Hadits

MELURUSKAN MAKNA HADITS TAAT KEPADA PEMIMPIN ZHALIM

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ (رواه مسلم)

Artinya: akan ada sepeninggalku para pemimpin yang tidak mengambil petunjuk, dan sunnahku. Akan muncul pula orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya: “Apa yang harus aku lakukan?”. Beliau menjawab: “(Hendaknya) kalian dengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggung dan merampas hartamu, tetaplah dengar dan taat.

Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini dikeluarkan dalam Shahih Muslim no. 1849. Imam al-Daruquthni mengatakan, “hadits ini mursal”, alasan: “Abu Salam tidak mendengar dari Hudzaifah”. Akan tetapi, hadits ini diterima, karena ada jalur lain yang muttashil. Jalur tersebut menunjukkan riwayat mursal ini shahih dan boleh dijadikan hujjah. Jalur yang dimaksud ialah riwayat sebelumnya dalam Shahih Muslim no. 1848, melalui Busr bin ‘Ubaidillaah al-Hadhrami dari Abu Idris al-Khaulani dari Hudzaifah radhiyyallahu ‘anhu.

Kata “aimah” jamak dari “imam”. Dalam mu’jam al-ma’ani salah satu makna imam ialah khalifah (الخليفة). Adapun “amir” ada 2: amir ‘am dan amir khas. Amir ‘am (الأمير العام) yakni kepala negara (رئيس الدولة). Adapun amir khas (الأمير الخاص) meliputi pemimpin safar (الأمير السفر), pemimpin partai (الأمير الحزب), dll. Sedangkan amir ‘am sendiri bisa jadi khalifah, atau kepala negara selain khalifah, semisal raja (ملكا), presiden (رئيس جمهورية), atau pemimpin majelis revolusi (رئيس مجلس الثورة) yang menerapkan sistem selain Islam, dll.

Apakah ungkapan (تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ) berlaku untuk kepala negara apa saja? Jawabnya tidak, karena:
(a) jika berlaku untuk semua kepala negara, maka itu bentuk ridha atas kepemimpinan dengan sistem selain Islam, dan ini melanggar nash qath’i yang mengharuskan akidah Islam sebagai dasar negara, dan Islam sebagai sistem;
(b) umara yang didengar dan ditaati adalah yang diangkat oleh umat berdasatkan Kitab Allah (الذين يقودون الأمة بكتاب الله), ketetapan ini berdasarkan hadits:

(إن أمر عليكم عبد مجدع اسود يقودكم بكتاب الله ، فاسمعوا له و اطيعوا)

“sekalipun yang memegang kekuasaan budak hitam, tapi ia memerintah dengan kitabullah, maka dengar dan patuhilah dia” (HR Muslim). Ada juga hadits semakna, yakni riwayat imam Ahmad dan imam al-Nasa’i;
(c) bagi pemimpin yang tidak memerintah dengan kitabullah berlaku:

(فلا نسمع له ولا نطيع – فيما أمر – فقط مما خالف فيه شرع الله)

“tidak didengar dan taat terhadap perkara yang menyelisihi syari’at Allah”, Bila perselisihan menyentuh dasar dan sistem, maka wajib tidak ridha dan mengubah keadaan dengan metode dakwah Nabi tanpa kekerasan, hingga dasar dan sistem yang diterapkan kembali berdasarkan Islam.

Ungkapan (يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ)
sebagai isyarat akan ada (الإمام) yang zhalim. Keadaan zhalim itu ada beberapa kondisi:
(a) sengketa (khusumat) antara (الإمام) dengan anggota masyarakat, semisal diambil harta tanpa alasan syar’i, dll;
(b) keputusan (الإمام) atas khusumat antar anggota masyarakat, misal ada indikasi ketidakadilan, dll;
(c)mengeluarkan perintah yang menurut (الإمام) sudah benar sementara menurut pihak yang diperintah adalah zhalim. Atas indikasi ini harus dikembalikan kepada Mahkamah al-Mazhalim (محكمة المظلم) untuk diselesaikan dengan jalan syar’i.

Adapun ungkapan,

(وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ)

adalah perintah ini untuk “obyek” yang berfaidah (للإستسلام) “berserah diri”: tunduk (الإنقياد) dan (ترك الخروج) tidak keluar dari jama’ah kaum muslimin (الإمامة العظمى). Islam menetapkan ketaatan kepada pemimpin dalam sistem Islam sebagai perkara yang agung (امرا عظيما).

Demikianlah penjelasan terhadap hadits di atas agar dipahami secara benar dan tidak disimpangkan maksudnya untuk melegitimasi kebijakan zhalim pemerintah. Kalimat yang hak (muhasabah) kepada penguasa yang zhalim adalah diantara jihad yang paling agung. Allahu a’lam. (AIM & YRT)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close