Tanya Jawab

Hukum-hukum Tentang Khalifah dan Amir Sementara

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saudaraku yang dimuliakan, saya punya pertanyaan untuk Amir kita dan saya berharap untuk disampaikan kepada Beliau dengan izin Allah. Mohon perhatiannya, bahwa bahasa arab bukan bahasa alami saya dan saya mohon maaf dengan sangat jika saya keliru dalam sesuatu ….

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saudaraku yang dimuliakan dan Amir kami yang dimuliakan, saya memohon kebaikan kepada Allah untuk Anda.

Perkara pertama adalah saya mohon maaf tentang bahasa arab saya sebab bahasa arab saya lemah. Meski demikian saya berusaha melontarkan pertanyaan-pertanyaan ini yaitu berkaitan dengan topik al-Khilafah:

Pertama, dinyatakan di Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm bahwa gelar yang boleh adalah al-Khalîfah, al-Imâm dan Amîr al-Mu`minîn, dan gelar yang punya makna yang serupa semisal Sulthân al-Mu`minîn. Tetapi di Ajhizah Dawlah al-Khilâfah teksnya berhenti ketika menyebutkan gelar Amirul Mukminin dan tidak menyebutkan yang lain. Apakah tabanni berubah dalam hal gelar al-Khalifah menjadi terbatas pada tiga gelar saja? Jika tabanni berubah apa dalil atas perubahan itu?

Kedua, yang dinyatakan di Ajhizzah terkait dengan apa yang mengantarkan kepada pemberian gelar kepada Umar radhiyallâh ‘anhu dengan gelar Amirul Mukminin, apakah benar dikatakan bahwa di situ adalah pembatasan atas penggunaan gelar Amirul Mukminin ataukah ada kemubahan penggunaan gelar lainnya semisal Sulthan al-Mukminin?

Ketiga, saya memahami bahwa salah satu syarat ijmak sahabat adalah adanya kontradiksi dengan sesuatu yang sudah makruf semisal kontradiksi penundaan penguburan jenazah Rasulullah saw dengan wajibnya penguburan mayit segera, lalu di mana kontradiksi dengan pemberian gelar kepada Umar radhiyallâh ‘anhu dengan Amirul Mukminin sehingga hal itu menjadi Ijmak Sahabat?

Keempat, dahulu saya menjawab pertanyaan tentang keberadaan lafal al-khalîfah sebagai lafal syar’iy fikhiyah, apakah hal yang sama dikatakan tentang lafal al-imâm sebagai lafal syar’iy fikhiy karena dia dinyatakan di dalam dalil syara’, ataukah kita katakan lafal al-imâm adalah bersifat istilahiy. Berkaitan dengan perkara ini, di dalam hadits-hadits dinyatakan lafal al-imâm dan menunjuk kepada orang yang memimpin manusia di dalam shalat, apakah di situ ada perbedaan mengenai makna orang yang ditunjuk oleh hadits tersebut? Yakni, apakah makna di dalam hadits-hadits itu kembali kepada al-khalîfah dan orang yang mengurusi urusan berupa para wali dan amir … dsb dalam bentuk pembatasan ataukah termasuk di dalamnya orang yang memimpin kaum Muslim di dalam shalat sebagaimana yang kita lihat sekarang ini di masjid-masjid kita?

Kelima, al-amîr al-mu`aqqat -amir sementara-, kenapa Mu’awin at-Tanfîdz tidak menangani pengangkatan khalifah? Sebagai tambahan, apa yang dijadikan sandaran pemilihan muawin yang paling tua atas pengangkatan khalifah? Dan kenapa bukan mu’awin yang paling berpengalaman dalam jabatannya sebagai mu’awin atau orang yang paling afdhal secara keadilan atau yang paling afdhal dari para mu’awin atas ilmu al-Quran … dsb?

Saya punya pertanyaan lain, yaitu … jika al-Khalîfah menyalahi salah satu syarat in’iqad setelah pembaiatannya, maka baiatnya dinilai batal? Yakni jika dia menjadi tidak adil atau menjadi semisal orang yang disebutkan oleh Rasulullah saw berupa para imam yang dibenci oleh kaum Muslim.

Semoga Allah memberi Anda balasan yang labih baik.

Dan saya sangat berterima kasih atas jawaban Anda dan saya memohon kebaikan, kesehatan kepada Allah untuk Anda dan keluarga Anda, dan selamat Ramadhan yang penuh berkah.

Saudaramu Dr. Suhail Abu Mush’ab.

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Sungguh menggembirakan saya bahwa Anda menulis kepada saya dengan bahasa al-Quran al-Karim, bahasa Arab, meski Anda mendapati kesukaran dalam menulis dengan bahasa Arab … Secara umum, apa yang Anda tanyakan jelas, kecuali beberapa topik yang perlu penjelasan lebih. Dan berikut ini penjelasan untuk Anda:

1- Gelar yang disematkan kepada orang yang dibaiat dengan baiat al-khilâfah adalah gelar al-khalîfah, al-imâm atau amîr al-mu`minîn, sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits-hadits Nabi yang mulia dan di dalam Ijmak Shahabat … Adapun apa yang disebutkan di dalam Nizhâm al-Hukmi setelah tiga gelar itu [dan tidak wajib terikat dengan ketiga gelar ini, tetapi boleh juga disebutkan gelar lainnya terhadap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim, gelar yang menunjuk pada kandungannya, semisal hâkim al-mu`minîn (penguasa kaum mukmin), ra`îs al-muslimîn (kepala kaum muslim), sulthân al-muslimîn (penguasa kaum muslim) atau lainnya yang tidak bertentangan dengan kandungannya. Adapun gelar yang memiliki makna tertentu yang menyalahi hukum Islam terkait pemerintahan, seperti al-malik (raja), ra`îs al-jumhuriyyah (presiden), al-imbrâthûr (kaisar) maka tidak boleh digunakan menyebut orang yang mengurusi urusan kaum muslim dikarenakan kontradiksi dengan apa yang ditunjukkan oleh hukum-hukum Islam], selesai. Demikian apa yang dinyatakan di asy-Syakhshiyyah juz II pada bab al-Khilâfah di akhir paragraf [tidak wajib terkat dengan lafal ini yakni al-imâmah atau al-khilâfah, melainkan harus terikat dengan konotasinya], selesai.

Kedua topik itu telah dikoreksi dan tambahan yang disebutkan di atas dihilangkan di Nizhâm al-Hukmi dan di asy-Syakhshiyyah juz II. Dan tinggal tiga gelar sebagaimana di buku al-Ajhizah (al-khalîfah, al-imâm, amîr al-mu`minîn). Ketiga gelar inilah yang digunakan di dalam daulah ketika Allah memberikan pertolongan kepada kita (dengan tegaknya daulah).

2- Disyaratkan dalam al-Ijmak as-sukutiy atas satu hukum syara’ sehingga bisa dinilai sebagai ijmak yang dapat diterima, adalah hukum syara’ itu termasuk hukum yang biasanya harus diingkari dan para shahabat tidak akan diam terhadapnya. Hal itu dikarenakan mustahilnya ijmak shahabat untuk diam terhadap kemungkaran. Jika tidak termasuk hukum yang biasanya diingkari, maka diamnya shahabat darinya tidak dinilai sebagai ijmak”… Dinyatakan di asy-Syakhshiyyah juz III: (al-ijma’ as-sukûtiy adalah salah seorang shahabat berpendapat kepada satu hukum dan diketahui oleh para shahabat dan tidak ada shahabat yang mengingkari sehingga diamnya mereka menjadi ijmak. Dan dikatakan untuknya al-ijmâ’ as-sukûtiy lawan dari al-ijmâ` al-qawliy … Dan dalam al-ijmâ` as-sukûtiy disyaratkan syarat-syarat berikut:

Pertama, hukum syara’ itu termasuk yang biasanya diingkari dan shahabat tidak akan diam terhadapnya …

Kedua, aktifitas itu terkenal dan diketahui oleh para shahabat …

Ketiga, hal itu tidak termasuk apa yang dijadikan sebagai wewenang amirul mukminin untuk melakukan tasharruf atasnya menurut pandangannya seperti harta Baitul Mal …).

Syarat-syarat ini wajib terpenuhi di dalam al-ijmâ` as-sukûtiy sehingga bisa dijadikan dalil. Adapun topik ijmak shahabat atas penggunaan gelar amirul mukminin maka itu bukan bagian dari bab al-ijmâ` as-sukûtiy sehingga disyaratkan syarat-syarat di atas. Tetapi itu merupakan al-ijmâ` al-qawliy sebab para shahabat secara keseluruhan menggunakan gelar ini dalam percakapan mereka dan mereka menamai para khalifah dengan gelar itu. Sehingga ini pada posisi al-ijmâ` al-qawliy dan bukan al-ijmâ` as-sukûtiy. Atas dasar itu, hukum ini tidak harus termasuk hukum yang biasanya diingkari sehingga sah di dalamnya ijmak dan menjadi ijmak muktabar.

3- Terkait pertanyaan Anda tentang gelar al-imâm:

a- Al-imâm secara bahasa memiliki sejumlah makna, di antaranya bermakna yang diposisikan di depan dan yang diikuti. Dinyatakan di Mukhtâr ash-Shihâh: ( … dan al-imâm adalah orang yang diikuti dan bentuk jamaknya a`immah …). Dinyatakan di Kitâb al-‘Ayn: ( … dan setiap orang yang diikuti dan dikedepankan dalam berbagai perkara, dia adalah imam …). Jadi al-imâm dengan makna ini adalah mutlak siapa yang diikuti dan yang diposisikan di depan.

b- Syara’ telah menggunakan lafal al-imâm sebagai istilah fikhiy yakni sebagai hakikat syar’iyyah dengan makna pemimpin umum untuk kaum muslim (ar-ra`îs al-‘âm li al-muslimîn) yang mana nas-nas syara’ menunjukkan hal itu. Di antara nas-nas ini adalah:

– Dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda:

«وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ، وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ، فَلْيُطِعْهُ…» رواه مسلم

“Dan siapa yang telah membaiat imam dan dia memberinya genggaman tangannya dan buah hatinya maka hendaklah dia menaatinya … “ (HR Muslim).

 

– Dari ‘Awf bin Malik dari Rasulullah saw, beliau bersabda:

«خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ…» رواه مسلم

“Sebaik-baik imam kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mencintai kalian, mereka mendoakan kalan dan kalian mendoakan mereka” (HR Muslim).

 

– Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Ibnu Syihab … bahwa Salim telah menceritakan hadits kepadanya: bahwa Abdullah bin umar berkata: “aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

«كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…»

“Setiap kalian adalah penggembala dan setiap kalian bertanggungjawab atas rakyatnya, imam adalah penggembala dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya …”.

 

Di dalam hadits-hadits ini disebutkan gelar penguasa yang menegakkan hukum-hukum syara’ di dalam Islam, yaitu: al-imâm, sama seperti disebutkan gelar al-khalîfah di dalam nas-nas syara’ yang lainnya. Yakni bahwa nas-nas syara’ menjelaskan bahwa gelar al-imâm adalah seperti gelar al-khalîfah, dan bahwa itu merupakan istilah fikhiyah, yakni merupakan hakikat syar’iyah, yang dinyatakan oleh syara’, dan bermakna kepemimpinan umum untuk kaum muslim. Dan itu disebut al-imâmah al-‘uzhmâ dan orang yang menjabatnya disebut al-imâm al-a’zham

c- Demikian juga lafal al-imâm digunakan di dalam syara’ dengan makna imam shalat, yaitu imâmah yang disebut al-imâmah ash-shughrâ. Hal itu dinyatakan oleh hadits-hadits, di antaranya:

– Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di dalam Shahîhnya dari Aisyah Ummul Mukminin ra. bahwa ia berkata: “Rasulullah saw shalat di rumah beliau dan beliau sakit sehingga shalat sambil duduk dan di belakang beliau sejumlah orang shalat sambil berdiri maka beliau memberi isyarat kepada mereka agar duduk, ketika telah selesai beliau bersabda:

«إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِساً فَصَلُّوا جُلُوساً»

“Tidak lain ditetapkan imam itu untuk diikuti, jika dia ruku’ maka ruku’lah dan jika dia bangkit maka bangkitlah, dan jika dia shalat sambil duduk maka shalatlah kalian sambil duduk”.

– Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di dalam Shahîhnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw bersabda:

«إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

“Jika imam mengucapkan âmîn maka ucapkanlah âmîn, karena sungguh siapa saja yang ucapan âmînnya sesuai dengan ucapan âmînnya para malaikat, diampuni untuknya dosanya yang telah lalu”.

 

Jadi lafal al-imâm secata syar’iy digunakan untuk menyebut imam shalat, dan ini juga merupakan istilah syar’iy sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits-hadits di atas.

d- Tidak ada keterikatan secara syar’iy antara lafal al-imâm dengan makna al-khalîfah dan lafal al-imâm dengan makna imam shalat. Hadits-hadits yang di dalamya dinyatakan al-imâm dengan makna al-khalîfah tidak berkaitan sama sekali dengan topik shalat. Dan hadits-hadits yang di dalamnya disebutkan al-imâm dengan makna imam shalat tidak berkaitan sama sekali dengan al-khalîfah dan pemerintahan. Hal itu seperti hadits-hadits yang telah disebutkan di atas. Jadi tidak bisa dipahami adanya keterkaitan antara imamah pemerintahan dan imamah shalat …

e- Nas-nas yang di dalamnya dinyatakan lafal al-imâm dipahami dalam konteksnya dan sesuai qarinah-qarinah:

– Lafal al-imâm digunakan di dalam nas-nas syar’iy dengan makna bahasanya, seperti firman Allah SWT:

﴿وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (TQS al-Furqan [25]: 74).

 

Dinyatakan di dalam Tafsîr Ibn Katsîr penjelasan untuk ayat ini: (dan firman Allah “wa[i]j’alnâ li[a]lmuttaqîna imâman”, Ibnu Abbas, al-Hasan, Qatadah, as-Sudi dan ar-Rabi’ bin Anas berkata: imam yang diikuti di dalam kebaikan. Yang lain berkata: sebagai petunjuk yang diikuti dan para penyeru kepada kebaikan). Jelas dari konteksnya bahwa yang dimaksudkan dengan lafal al-imâm di sini adalah person yang diikuti di dalam ketakwaan dan bukan al-imâm dengan makna pemerintahan atau dengan makna imamah shalat.

– Lafal al-imâm kadang kala digunakan dengan makna al-khalîfah sebagaimana di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw, Beliau bersabda:

«إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ»

“Sesungguhnya tak lain imam itu laksana perisai, orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya, maka jika dia memerintahkan takwa kepada Allah azza wa jalla dan berlaku adil maka dengan itu dia mendapat ganjaran dan jika dia memerintahkan selannya maka dia berdosa atasnya”.

 

Dan jelas dari hadits tersebut bahwa maksudnya adalah penguasa sebab penguasa adalah orang yang orang-orang berperang di belakangnya dan dia yang berlaku adil atau zalim. Dan maksudnya bukanlah panutan secara mutlak sebagaimana dalam makna bahasanya dan bukan pula yang dimaksud imamah shalat.

– Kadangkala lafal al-imâm digunakan dengan makna imamah shalat semisal apa yang telah diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahîhnya dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

«إِذَا قَالَ الْإِمَامُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

“Jika imam berkata “sami’allâhu li man hamidahu -Allah mendengar orang yang memujiNya-” maka katakanlah “allâhumma rabbanâ laka al-hamdu -ya Allah Rabb kami milikMu segala pujian-“, sesungguhnya siapa yang ucapannya sesuai dengan ucapan para malaikat, dia diampuni dosanya yang telah lalu”.

 

Dan jelas bahwa ucapan itu di sini tentang shalat dan imam shalat.

4- Terkait dengan pertanyaan Anda tentang amir sementara:

Belum jelas benar apa maksud ucapan Anda: “amir sementara –al-amîr al-mu`aqqat-‘, kenapa bukan mu’awin tanfidzh yang menangani pengangkatan khalifah” …

Adapun topik pemilihan muawin paling tua agar menjadi amir sementara maka kami telah menjelaskan sebab hal itu di dalam Jawab Soal tertanggal 20 Sya’ban 1435 H-31 Mei 2014 M dan saya kutipkan dari jawaban kami itu sebagai berikut:

[… Dan adapun perkara kedua, yaitu tatacara penunjukan amir sementara, jika khalifah sebelum kematiannya tidak menunjuk amir sementara, maka prioritas digunakan di dalam hal itu. Jadi hal itu merupakan perkara administratif dan boleh diadopsi pasal yang merinci perkara administratif ini. Atas dasar itu yang disebutkan di dalam Pasal 33: ( … muawin paling tua menjadi amir sementara kecuali jika dia ingin mencalonkan diri untuk al-khilâfah, maka yang menjadi amir sementara adalah muawin berikutnya secara usia … Begitulah. Jika semua muawin ingin mencalonkan diri maka wazir tanfidzh yang paling tua, kemudian jika dia ingin mencalonkan diri maka wazir tanfidz berikutnya secara usia … Begitulah. Dan jika semua wazir tanfidz ingin mencalonkan diri untuk al-khilâfah maka amir sementara dibatasi pada wazir tanfidz yang paling muda).

Perlu diketahui, dalam tabanni ini telah diperhatikan patokan yang mengharuskan. Para muawin adalah orang yang paling mengetahui pemerintahan dan paling banyak pengetahuannya atas jalannya perkara para masa khalifah sebelumnya. Orang berikutnya dalam hal pengetahuan dan pengalaman adalah para wazir tanfidz dikarenakan melekatnya mereka dengan al-khalîfah dan aktifitas-aktifitasnya. Mereka adalah orang-orang yang paling afdhal untuk menangani kepemimpinan sementara. Dan karena para muawin itu sama, tidak ada kelebihan satu terhadap yang lain dalam al-mu’âwanah, dan para wazir tanfidz juga demikian, maka usia menjadi faktor yang tepat untuk menentukan keutamaan sebagaimana di dalam imamah shalat, jika orang-orang yang shalat itu sama dalam hal syarat-syarat imamah maka lebih dikedepankan yang paling tua usianya. Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Syu’bah dari Isma’il bin Raja`, dia berkata: “aku telah mendengar Aws bin Dham’aj, dia berkata: “aku telah mendengar Abu Mas’ud berkata: “Rasulullah saw bersabda kepada kami:

«يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً، فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً، فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً، فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنّاً، وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ، وَلَا فِي سُلْطَانِهِ، وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ، أَوْ بِإِذْنِهِ»

“Yang mengimami kaum adalah yang paling paham Kitabullah, dan paling jauh qiraah, jika qiraah mereka sama, maka yang mengimami mereka yang paling dulu hijrah, jika mereka sama dalam hal hijrah maka yang mengimami mereka yang paling tua, dan jangan kalian imami laki-laki di keluarganya dan tidak pula di kekuasaannya, dan jangan engkau duduk di tempat duduknya kecuali dia mengizinkan kamu atau dengan izinnya”.

 

Atas dasar itu, maka perkara administratif yang diadopsi dalam masalah ini adalah pengedepanan muawin yang paling tua kemudian yang berikutnya, kemudian wazir tanfidz yang paling tua kemudian yang berikutnya secara usia, begitulah], selesai kutipan dari Jawab Soal terdahulu.

5- Berkaitan pertanyaan Anda tentang kosongnya salah satu syarat in’iqad al-khilâfah setelah sempurna baiat kepada khalifah seperti kosongnya syarat keadilan maka jawabannya secara global atas hal itu bahwa kosongnya salah satu syarat in’iqad tidak berarti batilnya akad al-khilâfah. Misalnya, kosongnya syarat keadilan membuat khalifah layak diberhentikan namun tidak diberhentikan secara langsung, tetapi harus ada keputusan Mahkamah al-Mazhalim dalam hal itu, yakni dia tetap tegak di dalam khilafahnya sampai ketika Mahkamah al-Mazhalim memutuskan tentangnya … Kami telah merinci dalam topik ini di lebih dari satu tempat di buku-buku kita. Dan kami telah menjelaskannya di Muqaddimah ad-Dustûr juz I di dua Pasal (Pasal 40 dan Pasal 41) disertai penjelasannya. Dan Anda dapat merujuk kepada buku Muqaddimah ad-Dustûr untuk mengetahui rincian hal itu.

Penutup, saya berterima kasih atas doa Anda untuk kami. Dan saya doakan kebaikan untuk Anda. Saya ulangi apa yang saya sebutkan di awal Jawaban bahwa saya sangat bergembira dengan tulisan Anda menggunakan bahasa al-Quran, bahasa Arab.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

26 Dzulhijjah 1441 H

16 Agustus 2020 M

 

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/69995.html

بسم الله الرحمن الرحيم جواب سؤال: #أحكام متعلقة بالخليفة و #الأمير_المؤقتإلى Sohail Dar‎‏=========#السؤال: السلام…

Dikirim oleh ‎أمير حزب التحرير/ عطاء بن خليل أبو الرشتة‎ pada Minggu, 16 Agustus 2020

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close