Tanya Jawab

Hukum Syara’ Tentang Transplantasi, Otopsi dan Ikhtilath

Soal:

Beberapa pertanyaan kepada Amir Hizbut Tahrir. Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

1- Di dalam buku “Hukum Syara’ Tentang Kloning – Transplantasi Organ …..” karya syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullah, Hizbut Tahrir mengharamkan transplantasi organ dari mayit ke orang hidup bagaimana pun organ itu apakah bisa menyelamatkan manusia dari kematian seperti transplantasi jantung ataukah mengobati suatu penyakit seperti translantasi kornea. Dari booklet itu dan dari ad-dusiyah al-fiqhiyah juga bisa dipahami bahwa otopsi adalah haram.

Sesungguhnya Islam mendorong berobat meski dengan sesuatu yang haram, sebatas pengetahuan saya. Misalnya alkohol yang ada di obat.

2- Pengharaman otopsi menghalangi mahasiswa kedokteran dari pengetahuan dan mengenal tubuh manusia, lalu bagaimana mereka akan melakukan pekerjaan mereka dan melakukan operasi pembedahan misalnya sementara mereka tidak mengetahui tubuh manusia?? Dan pengharaman otopsi menghalangi dokter syar’iy dari mengetahui berbagai kaitan dari sebuah kejahatan padahal hal itu memudahkan penyelesaian kejahatan ini.

Saya ingin mendapat semua hukum syara’ berkaitan dengan ikhtilath. Terima kasih banyak.

Luthfi al-Faqih seorang apoteker di Tunisia.

Apoteker Luthfi al-Faqih

Pharmacien Lotfi Fékih

Tunisia 11/11/2018.

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda, khususnya pertanyaan pertama dan kedua, saya ingin sebutkan bahwa hukum syara’ itu diambil dari dalil-dalilnya. Aktivitas mujtahid ketika mengistinbath hukum adalah mendalami nas-nas syara’ untuk mengetahui hukum syara’, dan bukan mengeluarkan hukum yang dipandang oleh mujtahid itu sesuai untuknya atau dia memperhatikan keperluan terhadapnya. Sebab yang dimaksud dengan ijtihad adalah mengerahkan segenap daya upaya untuk mengetahui hukum syara’ bukan hukum akal. Jadi ketika mengistinbath hukum syara’, tidak boleh memperhatikan keperluan dan mencari hukum yang sesuai dengan keperluan orang-orang atau kehendak mereka sebab ini membuat hukum yang diistinbath adalah hukum akal bukan hukum syara’… Padahal pembahasan yang dituntut ketika ijtihad adalah hukum syara’. Maka jika dalil-dalil syara’ menunjukkan hukum tertentu dalam kasus tertentu maka hukum ini menjadi hukum yang dijadikan sandaran, dan kebutuhan manusia dijalankan sesuai hukum syara’ ini dan bukan sebaliknya. Artinya, tidak boleh menundukkan hukum syara’ agar menyesuaikan kebutuhan manusia atau yang mereka bayangkan sebagai kebutuhan. Tetapi sebaliknya wajib menundukkan kebutuhan manusia agar sesuai dengan hukum syara’. Sebab hukum Allah SWT adalah al-haqq yang wajib diikuti…

Sekarang, kita sampai ke jawaban atas tiga pertanyaan Anda:

Pertama, berkaitan dengan pertanyaan Anda tentang transplantasi organ, jelas bahwa Anda menelaah dalil-dalil yang menunjukkan keharaman transplantasi organ dari seseorang yang telah mati dan dia termasuk orang yang terpelihara darahnya, kepada orang hidup, sesuai apa yang dijelaskan dalam boklet al-Istinsâkh (Kloning). Istidlal dalam booklet itu terjadi pada dua perkara atas keharaman transplantasi organ dari mayit ke orang hidup, keduanya adalah:

1- Tidak ada seorang pun yang memiliki jasad seseorang setelah kematiannya. Si mayit tidak memiliki kekuasaan atas jasadnya setelah kematiannya. Ahli waris juga tidak memiliki kekuasaan atas jasad mayit setelah kematiannya. Hal itu seperti yang ditunjukkan dalil-dalil syara’ … Atas dasar itu, si mayit dan ahli warisnya tidak memiliki hak untuk mendonasikan organ dari jasad mayit tersebut sebab jasad si mayit itu tidak berada dalam kepemilikan mereka dan mereka tidak punya kekuasaan atasnya…

2- Tidak boleh menyerang dan menyakiti mayit. Demikian juga tidak boleh memutilasinya … Hal itu sebagai berikut:

a- Berkaitan dengan keharaman menyerang dan menyakiti, maka telah dinyatakan hadits-hadits “yang menunjukkan dengan dalalah yang jelas bahwa mayit memiliki kehormatan orang hidup. Sebagaimana yang ditunjukkan bahwa menyerang atas kehormatan dan menyakiti mayit, sama seperti menyerang kehormatan dan menyakiti orang hidup. Sebagaimana tidak boleh menyerang orang hidup dengan merobek perutnya, atau memotong lehernya atau mencabut bola matanya atau mematahkan tulangnya, maka demikian juga tidak boleh menyerang mayit dengan merobek perutnya, atau memotong lehernya atau mencabut bola matanya atau mematahkan tulangnya. Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencacinya atau memukulnya atau melukainya, maka demikian juga haram menyakiti mayit dengan mencaci, memukul atau melukai…”. Di antara hadits-hadits itu adalah:

– Dari Aisyah Ummul Mukminin ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

«كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيّاً» رواه أحمد وأبو داود وابن حبان

“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya ketika dia hidup” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban).

 

– Imam Ahmad telah meriwayatkan dari jalur Amru bin Hazmin al-Anshari, dia berkata: “Rasulullah saw melihatku dan aku sedang bersandar ke kuburan, maka beliau bersabda:

«لَا تُؤْذِ صَاحِبَ الْقَبْرِ»

“Jangan kamu menyakiti pemilik kubur ini”.

 

– Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

«لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ مُتَحَرِّقَةٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ»

“Seseorang dari kalian duduk di atas bara api yang membara, itu lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur”.

 

b- Berkaitan dengan mutilasi terhadap mayit, maka “mencabut bola mata mayit, merobek perutnya untuk mengambil jantungnya atau levernya atau kedua ginjalnya dan mentransplantasikannya ke seseorang lainnya yang membutuhkannya, hal itu termasuk memutilasi mayit, dan Islam melarang mutilasi”:

– Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid al-Anshari, dia berkata:

«نَهَى رَسُولُ اللهِ  عَنِ النُّهْبَى وَالْمُثْلَة»

“Rasulullah saw melarang kanibal dan mutilasi”.

 

– Imam Ahmad, Ibnu Majah dan an-Nasai telah meriwayatkan dari Shafqan bin ‘Usal, dia berkata: “Rasulullah saw mengutus detasemen, beliau bersabda:

«سِيرُوا بِاسْمِ اللهِ، وَفِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، وَلَا تُمَثِّلُوا وَلَا تَغْدُرُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيداً»

“Berjalanlah dengan membaca asma Allah dan di jalan Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah, dan jangan kalian memutilasi, jangan berkhianat dan jangan membunuh lansia”.

 

Berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan di atas maka tampak dengan sangat jelas bahwa transplantasi organ dari seseorang yang telah mati dan dia terjaga darahnya, kepada orang hidup, adalah haram secara syar’iy… Tidak bisa dikatakan bahwa syara’ telah memperbolehkan berobat dengan yang haram seperti berobat dengan alkohol yang ada di dalam obat-obatan sehingga kalau begitu boleh mentransplantasikan organ dari mayit kepada orang hidup meski transplantasi itu adalah haram. Tidak dikatakan yang demikian sebab berobat dengan keharaman yang disetujui oleh syara’ itu tidak lain adalah berobat dengan yang haram dan najis tanpa menyakiti atau membahayakan orang lain. Ibnu Majah telah mengeluarkan dari jalur Thariq bin Suwaid al-Hadhrami, dia berkata:

«قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ بِأَرْضِنَا أَعْنَابًا نَعْتَصِرُهَا فَنَشْرَبُ مِنْهَا قَالَ لَا فَرَاجَعْتُهُ قُلْتُ إِنَّا نَسْتَشْفِي بِهِ لِلْمَرِيضِ قَالَ إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِشِفَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ»

“Aku katakan: ya Rasulullah sesungguhnya di wilayah kami ada anggur yang kami peras dan kami minum”. Beliau bersabda: “jangan”. Lalu aku kembali kepada beliau dan aku katakan: “kami berikan minum untuk orang sakit”. Beliau bersabda: “itu bukan obat tetapi penyakit”.

 

Ini adalah larangan dari menggunakan najis atau sesuatu yang haram “khamr” sebagai obat. Tetapi Rasulullah saw memperbolehkan berobat menggunakan najis “air seni onta”. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan hadits dari jalur Anas ra.:

«أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ اجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَرَخَّصَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ أَنْ يَأْتُوا إِبِلَ الصَّدَقَةِ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا...»

“Orang-orang dari Urainah, udara Madinah tidak cocok untuk mereka sehingga mereka sakit lalu Rasulullah saw memberi mereka rukhshah untuk mendatangi onta shadaqah lalu mereka meminum susunya dan air seninya…”.

Ijtawaû al-madînah yakni udaranya tidak cocok bagi mereka sehingga mereka sakit, lalu Rasul saw memperbolehkan mereka berobat dengan air seni onta padahal itu najis. Demikian juga Rasul saw memperbolehkan berobat dengan yang haram “mengenakan sutera”. At-Tirmidzi dan Ahmad telah mengeluarkan, redaksi at-Tirmidzi dari jalur Anas:

«أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ شَكَيَا الْقَمْلَ إِلَى النَّبِيِّ فِي غَزَاةٍ لَهُمَا، فَرَخَّصَ لَهُمَا فِي قُمُصِ الْحَرِيرِ. قَالَ: وَرَأَيْتُهُ عَلَيْهِمَا»

“Abdurrahman bin ‘Awf dan az-Zubair bin al-‘Awam mengadukan kutu kepada Nabi saw dalam perang yang diikuti keduanya lalu Rasul saw memberi mereka berdua rukhshah untuk mengenakan sutera, dan aku lihat keduanya mengenakan sutera”.

 

Kedua hadits ini menjadi qarinah (indikasi) bahwa larangan yang ada di dalam hadits Ibnu Majah itu tidak jazim (tidak tegas), artinya berobat dengan najis dan yang haram adalah makruh.

Dalil-dalil ini menjelaskan bahwa syara’ memperbolehkan berobat dengan najis dan sesuatu yang haram disertai ketidaksukaan. Tetapi berobat dengan najis “air seni onta” dan dengan yang haram “mengenakan sutera” berbeda dengan berobat dengan yang haram yang mengandung serangan terhadap orang lain. Yang terakhir ini tidak termasuk dalam cakupan pengecualian berobat dengan yang haram karena faktanya berbeda… Misalnya, apakah boleh secara syar’iy menyerang seseorang yang hidup dengan mengambil ginjalnya secara ghasab demi mengobati seseorang yang sakit karena dia membutuhkan ginjal (seperti yang terjadi di apa yang disebut negara dunia ketiga berupa penculikan anak-anak atau orang dewasa untuk diambil sebagian organnya untuk ditransplantasikan ke orang sakit di apa yang disebut negara dunia pertama)? Jawabannya tentu saja bahwa ini haram dan tidak boleh karena di dalamnya ada serangan terhadap pihak lain… Jadi sesuatu yang haram yang boleh digunakan untuk berobat itu tidak mencakup keharaman yang di dalamnya ada serangan terhadap pihak lain sebab dalil-dalil kebolehan penggunaan yang haram untuk berobat tidak berlaku terhadapnya. Oleh karena itu, maka tidak boleh berobat dengan menyerang jasad mayit dengan mentransplantasikan organ darinya ke orang hidup. Sebab ini merupakan perkara yang haram karena di dalamnya ada serangan terhadap jasad mayit dan karena tidak berlaku atasnya dalil-dalil pengecualian berobat dengan yang haram.

Kedua, berkaitan dengan pertanyaan Anda tentang otopsi dan bahwa pendapat keharamannya menghalangi mahasiswa kedokteran dari mempelajari dan mengenal tubuh manusia, lalu bagaimana mereka akan melakukan pekerjaan mereka?! Dan bahwa pendapat keharamannya menghalangi dokter syar’iy dari mengetahui hal-hal yang melingkupi kejahatan sehingga terlewatlah informasi-informasi penting yang bisa membantu polisi mengungkap kebenaran…

Ya akhiy, ada banyak dalil-dalil syara’ atas keharaman menyerang jasad mayit sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Selama perkaranya demikian maka otopsi jasad mayit adalah haram secara syar’iy. Sebab itu merupakan serangan terhadap mayit tanpa memandang pertimbangan lainnya… Dan sehingga perkara tersebut lebih jelas maka saya bertanya kepada Anda: apakah benar dengan alasan keperluan mahasiswa untuk mempelajari pengobatan dan mengenal tubuh manusia, apakah boleh menyerang tubuh manusia yang hidup dan mengotopsinya tanpa membunuhnya seperti membuka perutnya dan mengetahui organ-organ dalamnya? Jawaban Anda tentu saja bahwa perkara ini tidak boleh sebab itu menyerang tubuh manusia hidup… Lalu kenapa terlintas dalam benak Anda bolehnya hal itu terhadap manusia yang telah jadi mayit padahal Nabi saw bersabda:

«كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيّاً»؟

“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkan tulangnya ketika dia hidup”?

 

Sesungguhnya hukum syara’ lebih berhak untuk diikuti. Dan tidak boleh beralih darinya dengan alasan apapun…

Adapun berkaitan dengan untuk belajar mahasiswa dan pengenalan mereka atas tubuh manusia maka berbagai sarana yang mubah ada banyak. Demikian juga maka kaum Muslim harus mengembangkan berbagai sarana modern yang memungkinkan mahasiswa mengenal secara lebih baik atas tubuh manusia tanpa menggunakan sarana otopsi. Yang demikian itu misalnya, seperti mengembangkan program komputer tiga dimensi yang memungkinkan mahasiswa mengenal organ-organ tubuh manusia… Atau dengan sarana pencitraan dari luar tubuh untuk melihat bagian dalamnya atau sarana elektronik semacam itu… Ini dan perlu diketahui bahwa sebagian mahasiswa kedokteran menyampaikan kepada saya bahwa mereka tidak banyak mendapat manfaat yang signifikan dari pelajaran otopsi, apalagi tubuh yang diotopsi itu ditempatkan di bahan-bahan yang mempengaruhi sifat otot atau pembuluh darah dan banyak berbeda dari sifat tubuh yang hidup…

Demikian juga terkait dengan pengeksplorasian fakta kejahatan, maka tidak benar merujuk kepada apa yang diharamkan oleh Allah berupa otopsi mayit. Sama persis sebagaimana secara syar’iy tidak boleh menggunakan cara penyiksaan tersangka demi mengeksplorasi fakta kejahatan… Dan solusinya adalah dengan mencari sarana-sarana dan cara-cara yang mubah untuk mencari dan mengklarifikasi fakta, dan bukan dengan menyalahi ketentuan syara’ dengan menyerang tubuh mayit yang telah dimuliakan dalam pemakamannya…

Ketiga, adapun berkaitan dengan pertanyaan tentang ikhtilath maka pertanyaannya tidak tertentu. Anda meminta “mendapatkan semua hukum syara’ berkaitan dengan ikhtilath!!” Yang lebih afdhal jika Anda bertanya tentang sesuatu tertentu sehingga kami bisa menjawabnya… Apapun itu, saya sampaikan kepada Anda sebagian jawaban kami terdahulu terhadap topik ikhtilath, mudah-mudahan menutupi sebagian dari aspek-aspek yang Anda tanyakan. Jika Anda punya masalah tertentu yang tidak disebutkan dalam jawaban-jawaban di bawah ini maka sebutkanlah:

* Jawab Soal tanggal 28/2/2010, di situ dinyatakan:

(Adanya laki-laki dan perempuan di kehidupan islami yang dibenarkan oleh Rasul saw dan dalil-dalil syara’ yang mengatur muamalah syar’iyah antara laki-laki dan perempuan … Semua itu telah dijelaskan dengan jelas. Telah dikeluarkan lebih dari satu jawaban dalam perkara ini. Dan kami berharap, di dalam perkara ini tidak ada kerancuan/kesamaran.

Meski demikian, saya dalam risalah ini akan menambah penjelasan dalam perkara tersebut dengan izin Allah, dengan harapan bisa menghilangkan kerancuan dalam masalah ini:

– Kehidupan umum berarti adanya laki-laki dan perempuan di tempat-tempat umum yang memasukinya tidak memerlukan izin. Dan ini memiliki hukum-hukum syara’ yang mengatur pria dan wanita di dalamnya.

Kehidupan khusus adalah di tempat-tempat yang memasukinya memerlukan izin seperti rumah. Kehidupan khusus ini juga memiliki hukum-hukum syara’ yang mengatur pria dan wanita di dalamnya.

– Adapun kehidupan khusus “rumah” maka perkaranya sudah jelas. Tidak memerlukan tambahan penjelasan. Kehidupan para wanita di dalam rumah itu bersama mahram mereka dan bukan bersama orang asing, kecuali jika ada nas dalam kondisi tertentu seperti shilaturrahim, maka boleh kerabat menyambung hubungan dengan kerabatnya meski bukan mahram. Misalnya, seseorang mengucapkan salam kepada sepupunya dalam hari-hari raya. Dan tentu saja tanpa khalwat dan tanpa tersingkap aurat. Seperti contohnya, dia pergi bersama bapaknya atau pamannya dan menyambung tali kekerabatannya hingga meski tidak termasuk mahram.

– Adapun kehidupan umum, jika di situ ada keperluan yang dibenarkan oleh syara’ untuk terjadinya pertemuan pria dan wanita di dalamnya, maka boleh terjadi pertemuan sesuai ketentuan syara’. Kami katakan sesuai hukum syara’ sebab di situ ada hukum-hukum syara’ yang mengatur pertemuan ini sebagai berikut:

1- Wajibnya infishal (pemisahan) barisan pria dari wanita jika keperluan yang syara’ membenarkan adanya pria dan wanita untuk keperluan itu, jika keperluannya sama bagi orang-orang yang bertemu (berkumpul). Misalnya adanya pria dan wanita untuk shalat atau menghadiri pengajaran ilmu atau seminar dakwah atau untuk aktivitas umum dari aktivitas-aktivitas dakwah… Dalam kondisi-kondisi ini boleh adanya pria dan wanita disertai pemisahan shaf. Dan ini kadang kala disebut kehidupan umum dengan hukum-hukum khusus, artinya bahwa di situ ada tata cara khusus untuk adanya pria dan wanita di situ.

2- Tidak adanya pemisahan barisan dalam kehidupan umum jika keperluan yang syara’ membenarkan adanya pria dan wanita untuk keperluan itu, jika tujuannya berbeda-beda bagi orang-orang yang berkumpul. Misalnya adanya pria dan wanita di pasar atau di jalan atau di taman umum atau ketika naik bus umum … Dan ini ada dua jenis:

a- Tujuan-tujuan yang berbeda itu tidak bisa ditunaikan kecuali dengan ikhtilath, yakni bercampur baur, bersebelahan dan bercakap-cakap, semisal jual beli di pasar. Jenis ini boleh terjadi ikhtilath di situ.

b- Tujuan-tujuan yang berbeda itu bisa ditunaikan di situ tanpa ikhtilath, yakni tanpa bercampur baur bersebelahan dan bercakap-cakap, seperti naik bus umum atau di taman umum dan berjalan di jalan… Jenis ini boleh adanya pria dan wanita di situ tanpa ikhtilath, yakni tanpa bercampur baur, bersebelahan dan bercakap-cakap, tetapi dimungkinkan eksistensi itu secara bersebelahan, masing-masing untuk tujuannya sendiri, tanpa bercakap-cakap bersama, seperti berjalan di jalan, di taman umum, naik bus umum …

* Seperti yang Anda lihat, hukum-hukum keberadaan pria dan wanita adalah jelas dan tertentu di kehidupan khusus dan kehidupan umum:

Kehidupan khusus “rumah” adalah kehidupan yang memasukinya memerlukan izin. Sedangkan kehidupan umum adalah kehidupan yang memasukinya tidak memerlukan izin. Dan di antara kehidupan umum ini ada yang menuntut pemisahan barisan, dan di antaranya ada yang tidak menuntut pemisahan barisan. Demikian juga di antara kehidupan umum ada yang di situ boleh ikhtilath yakni khulthah (bercampur baur), secara bersebelahan dan bercakap-cakap; dan di antaranya di situ tidak boleh khulthah (bercampur baur), tetapi hanya boleh bersebelahan tanpa bercakap-cakap….” selesai.

Dan saya berharap dalam yang demikian ada kecukupan” selesai.

 

  • Jawab Soal tanggal 6 Juni 2011, di dalamnya dinyatakan:

(… tetapi di dalam tentara itu hendaknya ada personel-personel wanita untuk merawat korban luka perang. Ini dinyatakan tentangnya bahwa Rasul saw memperbolehkan wanita berada di peperangan untuk merawat dan mengobati. Dan berkumpulnya pria dan wanita dalam kondisi pengobatan ini adalah boleh. Begitulah. Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di Adab al-Mufrad dan at-Târîkh ash-Shaghîr dengan sanad yang dishahihkan oleh al-Albani dari Mahmud bin Lubaid, ia berkata:

«لَمَّا أُصيبَ أَكْحَلُ سَعْدٍ يَوْمَ الخَنْدَقِ فَثَقُلَ، حَوَّلوهُ عِنْدَ امْرَأَةٍ يُقالُ لَها: رُفَيْدَة، وَكانَتْ تُداوي الجَرْحى، فَكانَ النَّبِيُّ إِذا مَرَّ بِهِ يَقولُ: كَيْفَ أَمْسَيْتَ؟ وَإِذا أَصْبَحَ: كَيْفَ أَصْبَحْتَ؟ فَيُخْبِرُهُ»

“Tatkala mata Sa’ad terluka pada perang Khandaq sehingga dia merasa berat, mereka membawanya kepada seorang wanita yang dipanggil Rufaidah. Dan Rufaidah mengobati korban luka. Nabi saw jika melewati Sa’ad beliau berkata: “bagaimana keadaanmu sore ini? Dan jika di pagi hari beliau bertanya: “bagaimana keadaanmu di pagi ini? Lalu dia memberitahukannya”.

 

Rufaidah ini adalah seorang wanita dari Aslam yang mengobati orang yang terluka.

– Ikhtilath adalah seperti yang saya sebutkan barusan, yakni berkumpulnya pria dan wanita asing untuk keperluan yang syara’ membenarkan untuk berkumpul/bertemu guna menunaikan keperluan itu di mana keperluan itu tidak bisa ditunaikan kecuali dengan berkumpul/bertemu itu. Dan ikhtilath dalam kondisi ini, yakni bukan untuk keperluan adalah tidak boleh. Adapun jika untuk keperluan yang syara’ membenarkan berkumpul untuk menunaikan keperluan itu di mana keperluan itu tidak bisa ditunaikan kecuali dengan berkumpul/bertemu maka boleh.

Terdapat dalil-dalil yang membenarkan berkumpul untuk keperluan yang dijelaskan oleh syara’ baik apakah di kehidupan khusus atau di kehidupan umum. Contoh di kehidupan khusus adalah shilaturrahim, makan dan menjenguk orang sakit …. Dan contoh di kehidupan umum, adalah mengobati orang terluka dalam peperangan… pergi ke pasar, shalat di masjid, menghadiri majelis ilmu, haji …. Semua itu sesuai hukum-hukuk syara’ dari sisi pemisahan barisan seperti di masjid dan seminar/pengajian umum atau tanpa pemisahan barisan seperti di pasar dan haji…

Shilaturrahim bukan hanya untuk kerabat yang mahram saja, tetapi juga untuk kerabat yang bukan mahram seperti sepupu… “lihat Shilaturrahim di Nizhâm al-Ijtimâ’î”. Ini adalah boleh bagi kerabat menjalin hubungan kekerabatan satu sama lain di hari-hari raya atau berbagai moment, dan mereka duduk bersama, tetapi sebagai shilaturrahim. Yakni untuk menanyakan kesehatan, keadaan, menjenguk yang sakit, menunaikan berbagai kebutuhan dan semacam yang demikian. Tetapi bukan untuk duduk-duduk bersama “bermain kartu: atau pergi bersama untuk bertamasya dan duduk bersama di taman ngobrol ke sana kemari …. Ini tidak boleh.

Begitulah, mengunjungi kerabat satu sama lain, duduk bersama, pria dan wanita, adalah boleh selama dalam rangka menyambung tali kekerabatan. Yakni duduk bersama itu menurut kadar apa yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan. Jika duduk itu beralih untuk ngobrol ke sana ke mari dalam persoalan-persoalan selain sebagai shilaturrahim maka wanita duduk di ruang dan pria duduk di ruang lainnya…  Demikian juga, boleh bagi mereka ketika makan untuk duduk bersama. Ketika makan telah berakhir maka wanita duduk di satu ruang dan pria di ruang lainnya…

﴿فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيث

dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan (TQS al-Ahzab [33]: 53).

 

Jadi shilaturrahim dan makan ada dalil yang dinyatakan tentangnya.

Tentu saja, wanita itu menutup auratnya, dan mahramnya atau suaminya ada, seperti dijelaskan di Nizhâm al-Ijtimâ’î) selesai.

 

* Jawab Soal pada 6 Juni 2016, di situ dinyatakan:

(a- Ikhtilath yakni berkumpulnya pria dan wanita asing adalah haram jika bukan untuk keperluan yang syara’ menyetujui pertemuan/berkumpul untuk keperluan itu… Adapun jika untuk keperluan yang syara’ menyetujui terjadinya pertemuan untuk menunaikan keperluan itu di mana keperluan itu tidak bisa ditunaikan kecuali dengan pertemuan tersebut, maka boleh.

b- Terdapat dalil-dalil yang membenarkan pertemuan/berkumpul untuk keperluan-keperluan yang dijelaskan oleh syara’, baik apakah di kehidupan khusus atau di kehidupan umum. Contoh di kehidupan khusus adalah bersama kerabat. Terdapat dalil syara’ yang memperbolehkan shilaturrahim, makan, menjenguk yang sakit …. Dan di kehidupan umum seperti mengobati orang terluka di peperangan… pergi ke pasar, shalat di masjid, menghadiri majelis-majelis ilmu, haji … Dan semua itu sesuai hukum-hukum syara’ dari sisi pemisahan barisan (shaff) seperti di masjid dan seminar, atau tanpa pemisahan barisan seperti di pasar, haji…

c- Dan shilaturrahim bukan hanya untuk kerabat yang mahram saja, tetapi juga untuk kerabat yang bukan mahram seperti sepupu … “lihat Shilaturrahîm di Nizhâm al-Ijtimâ’î”. Ini adalah boleh bagi kerabat saling menyambung hubungan satu sama lain di hari-hari raya atau berbagai moment, dan mereka duduk bersama, tetapi sebagai menyambung untuk hubungan kekerabatan, yakni menanyakan kesehatan dan keadaan serta saling mengunjungi satu sama lain, menunaikan berbagai keperluan dan semacam yang demikian. Tetapi bukan untuk duduk-duduk bersama “bermain kartu misalnya” atau pergi bersama untuk tamasya, dan duduk bersama di taman ngobrol ke sana ke mari… Ini tidak boleh) selesai.

Saya berharap di dalam berbagai jawaban untuk tiga pertanyaan Anda ini sudah mencukupi.

 

Saudaramu ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

23 Rabiul Akhir 1440 H

30 Desember 2018 M

 

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/q-a/57042.html

https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192/972979866232418/?type=3&theater

https://plus.google.com/u/0/b/100431756357007517653/100431756357007517653/posts/Gh5Uq6e3tua

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Close