Tafsir

Derita Kaum Kafir Pada Hari Kiamat

(QS al-Muddatstsir [74]: 8-16)

فَإِذَا نُقِرَ فِي ٱلنَّاقُورِ  ٨ فَذَٰلِكَ يَوۡمَئِذٖ يَوۡمٌ عَسِيرٌ  ٩ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ غَيۡرُ يَسِيرٖ  ١٠

Jika sangkakala telah ditiup, itulah hari yang serba sulit; bagi orang-orang kafir tidak mudah. (QS al-Muddatstsir [74]: 8-16).

Ayat-ayat sebelumnya menyampaikan sejumlah seruan yang ditujukan kepada Nabi saw. Beliau diperintahkan untuk memberikan peringatan, mengagungkan dan membesarkan Tuhannya, menyucikan pakaiannya, meninggalkan berhala dan berbagai perbuatan dosa, memberikan harta tanpa mengharap balasan dari manusia, dan bersabar kepada Tuhannya.

Kemudian ayat ini beralih ke tema lainnya: memberikan penjelasan dan ancaman kepada orang-orang yang celaka.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: فَإِذَا نُقِرَ فِي ٱلنَّاقُورِ (jika sangkakala telah ditiup). Huruf al-fâ‘ pada awal ayat ini mengandung makna as-sabab (sebab). Bisa jadi menjadi sebab bagi al-wa’îd (ancaman) yang diperintahkan dalam firman-Nya: فَأَنذِرۡ  (lalu berilah peringatan, QS al-Muddatstsir [74]: 2).

Artinya, sampaikanlah peringatan kepada orang-orang yang diberi peringatan. Peringatkan pula mereka tentang waktu peniupan sangkakala beserta apa yang akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan pada saat itu, lalu mereka berpaling darinya. Alasannya, huruf al-fâ‘ harus terkait dengan kalimat sebelumnya.1

Bisa juga menjadi sebab bagi perintah bersabar dalam menghadapi gangguan orang-orang kafir. Seakan-akan dikatakan, “Bersabarlah terhadap gangguan mereka. Sebab, di hadapan mereka ada hari yang sangat dahsyat, yang akan mereka hadapi sebagai akibat gangguan mereka, dan kamu pun akan menjumpai akibat kesabaranmu atasnya.”2

Perkara yang terjadi pada saat itu adalah peniupan sangkakala. Kata an-nâqûr adalah bentuk fâ’ûl dari kata an-naqr.3 Menurut al-Qurthubi dan asy-Syaukani, seolah-olah benda itu ditiup agar bisa menghasilkan suara. Menurut bahasa Arab, kata al-naqr bermakna ash-shawt (suara).4

Ibnu ‘Ajibah juga mengatakan makna asalnya adalah al-qar` (pukulan, benturan) yang menjadi sebab bagi suara.5

Mujahid dan ulama lainnya mengatakan, an-naqr itu sejenis  al-bûq  (tanduk, terompet, sangkakala).6

Menurut oleh Ibnu ‘Asyur, an-nâqûr adalah terompet yang digunakan pasukan perang untuk berseru. Terompet itu disebut ash-shûr. Ini merupakan terompet yang sangat besar atau semacamnya, yang ditiup oleh peniupnya untuk memanggil manusia agar mereka berkumpul kepadanya, baik dari kalangan pasukan perang atau lainnya.7

Menurut para ulama, yang dimaksud dengan an-nâqûr di sini adalah ash-shûr (terompet sangkakala). Ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, al-Sya’bi, Zaid bin Aslam, al-Hasan, Qatadah, adh-Dahhak, ar-Rabi’ ibnu Anas dan Ibnu Zaid.8 Hal itu juga dikatakan Ibnu ‘Athiyah, al-Khazin, dan lain-lain.9

Mujahid mengatakan bahwa bentuk sangkakala itu sama dengan tanduk.10

Dari Ibnu Abbas ra., tentang firman-Nya: فَإِذَا نُقِرَ فِي ٱلنَّاقُورِ  (jika sangkakala telah ditiup, QS al-Muddatstsir [74]: 8), Rasulullah saw.: bersabda, “Bagaimana aku bisa hidup senang, sedangkan malaikat Israfil telah mengulum sangkakalanya dan mengernyitkan dahinya menunggu bila diperintahkan untuk meniup?” Para Sahabat bertanya, “Apakah yang engkau anjurkan kepada kami untuk kamu lakukan, ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ucapkanlah, ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung, dan hanya kepada-Nya kami bertawakal.’” (HR Ahmad).

Dengan demikian menurut para ulama, yang dimaksud ayat ini adalah peniupan terompet sangkakala pada Hari Kiamat.11

Hanya saja, ada perbedaan di antara para ulama, tiupan ke berapa yang dimaksudkan ayat ini. Sebagian mengatakan bahwa itu adalah tiupan yang pertama. Alasannya, sangkakala yang pertama itulah yang membuat geger di seluruh tempat.12

Ada pula yang mengatakan tiupan yang kedua. Di antara yang berpendapat demikian adalah asy-Syaukani.13

Kemudian Allah SWT berfirman:  (maka itulah hari yang serba sulit). Secara bahasa kata al-‘usyr (kesulitan, kesempitan) merupakan lawan kata dari al-yusr (kemudahan, kelapangan).14 Cukup banyak ayat yang menunjukkan dua kata tersebut sebagai lawan kata (Lihat, misalnya: QS asy-Syarh [94]: 5-6; QS ath-Thalaq [65]: 7).

Hari itu disifati dengan عَسِيرٌ (yang sulit), karena yang terjadi pada saat itu adalah kesulitan bagi yang orang-orang yang menjumpainya. Kesulitan itu adalah berbagai peristiwa yang terjadi pada saat itu.15

Kemudian Allah SWT berfirman: عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ غَيۡرُ يَسِيرٖ  (bagi orang-orang kafir tidak mudah). Setelah diberitakan bahwa pada hari itu merupakan hari yang sulit, kemudian disebutkan bagi orang-orang kafir dalam keadaan tidak mudah.

Patut dicatat, kata ghayru yasîr (tidak mudah) murâdif (sinonim) dengan kata ‘asîr  (yang sulit).16 Artinya, ketika disebutkan bahwa hari itu merupakan يَوۡمٌ عَسِيرٌ (hari yang sulit) maka dapat dipahami bahwa hari itu juga ‘asîr  (sulit). Lalu bagaimana memahami keduanya?

Tentang hal itu, ada dua penafsiran. Pertama, keadaan ‘asîr  (sulit) yang digambarkan Allah SWT dalam ayat sebelumnya itu mencakup semuanya, baik Mukmin maupun kafir. Ini didasarkan pada riwayat bahwa para nabi pada saat itu merasakan terkejut dan anak-anak menjadi beruban rambutnya. Hanya saja, orang-orang kafir jauh lebih parah.17

Adapun ghayru yasîr (tidak mudah) memberikan makna tambahan yang dikhususkan kepada orang kafir. Sebab, kesulitan kadang berupa kesulitan sedikit, lalu berubah menjadi kemudahan. Ada pula kesulitan yang besar. Pada awalnya ditetapkan adanya kesulitan bagi semua, lalu ditetapkan kesulitan yang banyak dan keras bagi orang-orang kafir.18

Menurut Imam al-Qurthubi, makna ghayru yasîr adalah tidak gampang dan tidak ringan. Hal itu karena ikatan mereka tidak terlepas, bahkan semakin kuat dan keras. Berbeda hanya dengan orang-orang Mukmin yang mentauhidkan Allah SWT namun berdosa. Ikatan mereka akan terlepas, semakin ringan daripada sebelumnya, hingga mereka masuk surga dengan rahmat Allah SWT .19  

Kedua, keadaan sulit dan tidak mudah itu hanya dialami oleh orang-orang kafir. Menurut Ibnu ‘Asyur, firman-Nya: ‘alâ al-kâfirîn (bagi orang-orang kafir)  muta’alliq (berkaitan) dengan firman-Nya: ‘asîr  (yang sulit).20 Dalam membacanya pun tidak sebaiknya di-waqf pada firman-Nya: يَوۡمٌ عَسِيرٌ, sehingga maknanya: عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ غَيۡرُ يَسِيرٖ  (bagi orang-orang kafir sulit dan tidak mudah).21

Karena sama dan menimpa pada objek yang sama, maka al-tikrâr (pengulangan) dipahami sebagai at-ta‘kîd (penegasan).22 Ini seperti dalam kalimat: أنا محب لك غير مبغض (aku adalah pencintamu, bukan pembenci[mu]).23

Penegasan itu memberitahukan bahwa kesulitan itu hanya dialami orang kafir dan tidak bisa diharapkan hilang sebagaimana kesulitan pada urusan dunia bisa dihilangkan.24

Menurut az-Zamakhsyari, pengulangan ini untuk memberitahukan bahwa apa yang menimpa mereka tidak sebagaimana yang menimpa orang-orang Mukmin; yasîr[an] hayyin[an] (mudah dan ringan) agar terkumpul antara ancaman kepada orang-orang kafir dan tambahan kemurkaan kepada mereka dengan berita gembira kepada orang-orang Mukmin dan pelipur lara bagi mereka.25

Kontras dengan orang-orang kafir, orang-orang Mukmin diberi buku catatan dengan tangan kanan dan dibangkitkan dengan wajah yang putih.

 

Beberapa PelajaranPenting

Dalam ayat-ayat ini terdapat banyak pelajaran penting. Beberapa di antaranya: Pertama, kepastian adanya peniupan sangkakala pada hari Kiamat. Peristiwa tersebut diberitakan dalam banyak ayat lain. Jika dalam ayat ini terompet sangkakala itu disebut an-nâqûr dalam ayat-ayat lain disebut dengan ash-shûr (Lihat, misalnya: QS an-Naml [27]: 87).

Menurut para ulama, tiupan yang diberitakan ayat ini merupakan tiupan pertama, yang disebut dengan nafkhat al-faza’. Tiupan ini menyebabkan kaget, panik atau terkejut seluruh makhluk. Tiupan ini juga menyebabkan perubahan dan rusaknya keteraturan alam dunia (Lihat juga: QS al-Haqqah: 13 – 14; QS az-Zumar [39]: 68; QS. Yasin [36]: 51; QS al-An’am [6]: 73; QS al-Kahfi [18]: 99; QS Thaha [20]: 102; QS al-Mukminun [23]: 101; QS az-Zumar [39]: 68; dan lain-lain)

Kedua, kondisi sulit yang dialami orang-orang kafir pada Hari Kiamat. Hal ini juga dengan jelas diberitakan ayat-ayat ini. Kesulitan mereka juga diberitakan dalam ayat-ayat lainnya (Lihat, misalnya: QS al-Furqan [25]: 26).

Hal itu juga akan dikatakan oleh orang-orang kafir ketika mereka dibangkitkan (Lihat: QS al-Qamar [54]: 8).

Selain itu terdapat banyak berita yang menunjukkan kesulitan, kesempitan dan kesengsaraan mereka pada Hari Kiamat. Mereka dibangkitkan dalam keadaan tertunduk dan terhina (Lihat, misalnya: QS al-Ma’arij [70]: 43-44 dan al-Qamar [54]: 6-8).

Ketika sangkakala ditiup, orang-orang kafir juga meratapi kemalangan mereka seraya bertanya satu sama lain tentang siapa yang telah membangunkan mereka dari tidur mereka (Lihat: QS Yasin [36]: 51-52).

Mereka juga mengalami ketakutan luar biasa hingga mata terbelalak dan melotot,  serta jiwa mereka kosong dari apa pun selain kengerian yang mencekam itu (Lihat: QS Ibrahim [14]: 42-43; QS Ghafir [40]: 18).

Qatadah mengatakan bahwa hati menyesak sampai di tenggorokan karena takut yang amat sangat, dan hati tidak dapat keluar dan tidak dapat pula kembali ke tempatnya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan as-Suddi serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Makna kadhimina ialah semuanya diam, tidak ada seorang pun yang dapat bicara kecuali dengan izin Allah Swt.26

Kesusahan mereka juga digambarkan dalam QS al-Isra [17]: 97.

Ketiga, kemudahan yang dialami kaum Mukmin. Ayat ini, yang secara jelas memberitakan kesusahan dan kesulitan yang dialami orang kafir, juga dapat dipahami bahwa keadaan yang berbeda akan dialami oleh Mukmin yang berbeda dengan mereka. Menurut Wahbah az-Zuhaili, orang-orang kafir selalu menghadapi kesulitan yang lebih besar. Ini berbeda dengan orang-orang Mukmin yang selalu menghadapi apa yang lebih ringan hingga mereka masuk surga karena rahmat Allah SWT. Ibnu ‘Abbas juga memahami QS al-Muddatstsir [74]: 10), bahwa hari itu adalah mudah bagi orang Mukmin dan ini adalah hujjah bagi orang yang berpendapat bahwa dalil khithâb adalah hujjah.27

Hal itu juga dapat dipahami dari firman Allah SWT:

وَكَانَ يَوۡمًا عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ عَسِيرٗا  ٢٦

 (Hari itu) adalah hari yang penuh kesukaran bagi kaum yang kafir (QS al-Furqan [25]: 26).

 

Ayat ini menjadi dalil bahwa pada hari itu mudah bagi kaum Mukmin. Demikian penjelasan al-Baghwi, Ibnu ‘Athiyah, dan lain-lain.28

Menurut Ibnu Katsir, keadaan orang-orang Mukmin diberitakan dalam firman-Nya:

لَا يَحۡزُنُهُمُ ٱلۡفَزَعُ ٱلۡأَكۡبَرُ وَتَتَلَقَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ هَٰذَا يَوۡمُكُمُ ٱلَّذِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ  ١٠٣

Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar (pada Hari Kiamat) dan mereka disambut oleh para malaikat. (Malaikat berkata), “Inilah hari kalian yang telah dijanjikan kepada kalian.” (QS al-Anbiya’ [21]: 103).29

 

Menurut Abu Sa’id al-Khudri, pernah ditanyakan kepada Rasulullah saw. tentang sehari seperti lima puluh ribu tahun, betapa lamanya hari itu. Rasulullah saw. bersabda, “Demi jiwaku yang berada di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya hari itu dipendekkan bagi Mukmin sehingga lebih pendek daripada shalat wajibnya sewaktu di dunia.” (HR Ahmad).

Demikianlah. Hari Kiamat pasti terjadi. Saat itu, orang-orang kafir menglami kesulitan, kesusahan, dan kesengsaraan luar biasa. Berbeda dengan orang-orang Mukmin. Mereka justru mendapatkan kemudahan, kesenangan dan kenikmatan tak ternilai.

WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29 (Tunisia: al-Dar al-Tunisiyyah, 1984), 300

2        al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 644; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 134; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 702. Lihat juga dalam al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 391

3        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiryyah, 1964), 70; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 390; Ibnu ‘Ajibah, al-Bahr al-Madîd, vol. 7 (Kairo: Doktor Hasan Abbas, 1999), 173;

4        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 70; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 390

5        Ibnu ‘Ajibah, al-Bahr al-Madîd, vol. 7, 173

6        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 70

7        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 300

8        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 264

9        Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 392; al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 363; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 124;

10      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264

11      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391

12      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 70

13      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391

14      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 70

15      al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, vol. 2 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiyy, 2001), 48

16      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 301

17      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 301

18      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 703

19      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 703

20      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 70

21      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 301

22      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 703

23      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 703

24      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 363; Nizhamauddin al-Naisaburi, Gharâib al-Qur‘ân wa Raghâib al-Furqân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 388

25      Nizhamauddin al-Naisaburi, Gharâib al-Qur‘ân wa Raghâib al-Furqân, vol. 6, 388

26      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 646

27      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 7, 137

28      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 223

29      al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 3 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 2001), 442; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 4, 208

30      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 6, 107

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close