Nafsiyah
Demi Khilafah
Baginda Nabi Muhammad saw. pernah bersabda (yang artinya): Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiat (kepada Khalifah), maka matinya adalah mati Jahiliah (HR Muslim).
Beliau juga bersabda (yang artinya): Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah), lalu mengulurkan tangan kepadanya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya semampu dia. Jika ada orang lain yang hendak merebut kekuasaan dari tangan imam/khalifah tersebut, bunuhlah! (HR Abu Dawud dan Muslim).
Dua sabda Baginda Nabi saw. di atas, di samping sejumlah sabda Beliau yang senada, sesungguhnya menggambarkan betapa agungnya kedudukan Khilafah dalam pandangan Islam. Nabi saw. sampai mengaitkan kematian orang yang tidak berusaha membaiat Khalifah/menegakkan Khilafah selama hidupnya dengan sifat jahiliah. Beliau pun sampai memerintahkan umatnya untuk membunuh siapa saja yang ingin merebut kekuasaan Khalifah yang sah.
Demikian penting dan agungnya Khilafah, bahkan kewajiban menegakkannya (membaiat Khalifah) paling layak didahulukan ketika berbenturan dengan kewajiban kifayah lainnya. Para Sahabat ridwânullâh ‘alayhim—yang notabene generasi yang paling paham agama ini, karena merekalah murid langsung Baginda Rasulullah saw.—telah mencontohkan demikian. Saat Baginda Nabi saw. wafat, mereka justru menunda penguburan jenazah Beliau hingga tiga hari dua malam dan lebih mendahulukan upaya pemilihan sekaligus pembaiatan seorang khalifah pengganti Beliau dalam urusan pemerintahan. Setelah Abu Bakar terpilih dan dibaiat sebagai khalifah, barulah mereka menguburkan jenazah Rasulullah saw.
Karena itu, sampai detik ini kita merasa heran menyaksikan seorang tokoh ulama pimpinan sebuah organisasi terbesar di Tanah Air, kemana-mana dengan rajin dan bersemangat justru menolak Khilafah. Padahal dalam sejarah Islam yang amat panjang, upaya-upaya umat dan para khalifah sendiri untuk mempertahankan eksistensi Khilafah demikian keras. Semua itu mereka lakukan karena mereka menyadari, Khilafah adalah ‘simbol’ kekuatan umat sekaligus penentu hidup-matinya umat. Karena itu, demi Khilafah, generasi umat Islam masa lalu rela mengorbankan apa saja.
Semangat ‘demi Khilafah’ itulah yang juga mengaliri darah para syabab/syabah Hizbut Tahrir Indonesia dan para peserta Konferensi Khilafah Islamiyah (KKI) 2007 di Gelora Bung Karno Jakarta bulan Agustus lalu. Demi tegaknya Khilafah, mereka rela mengorbankan apa saja. Waktu, tenaga, pikiran, harta bahkan nyawa pun mereka pertaruhkan.
Di Sumatra Barat, seorang syabah bertutur sebagai berikut:
Awalnya kami tidak menyangka akan bisa hadir di KKI. Masalah dana menjadi kendala. Beberapa bulan sebelum acara, kami sudah berupaya sekuat tenaga untuk bisa mengumpulkan dana dengan menabung, mengurangi jatah sehari-hari, bahkan menjual harta-benda dan perhiasan untuk bisa ikut menyaksikan momen yang luar biasa tersebut. Namun, karena kepastian transportasi yang bisa membawa kami ke Jakarta masih belum juga clear, sementara ada kabar bahwa teman-teman di Jawa yang bisa mengerahkan massa masih sangat kesulitan dana, akhirnya kami memutuskan untuk menginfakkan semua harta dan dana yang sudah kami kumpulkan untuk teman-teman kami di Jawa.
Saat H-1, kami baru mendapat kabar menggembirakan bahwa transportasi bisa didapat, yaitu bis dengan dana sewa Rp 15 juta. Timbul lagi semangat pada diri kami untuk datang ke Jakarta. Itu berarti, kami harus berjuang kembali memperoleh dana untuk berangkat.
Dengan segala keyakinan bahwa Allah yang Maha Memberi, kami berupaya menggalang dana kembali. Dana Rp 15 juta itu, yang hanya untuk ongkos bis, akhirnya terkumpul. Adapun untuk bekal di perjalanan kami berusaha menghemat dana dengan memasak sendiri.
Saat mulai berangkat, bis bergerak meninggalkan kota Padang Jumat (10 Agustus) pukul 10.30 dalam kegembiraan dan harapan besar kami untuk bisa menyaksikan momen besar KKI. Dalam perjalanan menuju Jakarta, Allah memberikan ujian. Bis yang kami sewa mengalami pecah ban dua kali. Di Sumatera Selatan daerah Bangko, jam 10 malam, ban pecah dan tidak ada ban serep! Alhamdulillah, di dekat sana ada bengkel, namun dua ban baru selesai diperbaiki selama 3,5 jam. Karena kami belum shalat magrib dan isya, kami gunakan waktu menunggu itu untuk shalat. Mushala ternyata tidak mudah kami temukan. Ada satu mushala yang kami dapat di tengah hutan. Di tengah lebatnya hutan dan kegelapan malam itu, kami harus mengambil air wudhu dari sungai yang cukup jauh, yang harus kami capai dengan menuruni tanah yang landai. Padahal di rombongan kami ada seorang bayi berumur 3 bulan. Dia pun ikut merasakan perjalanan mencari mushala itu. Subhânallâh!
Bis terhenti lagi Sabtu (11 Agustus) pukul 11.30 karena ban pecah kembali. Kami harus menunggu sekitar dua jam sampai ban itu selesai diperbaiki. Pada saat itu timbul was-was yang besar pada diri kami, apakah bisa kami sampai di Jakarta dan menyaksikan acara besar KKI? Kami sempat drop. Namun, ketika kami sampai di pelabuhan Bakaheuini Minggu (12 Agustus) dini hari, kami bertemu kafilah dari Lampung dengan beberapa bis dan bendera al-Liwa dan ar-Raya berkibar di depan dan belakang. Kami saling meneriakkan dan menyambut takbir. Semangat kami bergelora kembali!
Akhirnya, sampai pula kami di Jakarta. Saat hadir di acara KKI itu, segala keletihan kami hilang seketika. Yang ada tinggal rasa syukur luar biasa dan energi baru untuk berjuang lebih gencar lagi demi menebarkan pemahaman syariah dan Khilafah di tengah-tengah umat.
Di Kalimantan, demi mengikuti KKI, ada kabar sepasang aktivis HTI (suami-istri) sepakat menjual motor kesayangannya agar mendapatkan uang untuk membeli tiket pesawat menuju Jakarta.
Di Maluku Utara, setiap aktivis HTI di sana berusaha mengumpulkan uang, masing-masing Rp sebesar 5 juta! Pasalnya, sebesar itulah biaya transportasi yang harus ditanggung untuk mengikuti acara KKI, karena mereka harus beberapa kali ganti pesawat untuk bisa sampai ke Jakarta.
Di Gresik, Jatim, ada syabah yang sampai rela ngajar Bimbel dari siang hingga jam 10 malam untuk menutupi biaya transportasi KKI yang sebesar Rp 225.000.
Di Bogor, juga di banyak tempat lain, demi mengikuti sekaligus menyukseskan acara KKI, banyak syabab/syabah yang tiba-tiba menjadi sales ‘dadakan’. Barang dagangan berupa nasi uduk, donat, krupuk, deterjen, molto, baju layak pakai, roti, vcd, bros dan barang-barang yang layak jual mereka jual di sekitar masjid, di pinggir jalan ramai hingga ditawarkan dari pintu ke pintu.
Kisah dalam penggalangan massa juga tidak kalah seru. Hampir setiap hari para syabab/syabah menyisir tempat-tempat pertemuan dan majelis-majelis taklim untuk audiensi acara KKI. Berbagai tempat mulai dari perumahan-perumahan elit hingga kampung-kampung ‘elit’ (alias ‘ekonomi sulit’) dijelajahi; pagi, siang, sore bahkan malam hari. Berbagai respon umat ditemui. Ada yang sangat antusias dan langsung memberikan akses pada jaringan pengajian ibu-ibu. Ada yang responnya datar-datar aja. Ada juga yang menolak dan tidak mau ditemui lagi. Bahkan ada yang ikut-ikutan menyebarkan isu-isu tidak benar terhadap HTI dan acara KKI.
Yang semakin membuat kita sangat sedih namun sekaligus bangga, salah seorang syabah pejuang Khilafah di Pasuruan, Ukhti Masmu’ah, harus berpulang ke rahmatullah pada saat mengemban amanah untuk kebutuhan KKI. Sekitar jam 19.30 malam, kecelakaan menimpa almarhumah ketika ia dalam perjalanan pulang seusai menyelesaikan amanahnya. Pengabdian dan perhatiannya begitu besar terhadap dakwah. Hari-hari semasa hidupnya dipenuhi dengan amal kebaikan dan perjuangan demi tegaknya syariah dan Khilafah. Bahkan sebelum kepergiannya, almarhumah berada dalam kebaikan amal dari pagi hingga malam. Sehabis isya menjelang kepergiannya, almarhumah mempersiapkan keperluan medis untuk perjalanan KKI, menyiapkan kebutuhan orangtua selama ditinggal KKI, juga sempat mengambil ar-Raya dan al-Liwa untuk KKI. Bahkan akhirnya ia meninggal dengan indah karena bendera ar-Raya menyelimuti tubuhnya tepat saat terjadi kecelakaan tersebut. Allahummaghfir lahâ warhamhâ wa‘fu ‘anhâ…
Sebetulnya, banyak sekali kisah yang mengharukan sekaligus membanggakan dari pengorbanan para syabab/syabah demi menyukseskan acara KKI ini. Semua itu mereka lakukan tidak lain karena mereka sadar bahwa acara KKI ini merupakan momen yang, mau tidak mau, harus sukses terselenggara. Sebabnya, KKI ini merupakan media pengopinian gagasan Khilafah yang sangat penting, yang akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan perjuangan penegakkan Khilafah Islamiyah, khususnya di Indonesia, ke depan.
Alhamdulillah, dengan adanya pertolongan Allah, acara KKI sukses terselenggara. Semoga gagasan Khilafah, khususnya di Tanah Air, semakin populer di masyarakat, dan perjuangan penegakkan Khilafah—yang memang merupakan kewajiban dari Allah dan Rasul-Nya—semakin banyak didukung masyarakat. Insya Allah, kita yakin, sesuai dengan janji Allah dan Rasul-Nya, tidak lama lagi Khilafah akan segera tegak berdiri. Allâhumma, âmîn, yâ Mujîb as-Sâ’ilîn… [Arief B. Iskandar]