مِنْ ذَلِكَ فِي حَقِّهِمْ عَلَى وُقُوْعِهِ مِنْهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ .

“Bukan hal yang rahasia bahwa perihal kemaksuman para nabi tidak disepakati oleh seluruh kelompok-kelompok Islam. … Meski para muhaqqiq dari kalangan ulama Ahlussunnah dan juga Syi’ah bersepakat akan kemaksuman mereka dari segala dosa, besar maupun kecil, sebelum dan sesudah kenabian. Dan mereka menakwil semua dalil berkenaan dengan mereka (para nabi) itu (yang secara zhahir melakukan kesalahan). Memang benar, mayoritas Ahlussunnah berpendapat mereka tidak maksum dari dosa sebelum kenabian, dan mereka memahami kebanyakan dalil yang berkenaan dengan hal tersebut bahwa itu mereka lakukan sebelum kenabian.” (al-Asâlîb al-Badî’ah fî Fadhl al-Shahâbah wa Iqnâ’ al-Syî’ah. hlm 177)

Jika menurut penulis bahwa pendapat “anbiya tidak maksum sebelum masa kenabian mereka” itu keliru, apakah berarti penulis menganggap mayoritas ulama Ahlussunnah yang berpendapat demikian itu sesat atau menyimpang sebagaimana pelabelannya terhadap Hizbut Tahrir?

Permasalahan ke-Empat: Khilafah Harga Mati

Penulis menganggap Hizbut Tahrir ekstrem dalam menyikapi khilafah, sampai-sampai menganggap semua orang muslim dosa besar karena tidak menegakkan khilafah. “Berpangku tangan dari menegakkan khilafah termasuk dosa besar dan menghentikan eksistensi Islam dalam ranah kehidupan. Semua orang muslim dosa besar karenanya.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 2/19). Lalu klaim itu dibantahnya dengan mengutip perkataan Imamul Haramain Al-Juwaini bahwa hukum mengangkat pemimpin itu wajib bila mampu (Ghiyatsul Umam fi Iltiyatsizh Zhulam hlm 55), dan mengutip perkataan Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang diterjemahkan “Kajian tentang khilafah tidak begitu penting, sebab persoalan ini adalah persoalan fikih (ranah ijtihad) bukan persoalan yang secara tegas disampaikan oleh al-Qur`an dan Hadits. Selain itu kajian khilafah juga mengakibatkan fanatisme kepemimpinan yang jelas berdampak buruk dan lebih selamat tidak mengkajinya.” (Lihat: al-Iqtishad fil I’tiqad, hlm 200).

Tanggapan: singkatnya ada dua perkara yang perlu diluruskan: 1) bentuk wajibnya khilafah dan dengan apa kewajiban tersebut menjadi gugur; 2) besarnya kewajiban khilafah dan gagal paham atas perkataan Al-Imam Al-Ghazali.

Pertama; bentuk wajibnya khilafah adalah bersifat kifa`ie (fardhu kifayah), sehingga tidak gugur kewajiban tersebut dari pundak setiap muslim sebelum tercapai kifayah (batas kuantitas serta kualitas) orang-orang yang mengusahakannya sampai benar-benar terwujud. Adapun ungkapan Imamul Haramain Al-Juwaini sama sekali tidak menafikan hal itu, karena dikatakan tidak mampu itu jika sudah ada usaha maksimal namun belum juga terlaksana. Tidak tiba-tiba tanpa ada usaha serius dan maksimal mengklaim tidak mampu. Juga ketidak-mampuan umat mewujudkannya di suatu masa tidak menjadikan umat di masa-masa berikutnya menjadi tidak wajib mengusahakan.

Ke-dua; Penulis serampangan dalam mengutip perkataan Al-Imam Al-Ghazali untuk menjustifikasi tidak pentingnya khilafah. Padahal maksud beliau dengan ungkapan imamah bukan termasuk al-muhimmat adalah bahwa imamah bukan termasuk perkara pokok akidah yang menentukan sah-tidaknya keislaman. Ini sebagaimana beliau nyatakan sendiri di bagian sebelumnya di kitab tersebut:

ﻷﻥ اﻟﻤﻌﺘﻘﺪاﺕ اﻟﻤﺨﺘﺼﺮﺓ ﺣﻘﻬﺎ ﺃﻥ ﻻ ﺗﺸﺘﻤﻞ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻬﻢ اﻟﺬﻱ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻨﻪ ﻓﻲ ﺻﺤﺔ اﻻﻋﺘﻘﺎﺩ

“Sebab akidah yang ringkas itu seharusnya hanya berisikan perkara pokok (al-muhimm) yang harus ada demi keabsahan akidah saja.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 376)

Lebih spesifik lagi beliau menyebut ilmu rasional (‘aqli), terminologi (lafzhi), dan juga fiqih (fiqhi) dengan mengatakan tidak muhimm:

وكل ذلك ليس بمهم

“Semua itu tidak ‘muhimm’.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 377)

Maksud beliau bukan ilmu fiqh –termasuk di dalamnya khilafah– itu tidak penting, melainkan bahwa ilmu fiqih bukan termasuk bahasan pokok akidah. Lebih daripada itu, jika penulis mau jujur al-Imam al-Ghazali sendiri menyatakan dalam kitab tersebut bahwa kewajiban imamah itu termasuk perkara syari’at yang bersifat mendesak/urgen (min dhaririyatisy-syar’i).

فكان وجوب نصب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه.

“… maka wajibnya mengangkat seorang khalifah itu adalah termasuk perkara syariat yang sangat penting/mendesak (dharuruyyat asy syar’), yang tidak ada celah untuk boleh ditinggalkan.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 395)

Jadi bagaimana bisa beliau dipahami menganggap perkara khilafah tidak penting sedangkan di waktu yang sama mengatakan bahwa dia tergolong perkara syariat yang sangat penting/mendesak yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan.

Adapun terkait ungkapan beliau bahwa pembahasannya menyebabkan fanatisme dan lebih baik tidak dibahas adalah masih dalam konteks akidah ini. Yaitu lebih baik tidak membahasnya dalam konteks akidah karena yang seharusnya khilaf di dalamnya sebatas khilaf fiqhi, karena dibahas dalam konteks akidah, menjadi dianggap sebagai khilaf ‘aqaidi yang memicu fanatisme.

Adapun meninggalkan kewajiban khilafah dapat mengakibatkan dosa besar, hal itu bisa dipahami dari banyaknya kewajiban terbengkalai tanpa adanya khilafah apabila semuanya diakumulasikan. Jika satu saja mayat muslim tidak dimakamkan secara syar’ie dapat mengakibatkan dosa karena hukumnya fardhu kifayah, maka bagaimana dengan banyak mayat jika tidak dimakamkan secara syar’ie. Demikian pula lah saat satu saja pencuri yang terbukti dan mencapai nishab bila tidak dihukum secara syar’ie dengan dijatuhi hadd potong tangan, maka bagaimana dengan banyaknya pencuri yang tidak dihukum secara syar’ie? Belum jumlah kasus hudud dan jinayat lainnya, semisal perzinahan, liwath, peminum khamr, riddah, pembunuhan, dsb. Sedangkan hukuman tersebut hanya bisa terlaksana dengan sempurna dalam sistem khilafah. Anggaplah tidak menerapkan per kasusnya adalah dosa kecil, tapi bagaimana jika jumlahnya banyak, ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu?

ﻭاﻟﺼﻐﻴﺮﺓ ﺇﺫا ﺃﻛﺜﺮﺕ ﺻﺎﺭﺕ ﻛﺒﻴﺮﺓ

“Sedangkan dosa kecil itu bila berjumlah banyak maka akan menjadi dosa besar.” (Syarh Shahîh Muslim, vol 2 hlm 67)

Besarnya dosa mengabaikan pendirian khilafah juga disebutkan dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhajî alâ Madzhab Al-Imâm Asy-Syâfi’î.

تنصيب الإمام بهذا الشكل الذي رأيت، ولتحقيق المهام التي تحدثنا عنها واجب متعلق بأعناق المسلمين حيثما كانوا، فإن لم ينهضوا به تحقيقاً لأمر الله عز وجل باؤوا جميعاً بإثم كبير، إذ هو ـ بالإضافة إلي الضرورات الدينية والاجتماعية والسياسية المختلفة ـ شعيرة كبري من شعائر الإسلام التي يجب أن تكون بارزة حية في بلاد المسلمين.

“Mengangkat seorang khalifah dalam bentuk yang telah anda lihat (di atas), demi merealisasikan kepentingan yang telah kami ulas (sebelumnya), adalah wajib dan mengikat setiap muslim di manapun mereka berada. Jika mereka tidak bangkit mewujudkannya demi melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla niscaya mereka semua akan terkena dosa besar. Karena khilafah itu –jika dikaitkan dengan kepentingan mendesak agama, permasalahan sosial dan politik yang banyak ragamnya– merupakan syi’ar terbesar Islam di antara syi’ar-syi’ar lainnya yang wajib tampak dan hidup di negeri kaum muslimin.”
Al-Fiqh Al-Manhajî alâ Madzhab Al-Imâm Asy-Syâfi’î, vol 8 hlm 277-278.

Nah, berdasarkan uraian di atas terbukti sudah kesalahan tuduhan tersebut, yang tidak lain disebabkan karena tidak memahami pendapat Hizbut Tahrir yang sedang dibantahnya, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersbut. Sehingga jadilah tulisan yang provokatif mendeskriditkan Hizbut Tahrir agar dianggap bukan Ahlussunnah wal Jama’ah dan dijauhi masyarakat. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kelompok menjadikanmu tidak berlaku adil. Berlaku adillah itu lebih mendekati takwa. [AFK]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close