Tanya Jawab

Kaedah Dharar dan Hubungannya dengan Wabah Corona dan Berjarak dalam Shalat Jamaah

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya belum mendapat jawaban atas pertanyaan pertama, dan saya mengajukan pertanyaan kedua yang memiliki prioritas:

Syaikhuna al-fadhil semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda:

Saya mohon bantuan seputar kaedah adh-dharar dan adh-dhirâr.

Menurut apa yang ada di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii (dan menurut pemahaman saya).

Apakah dharar itu berkaitan dengan sesuatu tanpa berkaitan dengan perbuatan, dan jika tidak demikian, apakah benar menerapkan kaedah adh-dharar terhadap wabah Corona dan kebolehan berjarak dalam shaf shalat menurut hukum kemungkinan adanya dharar yaitu penularan.

Saya mohon sebagian rincian untuk istidlal.

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Kami telah merinci topik kaedah adh-dharar di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz iii halaman 471-475 dalam file word:

[Kaedah adh-dharar mencakup dua perkara: pertama, keberadaan sesuatu itu sendiri memudaratkan. Dan tidak ada di dalam seruan asy-Syari’ apa yang menunjukkan tuntutan mengerjakannya atau tuntutan meninggalkannya, atau pilihan padanya. Maka keberadaannya sebagai hal memudaratkan merupakan dalil atas pengharamannya, sebab asy-Syâri’ telah mengharamkan adh-dharar. Dan kaedah “al-ashlu fî al-mudhâr at-tahrîm -hukum asal pada sesuatu yang memudaratkan adalah haram-“.

Adapun perkara kedua, yaitu asy-Syâri’ telah memudahkan sesuatu secara umum, tetapi pada salah satu individu dari individu-individu mubah itu ada dharar, maka keberadaan individu itu memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar merupakan dalil atas pengharamannya, sebab asy-Syâri’ telah mengharamkan individu di antara individu-individu mubah jika individu itu memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar. Dan kaedahnya: “kullu fardin min afrâdi al-mubâh idzâ kâna dhâran aw mu`addiyan ilâ dhararin, hurima dzâlika al-fardu wa zhalla al-amru mubâhan -setiap individu dari individu mubah jika memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar, individu itu diharamkan sementara perkara tersebut tetap mubah-“.

Berkaitan dengan kaedah pertama, dalilnya adalah sabda Rasul saw:

«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي الإِسْلاَمِ» أخرجه الطبراني

“Tidak boleh memudaratkan diri sendiri dan orang lain di dalam Islam” (HR ath-Thabarani).

Abu Dawud telah mengeluarkan dari hadits Abu Shirmah Malik bin Qays al-Anshari, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ»

“Siapa saja yang memudaratkan, niscaya Allah mudaratkan dia dan siapa yang menyulitkan niscaya Allah sulitkan baginya”.

Dua hadits ini merupakan dalil bahwa asy-Syâri’ mengharamkan adh-dharar

Adapun berkaitan dengan kaedah kedua, dalilnya adalah:

«قد كانَ رسولُ اللَّهِ ﷺ حينَ مَرَّ بالْحِجْرِ، نَـزَلَها، واستقى الناسُ من بِئْرِها، فلمّا راحوا قالَ رسولُ اللَّهِ ﷺ: لا تَشْرَبوا من مائها شيئاً، ولا تتوضئوا منه للصلاة، وما كانَ من عَجِينٍ عَجَنْتُمُوهُ فأعْلِفوهُ الإبِلَ، ولا تأكُلوا منه شيئاً، ولا يَخْرُجَنَّ أحدٌ منكُمُ الليلةَ إلاّ ومعه صاحبٌ له…» رواه ابن هشام في سيرته

“Rasulullah saw ketika melalui al-Hijr, Beliau berhenti di situ dan orang-orang hendak minum dari sumurnya. Ketika mereka istirahat, Rasulullah saw bersabda: “jangan kalian minum sedikitpun dari airnya, jangan kalian berwudhu dengannya untuk shalat, adonan yang sudah terlanjur dibuat dengannya maka berikan makan onta, dan jangan kalian makan sedikit pun darinya, dan jangan seorang pun dari kalian keluar di malam hari kecuai disertai temannya …” (HR Ibnu Hisyam di dalam Sîrahnya).

 

Di dalam kisah ini, dapat dilihat bagaimana Rasul saw mengharamkan inidividu dari individu mubah. Minum air adalah mubah, tetapi Rasul saw mengharamkan bagi mereka minum air dari sumur Hijr, dan Beliau mengharamkan atas mereka berwudhu dengannya. Dan seseorang keluar di malam hari seorang diri adalah mubah, tetapi Rasul saw mengharamkan bagi mereka pada malam itu untuk keluar kecuali bersama teman. Kemudian menjadi jelas bahwa, tidak lain Beliau mengharamkan air itu karena terbukti untuk Beliau bahwa di dalamnya ada dharar, dan Beliau mengharamkan keluar seorang diri karena terbukti untuk beliau bahwa di dalam hal itu ada dharar … Jadi adanya dharar belum mengharamkan apa yang dibolehkan syara’, melainkan adanya dharar dalam individunya mengharamkan individu itu, tetapi perkara tersebut tetap mubah, baik itu berupa perbuatan atau sesuatu.

Ini jika individu mubah itu memudaratkan. Adapun jika mengantarkan kepada dharar, maka dalilnya adalah apa yang diriwayatkan:

«أَنَّ رسولَ اللَّهِ ﷺ أقامَ بِتَبُوك بِضْعَ عَشْرَةَ ليلةً لَمْ يُجاوِزْها، ثـُمَّ انصرَفَ قافِلاً إلى المدينة، وكانَ في الطريق ماءٌ يَخْرُجُ من وَشَلٍ، ما يُروي الراكبَ والراكبين والثلاثة، بِوادٍ يُقالُ له وادي الْمُشَقَّقِ، فقالَ رسولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ سَبَقَنا إلى ذلكَ الوادي فلا يَسْتَقِيَنَّ منه شيئاً حتى نَأْتِيَهُ…» رواه ابن هشام في سيرته

“Rasulullah saw berdiam di Tabuk belasan malam tidak melewatinya, kemudian kafilah kembali ke Madinah. Di jalan ada air yang keluar dari Wasyal yang tidak memuaskan minum seorang, dua atau tiga orang penunggang, di lembah yang disebut lembah al-Musyaqqaq. Maka Rasulullah saw bersabda: “siapa yang mendahului kami ke lembah itu maka jangan minum sedikitpun darinya sampai kami tiba di situ …” (HR Ibnu Hisyam di dalam Sîrahnya).

 

Di dalam hadits ini, Rasul saw mengharamkan minum air yang sedikit itu sebab itu mengantarkan kepada kehausannya pasukan. Beliau bersabda ketika itu: “siapa yang mendahului kami ke lembah itu maka jangan minum sedikitpun darinya sampai kami tiba di situ”. Dan beliau melaknat orang-orang yang minum darinya. Itu merupakan dalil bahwa Beliau mengharamkan orang untuk minum darinya sampai beliau tiba di situ. Minum dari air adalah mubah, dan minum dari air di lembah itu di dalamnya tidak ada dharar, tetapi minum darinya sebelum kedatangan Rasul saw dan pembagian air itu di antara pasukan akan mengantarkan kepada pasukan itu tidak mendapatkannya, yakni mengantarkan kepada dharar, maka Beliau mengharamkan minum dari air lembah itu sampai Beliau tiba …

Jadi, keberadaan sesuatu mengantarkan kepada dharar tidak mengharamkan apa yang dimubahkan oleh syara’. Tidak lain keberadaan individu dari individunya mengantarkan kepada dharar maka diharamkan lah individu itu saja, tetapi perkara tersebut tetap mubah, baik itu perbuatan atau sesuatu. Hadits-hadits di dalam dua kondisi ini: kondisi, keberadaan sesuatu memudaratkan dan kondisi keberadaan sesuatu mengantarkan kepada dharar, darinya diistinbath kaedah kedua, yaitu: “kullu fardin min afrâdi al-mubâh idzâ kâna dhâran aw mu`addiyan ilâ dhararin, hurima dzâlika al-fardu wa zhalla al-amru mubâhan -setiap individu dari individu mubah jika memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar, individu itu diharamkan sementara perkara tersebut tetap mubah-“. Dan ini merupakan perkara kedua dari dua perkara kaedah dharar…] selesai.

Dan dengan perenungan kaedah adh-dharar dengan dua sayapnya menjadi jelas bahwa itu tidak berlaku terhadap apa yang Anda sebutkan tentang Corona dalam pertanyaan Anda dari sisi berjarak dalam shaf, karena sebab-sebab berikut:

1- Adapun bagian pertama kaedah maka itu mengharuskan di situ tidak ada nas untuk melakukan hal itu atau tidak melakukannya atau pilihan di dalamnya, maka jika di situ ada nas maka bersandar kepada nas tanpa melampuinya ke pembahasan adh-dharar … Ini tidak berlaku pada saling berjauhan dalam shaf sebab di situ ada nas seputar merapatkan shaf, artinya di situ ada larangan saling berjauhan. Jadi bagian ini dari kaedah tersebut tidak berlaku atasnya dengan alasan adh-dharar.

2- Adapun bagian kedua dari kaedah tersebut maka di situ wajib keberadaan perkara tersebut mubah kemudian datang larangan dari sebagiannya. Dan merapatkan di dalam shaf, di situ ada nas-nas yang memerintahkannya atas wajib atau sunah, yakni bukan mubah, dan dengan begitu dia keluar dari penerapan kaedah tersebut.

3- Atas dasar itu, kaedah adh-dharar tidak berlaku di sini. Tidak lain dibahas tentang hukum syara’ berkaitan dengan shalat di masjid dari sisi merapatkan shaf … Maka menjadi jelas bahwa Rasul saw mewajibkan Shalat Jumat dan memperbolehkan untuk orang yang sakit untuk tidak pergi ke Shalat Jumat atau jamaah jika dia sakit:

a- Adapun keberadaan Shalat Jumat fardhu maka hal itu karena firman Allah SWT:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (TQS al-Jum’ah [62]: 9).

 

Di sini ada larangan dari sesuatu yang mubah (jual beli) dan pergi ke Shalat Jumat. Qarinah ini bersifat jazim bahwa Shalat Jumat adalah fardhu …

b- Adapun orang yang sakit dikecualikan dari wajibnya pergi ke Shalat Jumat, itu karena apa yang telah dikeluarkan oleh al-Hakim dari Abu Musa dari Nabi saw, Beliau bersabda:

«الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوْ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ»

Shalat Jumat merupakan hak wajib bagi setiap Muslim di dalam jamaah kecuali empat: hamba sahaya, perempuan, anak-anak atau orang yang sakit”.

 

Al-Hakim berkata: “ini merupakan hadits shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim meski beliau berdua tidak mengeluarkannya”. Demikian juga, an-Nasai telah mengeluarkan dari Ibnu Umar ra dari Hafshah isteri Nabi saw: Nabi saw bersabda:

«رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ»

“Shalat Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang telah mimpi (baligh)”.

 

4- Adapun merapatkan dalam shaf maka nas jelas dalam perintah dengannya. Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Jabir bin Samurah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟» فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ: «يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ»

“Kenapa kalian tidak berbaris sebagaimana para Malaikat berbaris di hadapan Rabbnya?” Maka kami katakan: “Ya Rasulullah, bagaimana para Malaikat berbaris di hadapan Rabbnya?” Beliau bersabda: “mereka melengkapi shaf pertama dan merapatkan dalam shaf”.

 

Imam Ahmad telah mengeluarkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw bersabda:

«أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفّاً وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللَّهُ»

“Tegakkan shaf, tidak lain kalian harus bershaf dengan shafnya para Malaikat dan luruskan di antara pundak, isi yang kosong dan rapatkan di antara tangan kalian dan jangan biarkan celah untuk setan, dan siapa yang menyambungkan shaf maka Allah menyambungkan dia dan siapa yang memotong shaf maka Allah memotong dia”.

 

5- Sebelumnya kami telah mengeluarkan sejumlah Jawab rinci seputar topik ini. Dan saya mencukupkan untuk mengingatkan Anda hanya dengan dua Jawab Soal seputar topik ini:

Pertama pada 17 Syawal 1441 H-8 Juni 2020 M dan saya kutipkan potongan yang ada di situ:

(… Kedua: atas dasar itu, maka negara-negara di negeri kaum Muslim, jika mengharuskan orang-orang yang menunaikan shalat agar saling berjauhan (berjarak) satu di samping yang lain sejarak satu atau dua meter, baik apakah yang demikian itu di dalam Shalat Jumat atau shalat jamaah karena khawatir penularan, khususnya tanpa ada gejala-gejala patologis, maka dengan itu dia telah melakukan dosa besar yang mana saling berjauhan, ini merupakan bid’ah. Yang demikian itu karena saling berjauhan (berjarak) dalam Shalat Jumat dan jamaah itu merupakan penyimpangan yang jelas terhadap tata cara shaf dan merapatkan shaf yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw dengan dalil-dalil syar’iy …

Ketiga: tidak dikatakan bahwa penyakit yang menular adalah udzur yang memperbolehkan saling berjauhan di dalam shalat jamaah. Tidak dikatakan demikian. Sebab penyakit yang menular adalah udzur untuk tidak pergi ke masjid dan bukan udzur untuk pergi dan saling berjauhan dari orang yang shalat di sampingnya satu atau dua meter!! Penyakit menular terjadi pada masa Rasulullah saw (Tha’un) dan tidak ada dari Rasul saw bahwa orang yang terinfeksi Tha’un pergi ke shalat dan menjauh dari temannya sejarak dua meter. Tetapi, dia diberi udzur sehingga dia shalat di rumahnya … Artinya orang yang sakit dengan sakit menular tidak dicampurkan dengan orang yang sehat dan untuknya disediakan pengobatan yang mencukupi dan memadai dengan izin Allah. Adapun orang-orang yang sehat maka dia pergi ke masjid menunaikan Shalat Jumat dan jamaah seperti biasa tanpa saling berjauhan (berjarak) dalam shaf … (17 Syawal 1441 H-8 Juni 2020 M)], selesai.

Dan Jawab Soal kedua pada 14/10/2020 M dan saya kutipkan sebagiannya:

[… dan jelas dari apa yang disampaikan di atas bahwa Shalat Jumat adalah fardhu ‘ain dan wajib ditunaikan dengan tatacara yang telah dijelaskan oleh Rasul saw dengan rukun dan syarat sahnya disertai merapatkan shaf menurut syariah sebagaimana apa yang telah dijelaskan di dalam jawaban kami sebelumnya … Larangan penguasa (otoritas) untuk melaksanakan Shalat Jumat menurut tatacara seperti itu merupakan dosa besar yang jatuh di atas pundak penguasa, baik apakah negara menutup masjid-masjid atau melarang pelaksanaan Shalat Jumat sesuai tatacara syar’iy itu …

Dan karena Shalat Jumat adalah fardhu ‘ain, maka setiap Muslim mukallaf harus berusaha Shalat Jumat dan menunaikannya secara syar’iy dengan rukun dan syarat-syarat sahnya serta merapatkan shafnya … dsb. Jika tidak mampu karena penghalang bersifat fisik atau halangan dari penguasa zalim yang melarang (menghalangi) pelaksanaan Shalat Jumat sesuai ketentuan syariah bahkan penguasa zalim itu memaksa orang-orang yang melaksanakan shalat terhadap bid’ah tersebut dengan memaksakan perenggangan (berjarak dalam) shaf sehingga orang yang shalat itu tidak bisa menunaikannya karena halangan itu maka hendaklah dia menunaikannya sesuai kemampuannya dan penguasa zalim itu akan memikul dosa tersebut …

Rasul saw bersabda dalam riwayat yang telah dikeluarkan oleh imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallâh dari Abu Hurairah ra:

«وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ» واللفظ للبخاري

“Dan jika aku memerintahkan kalian dengan satu perkara maka tunaikanlah semampu kalian” (lafal menurut al-Bukhari).

 

Maka jika seorang Muslim mampu melaksanakan Shalat Jumat yang fardhu ‘ain dengan merapatkan shaf maka dia wajib menunaikan shalat dengan merapatkan shaf, sebab merenggangkan shaf adalah bid’ah selama dia mampu menjauhi perenggangan shaf itu. Adapun jika dia tidak mampu karena perbuatan penguasa yang berdosa maka ketika itu dia melaksanakan shalat sesuai yang dia mampu. An-Nawawi (w. 676 H) mengatakan di dalam bukunya al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hajâj ketika menjelaskan hadits tersebut dengan lafal Muslim: “dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: …

«فإذا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»

“Maka jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian”.

 

An-Nawawi berkata dalam syarahnya: “Maka jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian” ini termasuk kaedah (pilar) Islam yang penting dan termasuk kalimat yang menghimpun yang diberikan oleh Rasulullah saw, dan termasuk di dalamnya hukum-hukum yang tak terhitung banyaknya seperti shalat dengan semua macamnya maka jika tidak mampu dari sebagian rukunnya atau sebagian syaratnya maka hendaknya dia tunaikan sisanya (yang mampu dia tunaikan)wallâh a’lam], selesai.

Dan saya sungguh berharap di dalam itu ada kecukupan seputar topik Shalat Jumat.

Ringkasnya: orang yang berkewajiban hendaknya menunaikan kewajiban Jumat. Sedangkan orang yang sakit, dia diberi udzur sehingga dia tidak pergi. Jika sakitnya menular maka tidak pergi untuk Shalat Jumat lebih ditegaskan. Dan dari sisi kehati-hatian dan pemeliharaan urusan, negara menempatkan satuan kesehatan di dekat masjid-masjid selama hari Jumat untuk mengatasi celah yang terjadi.

Adapun pertanyaan Anda tentang kaedah adh-dharar, apakah itu berkaitan dengan sesuatu atau perbuatan, maka kaedah itu berkaitan dengan kedua perkara tersebut sebagaimana yang kami sebutkan di dalam kutipan kami dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii “kaedah adh-dharar”. Dan kami telah menonjolkan kalimat “baik itu merupakan perbuatan atau sesuatu” di dalam teks yang kami kutipkan untuk menegaskan hal itu.

Saya berharap di dalam hal ini ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

9 Syawal 1442 H

21 Mei 2021 M

 

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/75627.html

https://web.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2931080637137941

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close