Dakwah
Dakwah Rasulullah Saw. Era Makkah
Oleh: Ustaz Taufik NT
Dakwah menyeru manusia kepada Allah dengan hujjah yang nyata adalah jalan dan minhâj kehidupan Rasulullah saw. dan orang-orang yang mengikuti beliau.1 Siapa saja yang memilih jalan ini seharusnya sadar sejak awal bahwa dia akan menghadapi berbagai gangguan. Sebagaimana kata Waraqah bin Naufal, sepupu Khadijah, istri beliau:
لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ
Tidak ada seorang pun yang datang membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan disakiti.2
Tiga belas tahun sejak Nabi Muhammad saw. diangkat sebagai rasul, beliau menjalankan dakwah di Makkah tanpa kekuasaan politik yang menerapkan Islam dan melindungi dakwah. Berbagai penentangan dihadapi, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga hal: 1) penyiksaan fisik (ta’dzîb); 2) propaganda (da’âwah); dan 3) pemboikotan (muqâtha’ah). Berbagai bujukan dan rayuan juga ditebar untuk membelokkan arah dakwah.
Abu Lahab melempari Rasulullah saw. dengan batu saat beliau menyampaikan dakwah di Pasar Dzul Majâz3. ‘Uqbah bin Abi Mu’aith melemparkan kotoran unta ke punggung beliau saat beliau sedang sujud di Baitullah.4 Beliau juga pernah mau diinjak lehernya saat sedang sujud. Demikian juga berbagai siksaan lainnya.
Sahabat-sahabat beliau tidak luput dari siksaan. Bahkan ada yang dibunuh seperti Yasir dan Sumayyah. Bilal dijemur di bawah terik matahari dan diletakkan batu besar di atas dadanya.5 Begitu juga Khabbab bin al-Arrat, Ibnu Mas’ud, Abu Bakar, ‘Ammar, Utsman bin Madh’un. Bahkan ‘Umar ra. pernah mengalami penganiayaan di jalan dakwah ini.
Tidak cukup penganiayaan, propaganda pun mereka rancang. Sebelumnya Abu Lahab membuat propaganda mandiri, memprovokasi orang-orang setelah didakwahi Nabi saw. dengan mengatakan:
أَيُّهَا النَّاسُ، لاَ تُطِيعُوهُ، فَإِنَّهُ كَذَّابٌ
Wahai manusia, jangan taati dia, sungguh dia itu pendusta. 6
Agar propaganda lebih efektif, Al-Walid bin al-Mughirah, pembesar Bani Makhzum, mengumpulkan para tokoh Quraisy untuk menyatukan propaganda. Di antara ucapannya saat membuka diskusi, “Bersepakatlah dalam satu pendapat (yakni tentang tuduhan buruk kepada Nabi Muhammad), janganlah kalian berselisih sehingga sebagian akan mendustakan sebagian yang lain, perkataan sebagian kalian akan menolak perkataan sebagian yang lain.”7
Akhirnya, disepakatilah satu tuduhan yang dipaksakan untuk Nabi Muhammad: tukang sihir!
Pemboikotan total juga dilakukan oleh kafir Quraisy. Mereka menulis selembar kesepakatan pemutusan hubungan total dengan Bani Hasyim dan Bani Abdil-Muththalib. Tidak boleh menolong mereka. Tidak boleh menikah dengan mereka atau menikahkan dari mereka. Juga tidak boleh berjual-beli dengan mereka.8 Pedagang luar yang datang ke Makkah pun mereka upayakan agar tidak berjual beli dengan kaum Muslim. Abu Lahab berkata, “Wahai para pedagang! Naikkan harga barang kalian kepada sahabat-sahabat Muhammad sehingga mereka tidak bisa membeli apapun. Kalian semua sudah mengetahui kekayaanku. Kalian pun sudah tahu bahwa aku akan menepati jaminananku. Akulah penjamin kalian. Kalian tidak akan rugi.”9
Mengapa penentangan tersebut terjadi, padahal beliau memiliki track record yang cemerlang, bahkan beliau digelari al-amîn (orang yang dapat dipercaya)? Tidak lain itu karena sifat dakwah yang beliau sampaikan. Di antara sifat dakwah beliau adalah:
- Proaktif (Sâfiran).
Beliau tidak menyimpan risalah dari Tuhannya hanya untuk kalangan sendiri. Sebaliknya, beliau sibuk mengunjungi tempat-tempat berkumpulnya manusia, baik itu pasar, tenda-tenda jamaah haji, maupun mengunjungi siapa saja dalam rangka mendakwahi dan mengajak mereka kepada ajaran Islam. Ini pula yang terjadi dengan Abu Bakar ra. Beliau diberi perlindungan oleh Ibnu Daghinah dengan syarat tidak menunjukkan aktivitas keislamannya di depan publik. Namun, beliau memilih menunjukkan aktivitas keislamannya di depan publik dan melepaskan perlindungan tersebut.10
2. Argumentatif (Fikriyyah).
Beliau juga menentang dan menantang semua keyakinan rusak yang saat itu sedang trend di tengah-tengah masyarakat. Dalam melakukan itu beliau mengedepankan bukti dan argumen bukan sentimen. Misalnya beliau menyampaikan firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٞ فَٱسۡتَمِعُواْ لَهُۥٓۚ ٧٣
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian perumpamaan itu (QS al-Hajj [22]: 73).
Allah SWT menggunakan kalimat pasif “telah dibuat perumpamaan (dhuriba matsal[un])” seakan Dia ingin menyatakan, “Jangan kalian perhatikan siapa yang bicara, tetapi pikirkan saja apa yang dibicarakan.” Ini adalah seruan agar manusia berpikir tanpa bias dan sentimen. Untuk sesaat tidak usah diperhatikan bahwa ini adalah al-Quran, ini Islam, atau ini dari Tuhannya Muhammad saw. Setelah itu objek berpikirnya disampaikan, yakni sesembahan kalian tidak akan bisa membuat walau seekor lalat, dan tidak bisa melawan seekor lalat. Layakkah yang seperti itu dipertuhankan?
3. Bersifat Politik (Siyâsiyyah).
Politik adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi negara dalam pengaturan tersebut.11
Dakwah yang dilakukan Nabi saw. bukanlah sekedar membahas apa yang terkait dengan hal privat seseorang dengan Tuhannya semata. Dakwah beliau juga bersifat politik, dalam arti meluruskan dan menentang kebijakan para penguasa (pemimpin masyarakat) saat itu yang bertentangan dengan Islam. Beliau juga membongkar persekongkolan para pemimpin Quraisy. Misalnya, terkait Al-Walid bin al-Mughirah Allah SWT berfirman:
إِنَّهُۥ فَكَّرَ وَقَدَّرَ ١٨ فَقُتِلَ كَيۡفَ قَدَّرَ ١٩
Sungguh dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang dia tetapkan). Maka celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan? (QS aI-Muddattsir [74]: 18-19).
Begitu juga Abu Lahab dan Abu Jahal. Tidak luput dari celaan Nabi saw.
4. Tanpa Kekerasan (La ‘Unfiyyah).
Walaupun siksaan fisik diterima, bahkan ada yang dibunuh, selama era Makkah Rasulullah tidaklah melakukan kekerasan fisik. Beliau tidak menghancurkan berhala-berhala yang ada atau melakukan penyerangan balasan. Abdurrahman bin ’Auf dan para sahabatnya pernah datang menemui Rasulullah, lalu mengadu, “Wahai Rasulullah, dulu kami kuat dan mulia saat kami musyrik, ketika kami beriman jadilah kami hina.” Rasulullah menjawab:
إِنِّي أُمِرْتُ بِالْعَفْوِ، فَلاَ تُقَاتِلُوا
Aku diperintahkan untuk menjadi seorang pemaaf. Karena iyu janganlah kalian berperang. 12
Refleksi Dakwah Rasulullah Saat Ini
Kesabaran, itulah di antara hal terpenting yang bisa kita contoh dari dakwah Nabi saw. Kesabaran tercermin dengan tidak berkeluh-kesah menghadapi berbagai penentangan. Semua itu adalah hal yang wajar bahkan bisa dibilang ‘konsekuensi’ dakwah yang lurus jika berada dalam masyarakat yang tidak islami. Justru aneh jika dakwah kita dalam masyarakat yang sistemnya rusak itu disukai oleh semua orang. Jika ini terjadi, bisa jadi ada yang keliru dalam dakwah atau diri pengembannya. Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H) berkata:
إِذَا رَأَيْتَ الْقَارِئَ مُحَبَّبًا فِي جِيراَنِهِ، مَحْمُودًا عِنْدَ إِخْوَانِهِ، فَاعْلَمْ أَنَّه مُدَاهِنٌ
Jika kamu melihat seseorang qâri (‘ulama) disukai oleh (semua) tetangganya dan dipuji oleh (semua) teman-temannya, maka ketahuilah bahwa dia adalah penjilat.13
Kesabaran juga tercermin dengan menetapi jalan (tharîqah) dakwah Nabi saw. Proaktif mendatangi masyarakat untuk menyampaikan dakwah ini. Mendiskusikan dengan mereka secara argumentatif. Menghindari akhlak yang buruk dalam berdiskusi. Namun demikian, tidak takut mengkritik kebijakan siapa saja yang bertentangan dengan Islam dan tidak ragu membongkar persekongkolan siapa saja yang menentang dakwah.
Kesabaran juga tercermin dengan senantiasa membersihkan diri dari kemaksiatan, baik maksiat fisik maupun hati. Menautkan setiap aktivitas dakwah dan menyandarkannya kepada Allah SWT semata. Dialah sebenarnya yang bisa membuka atau menutup hati manusia untuk menerima atau menolak dakwah ini.
Makar apapun yang dilakukan penentang dakwah tidak akan bisa menghentikan fajar kebangkitan Islam. Bahkan Allah bisa mengubah penentang menjadi penopang. Ketika istri Amir bin Rabi’ah melihat Umar bin al-Khaththab dan mengharapkan keislaman Umar, maka Amir berkata kepada istrinya:
فَلَا يُسْلِمُ الَّذِي رَأَيْتِ حَتَّى يُسْلِمَ حِمَارُ الْخَطَّابِ
Tidak akan masuk Islam orang yang telah kau lihat sebelum keledainya memeluk Islam terlebih dulu!14
Amir berkata begitu karena melihat begitu keras dan kasarnya Umar dalam menentang Islam. Namun, Allah berkehendak lain. Justru pada akhirnya Umar menjadi tokoh besar dalam Islam.
Tiga belas tahun kafir Quraisy menganiaya, mencaci, menyiksa, menuduh, memboikot dan bahkan mengatur strategi untuk membunuh Rasulullah saw. Belasan kabilah menolak dakwah Rasulullah. Namun demikian, semua itu justru mengantarkan pada penemuan mutiara cemerlang, para Yatsrib yang cukup ‘hanya’ dijanjikan surga, tanpa janji duniawi lainnya, mereka siap sedia all out. Lenyapnya seluruh harta dan terbunuhnya para ksatria tidak akan membuat mereka mundur dari ikrar setia untuk menjaga keberlangsungan dakwah Nabi saw.15
Melihat geliat dakwah di Nusantara ini, sepertinya apa yang tergambar dalam sirah Nabi saw. sedang terulang. Tidakkah kita lihat bagaimana persekusi terhadap dakwah yang massif, bendera Rasulullah di-framing keji, Khilafah yang merupakan Ijmak Sahabat dan para ulama sepakat akan kewajibannya dianggap negatif dan diasosiasikan dengan radikal fundamentalis. Namun demikian, semakin hal tersebut diserang, makin muncul generasi umat yang siap membela. Bahkan segmen-segmen masyarakat yang dulunya menutup diri sekarang justru makin membuka diri dan siap berjuang bersama. Sebaliknya, orang-orang yang menentang sibuk mengurus kepentingan duniawinya dan sebagian dipusingkan oleh KPK. Tidakkah ini cukup jadi pelajaran? Allah SWT berfirman:
وَقَدۡ مَكَرُواْ مَكۡرَهُمۡ وَعِندَ ٱللَّهِ مَكۡرُهُمۡ وَإِن كَانَ مَكۡرُهُمۡ لِتَزُولَ مِنۡهُ ٱلۡجِبَالُ ٤٦
Sungguh mereka telah membuat makar yang besar, padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Sungguh makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya (QS Ibrahim [14]: 46).
Oleh sebab itu, yang dibutuhkan dalam dakwah ini hanyalah keseriusan untuk terus mengkaji, dibarengi dengan keikhlasan dan kesabaran untuk tetap menyampaikan ajaran Islam itu apa adanya, serta berusaha istiqamah hingga akhir hayat. Masalah orang lain mau menerima atau menolak atau bahkan memusuhi, serahkan semuanya kepada Allah SWT.
WalLâhu a’lam bi ash-shawab. []
Catatan kaki:
1 Al Qurthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 9, hlm 274.
2 Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Dâr Tuq al-Najah, 1422), Juz 1, hlm. 7.
3 Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Cet. I. (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1998), Juz 14, hlm. 518.
4 Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 4, hlm. 104.
5 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim (Dâr Thayyibah, 1999), Juz 4, hlm. 606.
6 Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Juz 14, hlm. 518.
7 Ibnu Hisyam, Al-Sîrah al-Nabawiyyah (Mesir: Musthafa al-Bâbi, 1955), Juz 1, hlm. 270.
8 Ibid., Juz 1, hlm. 350.
9 Ibid., Juz 1, hlm. 377.
10 Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 3, hlm. 98.
11 Taqiyuddin al-Nabhani, Mafâhîm Siyâsiyah Li Hizb Al-Tahrîr, Cet. III. (Jakarta: HTI-Press, 2009), hlm. 7.
12 Ahmad bin Syu’aib bin ’Ali al-Nasa-i, Sunan Al-Nasa-i, Cet. II. (Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islamiyyah, 1986), JUz 6, hlm. 2.
13 Abu Laits al-Samarkandi, Tanbîh Al-Ghâfilîn, Cet. III. (Beirut: Dâr Ibnu Katsir, 2000), hlm. 95.
14 Ibnu Hisyam, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Juz 1, hlm. 343.
15 Al-Baihaqi, Dalâil Al-Nubuwwah (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1405), Juz 2, hlm. 222.