Tanya Jawab

Hukum Vaksinasi yang Mengandung Bahan Haram

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Amir dan syaikh kami.

Semoga Allah melindungi Anda dan partai pilihan ini dan memberikan kemenangan melalui tangan Anda dan memberi karunia kepada Umat dengan Khilafah Rasyidah kedua yang mengikuti manhaj kenabian, amin.

Pertanyaan saya, di Inggris, pemerintah memberi anak-anak kami vaksinasi flu untuk musim dingin setiap tahun sehingga anak-anak tidak terkena flu. Tindakan preventif ini, para orang tua boleh memilih tidak diberikan vaksin untuk anak-anak mereka. Dari yang saya tahu, vaksinasi itu mengandung gelatin yang berasal dari babi. Mereka mengatakan vaksin itu telah dimurnikan (dari gelatin babi). Vaksin ini dalam bentuk vaksin semprot mulut.

Apakah boleh bagi anak-anak atau orang dewasa mengambil vaksin pencegahan dan juga obat yang mengandung bahan haram seperti babi, alkohol dan lainnya?

Semoga Allah SWT menjaga Anda dalam keadaan sehat wal afiat dan memberi balasan yang lebih baik atas jawaban Anda.

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saudaramu di dalam Islam

Abdul Bashir

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Di awal, semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda atas doa baik Anda untuk kami. Dan kami sebaliknya mendoakan Anda dengan yang lebih baik dari itu …

Sesungguhnya Anda menanyakan tentang hukum syara’ tentang vaksinasi yang vaksinnya mengandung bahan haram. Anda juga menanyakan tentang berobat dengan obat yang mengandung bahan-bahan haram … Kami sebelumnya telah menjawab atas hukum vaksinasi. Demikian juga kami telah menjawab atas hukum berobat dengan yang haram dan najis. Dan dari kumpulan Jawaban ini menjadi jawaban atas pertanyaan Anda sekarang ini. Saya kutipkan sesuatu dari jawaban kami sebelumnya:

 

Pertama: Jawab Soal tanggal 18/11/2013 seputar vaksinasi dan hukumnya. Di situ dinyatakan:

[Vaksinasi adalah pengobatan. Dan berobat adalah mandub, bukan wajib. Dalilnya adalah sebagai berikut:

  1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, ia menuturkan: Rasulullah saw bersabda:

«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً»

“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya”.

 

Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw, beliau bersabda:

«لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ»

“Untuk setiap penyakit ada obatnya, dan jika obat itu mengenai penyakit, maka sembuh dengan izin Allah azza wa jalla”.

 

Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abdullah bin Mas’ud:

«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً، إِلَّا قَدْ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ»

“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya, itu diketahui oleh orang yang berilmu dan tidak diketahui oleh orang yang tidak punya ilmunya”.

Hadits-hadits ini di dalamnya ada petunjuk bahwa setiap penyakit ada obat yang menyembuhkannya. Hal itu agar menjadi dorongan untuk berupaya berobat yang mengantarkan kepada sembuhnya penyakit itu dengan izin Allah. Dan ini adalah arahan dan bukan wajib.

 

  1. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ، خَلَقَ الدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا»

“Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, Allah ciptakan obatnya, maka berobatlah“.

 

Abu Dawud telah meriwayatkan dari Usamah bin Syarik, ia berkata: “aku datang kepada Rasulullah saw dan para sahabat beliau seolah-olah kepala mereka seperti burung. Lalu aku ucapkan salam lalu aku duduk. Lalu seorang arab baduwi datang dari sini dan situ. Mereka berkata: ya Rasulullah apakah kita berobat? Rasul bersabda:

تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ»

“Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah azza wa jalla tidak menempatkan penyakit kecuali juga Allah tempatkan obat untuknya, kecuali satu penyakit al-harmu.”

Yakni “kecuali kematian”.

Di dalam hadits pertama, Rasul memerintahkan berobat. Dan di dalam hadits kedua, Beliau saw menjawab kepada seorang arab baduwi dengan jawaban berobat. Dan seruan kepada para hamba agar berobat, karena Allah tidaklah menempatkan penyakit kecuali Allah tempatkan obat untuknya. Seruan di dalam kedua hadits itu disampaikan dalam redaksi perintah. Perintah memberi pengertian tuntutan dan tidak memberi pengertian wajib kecuali jika perintah yang tegas. Dan ketegasan itu memerlukan indikasi yang menunjukkannya, sementara tidak ada indikasi itu di dalam kedua hadits tersebut yang menunjukkan wajib. Ditambah bahwa dinyatakan hadits-hadits yang menyatakan bolehnya tidak berobat, yang menafikan pengertian wajib dari kedua hadits tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Nabi saw bersabda:

«يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ»، قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «هُمُ الَّذِينَ لَا يَكْتَوُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ»

“Ada 70 ribu orang dari umatkku masuk surga tanpa hisab.” Mereka (par sahabat) bertanya: “siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasul menjawab: “mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan kay dan tidak meminta minta diruqyah (dijampi-jampi).”

Kay dan ruqyah termasuk pengobatan. Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas: ia berkata: “ …. (yaitu) perempuan hitam ini, ia datang kepada Nabi saw lalu berkata:

إِنِّي أُصْرَعُ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي، قَالَ: «إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ» فَقَالَتْ: أَصْبِرُ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ، «فَدَعَا لَهَا…»

“Aku sakit ayan dan aku tersingkap (auratku jika kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku.” Rasul bersabda: “jika engkau mau engkau bersabar dan untukmu surga, dan jika engkau mau aku berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu.” Maka perempuan itu menjawab: “saya bersabar saja”. Lalu ia melanjutkan: “saya tersingkap (auratku ketika aku kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku agar aku tidak tersingkap.” Maka Rasul berdoa untuknya”.

Kedua hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat.

Semua itu menunjukkan bahwa perintah yang dinyatakan “fatadâwû”, “tadâwû” bukan untuk wajib. Dengan begitu perintah di sini bisa mubah atau bisa juga mandub, sementara kuatnya dorongan dari Rasul saw untuk berobat, maka jadilah perintah berobat yang dinyatakan di dalam hadits-hadits itu adalah untuk mandub.

Atas dasar itu, maka vaksinasi hukumnya mandub. Sebab vaksinasi adalah obat dan berobat adalah mandub. Namun jika terbukti bahwa jenis tertentu dari vaksinasi itu membahayakan seperti bahannya rusak atau membahayakan karena suatu sebab tertentu … maka vaksinasi dalam kondisi dengan bahan ini menjadi haram sesuai kaedah dharar yang diambil dari hadits Rasulullah saw yang telah dikeluarkan oleh imam Ahmad di dalam Musnad-nya dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»

“Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri”.

Hanya saja kondisi ini sangat sedikit …

Adapun di Daulah al-Khilafah maka akan ada vaksinasi untuk berbagai penyakit yang mengharuskan hal itu seperti penyakit menular dan sejenisnya. Dan obat itu akan bersih dari segala kotoran. Sementara Allah SWT, Zat yang menyembuhkan.

﴿وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ﴾

dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS asy-Syu’ara’ [26]: 80).

Sudah makruf secara syar’iy bahwa pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari kewajiban Khalifah termasuk bagian dari ri’ayah asy-syu’un (pemeliharaan urusan rakyat) sebagaimana praktik sabda Rasul saw:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

“Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas pemeliharaannya” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).

Ini adalah nas yang bersifat umum atas tanggung jawab negara atas kesehatan dan pengobatan karena merupakan bagian dari pemeliharaan yang wajib bagi negara.

Ada dalil khusus atas kesehatan dan pengobatan. Imam Muslim telah mengeluarkan dari jalur Jabir ia, berkata:

«بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَاهُ عَلَيْهِ»

“Rasulullah saw mengutus kepada Ubay bin Ka’ab seorang tabib lalu tabib itu memotong nadinya dan dipanasi dengan benda yang dipanaskan (kay)”.

Al-Hakim telah mengeluarkan di Mustadrak dari Zaid bin Aslam dari bapaknya yang berkata:

«مَرِضْتُ فِي زَمَانِ عُمَرَ بِنَ الْخَطَّابِ مَرَضاً شَدِيداً فَدَعَا لِي عُمَرُ طَبِيباً فَحَمَانِي حَتَّى كُنْتُ أَمُصُّ النَّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ الْحِمْيَةِ»

“Aku sakit keras pada masa Umar bin al-Khaththab lalu Umar memanggil seorang tabib lalu tabib itu memberi pantangan makanan kepadaku hingga aku menghisap biji karena kerasnya pantangan itu”.

Rasul saw dalam kapasitas beliau sebagai seorang penguasa mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka’ab. Umar ra sebagai khalifah rasyid kedua memanggil seorang tabib untuk mengobati Aslam. Keduanya merupakan dalil bahwa pemeliharaan kesehatan dan pengobatan termasuk bagian dari kebutuhan dasar rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis kepada orang diantara rakyat yang memerlukannya] selesai.

 

Kedua: Jawab Soal tanggal 26/1/2011 seputar pemanfaatan sesuatu yang haram dan najis dan berobat dengan keduanya. Di situ dinyatakan:

[ … 2. Pemanfaatan najis dan sesuatu yang haram adalah haram. Diantara dalilnya adalah:

Imam al-Bukhari mengeluarkan hadits dari Jabir bin Abdullah ra., bahwa ia mendengar Rasulullah saw pada hari Fathu Mekah pada saat di Mekah Beliau bersabda :

«إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ»

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan berhala. Lalu dikatakan: ya Rasulullah bagaimana pendapatmu dengan lemak bangkai, itu bisa untuk memvernish kapal, melumasi kulit dan dipakai orang untuk penerangan”. Maka Rasul saw bersabda: “tidak, lemak bangkai itu haram” kemudian pada saat demikian Rasulullah saw bersabda: “celakalah Yahudi, ketika Allah mengharamkan lemak hewan lalu mereka jadikan samin kemudian mereka jual dan mereka makan harganya”.

– Di dalam Tahdzîb al-Atsar karya ath-Thabari dari Jabir, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«لاَ تَنْتَفِعُوا مِنَ الميْتَةِ بِشَيْءٍ»

“Jangan kalian memanfaatkan dari bangkai dengan sesuatu pun”.

– Dikecualikan kulit bangkai sebagaimana yang ada di hadits Abu Dawud dari Ibnu Abbas. Musaddad dan Wahab berkata dari Maimunah, ia berkata: “untuk mawla perempuan kami dihadiahkan sekor domba dari domba shadaqah lalu domba itu mati. Lalu Nabi saw melaluinya dan Beliau bersabda:

«أَلاَ دَبَغْتُمْ إِهَابَهَا وَاسْتَنْفَعْتُمْ بِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ قَالَ إِنَّمَا حُرِّمَ أَكْلُهَا»

“Tidakkah kalian samak kulitnya lalu kalian manfaatkan?” Mereka berkata: “ya Rasulullah ini bangkai”. Rasulullah saw bersabda: “melainkan yang diharamkan adalah memakannya”.

– Imam al-Bukhari mengeluarkan hadits dari Jabir bin Abdullah ra., bahwa ia mendengar Rasulullah saw pada hari Fathu Mekah pada saat Beliau di Mekah, Beliau bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ»

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr”.

– Imam al-Bukhari juga mengeluarkan dari Anas ra.: “aku orang yang menuangkan minuman sekelompok orang di rumah Abu Thalhah, pada waktu itu (kebiasaan minum) khamr mereka sangat jelas. Lalu Rasulullah saw memerintahkan penyeru untuk menyerukan:

«أَلاَ إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ»

“Ketahuilah, sesungguhnya khamr telah diharamkan”.

Anas berkata: “maka Abu Thalhah berkata kepadaku: “keluarlah dan tumpahkan khamr itu”. Anas berkata: “maka aku keluar dan aku tumpahkan sehingga khamr mengaliri parit-parit Madinah”

– Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ»

“Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya dan mengharamkan babi dan harganya”.

 

  1. Dari keharaman itu dikecualikan berobat. Berobat dengan sesuatu yang haram dan najis adalah tidak haram:

– Adapun berobat dengan sesuatu yang haram adalah tidak haram maka itu berdasarkan hadits dari Anas:

«رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ رُخِّصَ لِلزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا»

Rasulullah saw memberi keringanan kepada atau diberikan keringanan (diberi rukhshah) kepada Zubair bin al-‘Awam dan Abdurrahman bin ‘Awf untuk memakai sutera karena penyakit kulit keduanya

Memakai sutera bagi laki-laki adalah haram. Akan tetapi hal itu diperbolehkan dalam hal berobat. Demikian pula hadits an-Nasai, Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan lafazh an-Nasai: telah menceritakan kepada kami Abdurrahman Thurafah dari kakeknya ‘Arfajah bin As’ad bahwa ia pada hari al-Kulab semasa masih jahiliyah, hidungnya terluka (koyak) lalu ia menggunakan hidung dari perak sehingga menimbulkan bau tidak sedap.

«فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ»

Maka Nabi saw menyuruhnya memakai hidung dari emas

Emas bagi laki-laki adalah haram. Akan tetapi itu diperbolehkan dalam hal berobat.

– Sedangkan berobat dengan najis adalah bukan haram maka itu berdasarkan hadits riwayat imam al-Bukhari dari Anas ra.:

«أَنَّ نَاسًا اجْتَوَوْا فِي الْمَدِينَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَلْحَقُوا بِرَاعِيهِ يَعْنِي الْإِبِلَ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَلَحِقُوا بِرَاعِيهِ فَشَرِبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا…»

Ada orang-orang yang ijtawaw di Madinah lalu Nabi saw menyuruh mereka untuk menyusul penggembala Beliau yaitu (penggembala) unta sehingga mereka bisa meminum susunya dan air kencing unta itu, maka mereka menyusul penggembala itu dan mereka meminum susu dan air kencing unta itu…

Ijtawaw artinya makanannya tidak cocok dengan mereka sehingga mereka sakit. Rasul saw memperbolehkan “air kencing” untuk mereka dalam hal berobat padahal “air kencing” itu adalah najis. Imam al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

« قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَبَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِىُّ e « دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ »

Seorang arab baduwi kencing di Masjid lalu orang-orang akan menindaknya. Maka Nabi saw bersabda: “biarkan dia dan siram bekas kencingnya dengan satu timba penuh air, melainkan kalian diutus sebagai orang-orang yang memberi kemudahan dan kalian tidak diutus sebagai orang-orang yang menimbulkan kesulitan”.

Sabda beliau “sajlan wa dzanûban”: yakni satu ember penuh…] selesai.

 

Ketiga: dinyatakan di dalam Jawab Soal tanggal 19/09/2013 M:

[ … Jawabnya adalah bahwa penggunaan khamr dalam pengobatan, demikian juga obat yang di dalamnya ada alkohol … maka hukumnya boleh disertai ketidaksukaan (karâhiyah). Dalil hal itu :

Ibnu Majah telah mengeluarkan dari jalur Thariq bin Suwaid al-Hadhrami, ia berkata:

«قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ بِأَرْضِنَا أَعْنَابًا نَعْتَصِرُهَا فَنَشْرَبُ مِنْهَا قَالَ لَا فَرَاجَعْتُهُ قُلْتُ إِنَّا نَسْتَشْفِي بِهِ لِلْمَرِيضِ قَالَ إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِشِفَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ»

“Aku katakan, “ya Rasulullah saw sesungguhnya di tanah kami ada anggur yang kami peras dan kami minum”. Rasul menjawab: “jangan”. Lalu aku kembali kepada beliau dan aku katakan: “kami memberikannya untuk minum orang sakit”. Rasulullah menjawab; “sesungguhnya itu bukan obat melainkan penyakit”.

 

Ini merupakan larangan penggunaan najis atau zat haram “khamr” sebagai obat. Akan tetapi Rasulullah saw memperbolehkan berobat menggunakan najis “air kencing unta”. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari jalur Anas ra.:

«أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ اجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَرَخَّصَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْتُوا إِبِلَ الصَّدَقَةِ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا…»

“Ada orang-orang dari Urainah, udara Madinah tidak cocok untuk mereka sehingga mereka sakit, maka Rasulullah saw memberi rukhshah mereka untuk mendatangi unta sedekah lalu mereka meminum air susunya dan air kencingnya …”.

 

Jadi Rasulullah saw memperbolehkan mereka berobat dengan air kencing unta dan itu adalah najis. Demikian juga Rasul saw memperbolehkan berobat dengan sesuatu yang haram “memakai sutera”. At-Tirmidzi dan Ahmad telah mengeluarkan dan lafazh at-Tirmidzi dari jalur Anas:

«أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ شَكَيَا الْقَمْلَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي غَزَاةٍ لَهُمَا، فَرَخَّصَ لَهُمَا فِي قُمُصِ الْحَرِيرِ. قَالَ: وَرَأَيْتُهُ عَلَيْهِمَا»

“Abdurrahman bin ‘Awf dan az-Zubair bin al-‘Awwam mengadukan kutu kepada Nabi saw pada perang keduanya, maka Nabi saw memberi kedunya rukhshah untuk memakai sutera. Anas berkata: dan aku melihat keduanya memakainya”.

 

Dua hadits ini merupakan indikasi (qarinah) bahwa larangan dalam hadits Ibnu Majah itu bukanlah haram. Artinya berobat menggunakan najis dan zat haram adalah makruh.

Oleh karena itu, penggunaan obat yang dalam pembuatannya dimasukkan alkohol adalah boleh disertai ketidaksukaan (karâhiyah). Yang afdhal adalah tidak menggunakan alkohol dalam pembuatan obat. Akan tetapi, andai digunakan dalam pembuatan obat maka hukumnya makruh. Begitulah, seandainya orang yang sakit itu meminum obat yang di dalamnya ada alkohol maka makruh. Semua itu jika campuran yang di dalamnya ada alkohol tersebut adalah obat menurut pendapat orang yang ahli di bidangnya, dan bukan sesuatu yang lain] selesai.

Berdasarkan hal itu, vaksinasi dengan vaksin yang mengandung bahan haram atau najis adalah boleh disertai dengan karâhah. Sebab vaksinasi masuk di bawah bab berobat. Dan berobat dengan yang haram dan najis sebagaimana yang dijelaskan di atas adalah boleh disertai dengan ketidaksukaan (karâhah) … Hanya saja jika telah jelas bahwa di situ ada dharar maka ketika itu tidak boleh.

Saya berharap, perkara tersebut telah menjadi jelas. Wallâh a’lam wa ahkam.

 

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

8 Sya’ban 1442 H

21 Maret 2021 M

 

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/74458.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2887350074844331

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close