Tanya Jawab

HUKUM GADAI TANAH

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

Tanya :

Ustadz, ada kasus sbb : pihak A, mempunyai tanah pertanian, membutuhkan dana untuk suatu kebutuhan. Lalu pihak A pinjam emas kepada pihak B, dan menjual emas itu memenuhi kebutuhan tertentu. A menyerahkan tanah pertanian miliknya kepada B sebagai jaminan utang, dan B kemudian menggarap tanah itu dan mengambil hasil panennya. Jika pihak A sudah mengembalikan emas tersebut kepada pihak B dengan ukuran yang sama/tetap, barulah B mengembalikan tanah tersebut kepada si A. Akad ini di Sumatera Barat disebut “gadai tanah”. Apakah ini boleh? (Rasyid S., Jogjakarta)

Jawab :

            Hukum muamalah yang disebut “gadai tanah” di atas adalah haram menurut syariah, walaupun diizinkan oleh pemilik tanah. Hal itu karena akad yang terjadi adalah qardh (pinjaman) emas yang menghasilkan manfaat bagi pemberi pinjaman, yaitu pemanfaatan tanah pertanian berikut hasil-hasil panennya. Manfaat dari akad qardh ini tiada lain adalah riba yang hukumnya haram. Sabda Rasulullah SAW,”Setiap-tiap pinjaman yang menghasilkan suatu manfaat, maka dia adalah satu jenis dari berbagai jenis riba.” (kullu qardhin jarra manfa’atan fahuwa wajhun min wujuuh ar riba). (HR Al Baihaqi, dalam As Sunan Al Shughra, Juz IV, hlm. 353).

Dalam kasus di atas, objek akad qardh adalah emas, yang diberikan oleh pihak B sebagai pemberi pinjaman (al muqridh) kepada pihak A sebagai penerima pinjaman (al mustaqridh). Dalam akad qardh tersebut, pihak A menyerahkan jaminan utang (rahn) berupa sebidang tanah pertanian kepada pihak B, dan mengijinkan pihak B untuk mengelola tanah itu dan menikmati hasil panennya selama masa peminjaman emas.

Dalam kitab Al Mudawwanah Al Kubra karya Imam Malik, terdapat penjelasan haramnya penerima gadai (murtahin) memanfaatkan jaminan utang (rahn) jika utangnya berupa qardh. Disebutkan,”Saya bertanya, bagaimana pendapat Anda, jika seorang penerima gadai (murtahin) mensyaratkan suatu manfaat dari barang gadai (rahn), bolehkah itu? Dia menjawab,’Jika [utang yang ada] dari jual beli, maka manfaat itu boleh. Adapun jika utang yang ada berupa qardh, maka manfaat itu tidak boleh, karena telah menjadi suatu salaf (qardh/pinjaman) yang menghasilkan manfaat.’ Aku bertanya,”Apakah itu pendapat Imam Malik?” Dia menjawab,”Ya.” (Imam Malik, Al Mudawwanah Al Kubra, Juz IV, hlm. 317).

Dalam kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah terdapat penjelasan hukum serupa. Dijelaskan,”Jika pihak yang menyerahkan gadai (raahin) mengizinkan penerima gadai (murtahin) untuk memanfaatkan barang gadai tanpa imbalan, sedangkan utangnya adalah dari qardh, maka hukumnya tidak boleh, sebab penerima gadai telah memberikan qardh yang menghasilkan suatu manfaat, yang demikian hukumnya haram.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz IV, hlm. 250).

Kutipan-kutipan di atas menjelaskan haram hukumnya penerima gadai (murtahin) memanfaatkan jaminan utang (rahn) jika utangnya berupa qardh. Adapun jika utangnya bukan qardh, misalnya utang karena jual beli tidak tunai, boleh hukumnya memanfaatkan jaminan utang (rahn).

Pendapat ini pula yang dipilih (ditabanni) oleh Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, yakni jika utang yang dijamin itu berupa pinjaman (qardh), misalkan seseorang meminjam uang dari orang lain sebanyak 1000 dinar selama satu tahun, maka penerima gadai (murtahin) haram hukumnya memanfaatkan barang yang digadaikan. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm.339).

Berdasarkan penjelasan ini, jelaslah bahwa pada kasus yang ditanyakan di atas, haram hukumnya penerima gadai (murtahin), yaitu pihak B, memanfaatkan tanah pertanian milik pihak A dan menikmati hasil panennya. Karena utang yang ada adalah pinjaman (qardh) emas, sehingga manfaat dari adanya qardh itu adalah riba yang hukumnya haram. Wallahu a’lam.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close