Tanya Jawab

Batas Maksimal dari Zakat yang Boleh Diambil oleh Mustahiq Zakat

Soal:

Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya punya pertanyaan jika Anda berkenan menjawabnya jika Anda punya waktu.

Berapa banyak uang yang dapat diambil oleh seseorang mustahiq zakat. Contoh, dapatkah seseorang mendapat cukup uang untuk membangun rumah jika dia tidak punya rumah … Atau ada limit berapa banyak seseorang dapat menerima? Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.

Shani Ayaz

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertanyaan Anda adalah tentang batas maksimal dari zakat yang mungkin diambil oleh seorang mustahiq zakat …

Jawaban atas hal itu, di dalam syara’ tidak dinyatakan nas yang secara langsung menjelaskan kadar maksimal dari zakat yang diberikan kepada mustahiqnya … Tetapi ayat shadaqah yaitu firman Allah SWT:

﴿إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ﴾

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (TQS at-Tawbah [9]: 60).

Dari ayat ini dapat diistinbath kadar maksimal yang diberikan kepada mustahiq zakat. Yang demikian itu karena para mustahiq zakat itu, mereka disebutkan di dalam ayat tersebut dengan sifat mufhimah yang menunjukkan atas sebab mereka diberi zakat. Ini berarti bahwa pemberian zakat kepada mereka itu disertai ‘illat dengan sifat yang eksis pada mereka yang berhak menerima zakat itu. Selama golongan yang diberi zakat itu masih dalam cakupan sifat yang membuat mereka berhak menerima maka dia diberi. Jika telah melewati sifat itu maka tidak diberi:

– Misalnya. al-fuqarâ` wa al-masâkîn (orang fakir dan orang miskin), mereka berhak mendapat zakat karena sifat kefakiran dan kemiskinan … Maka batas maksimal untuk zakat yang diberikan adalah apa yang membuat mereka cukup tidak lagi membutuhkan zakat, yakni apa yang membuat mereka cukup di mana mereka menjadi tidak lagi berhak menerima zakat. Artinya, dengan zakat yang diberikan kepada mereka, mereka keluar dari sifat fakir dan sifat miskin … Tidak boleh memberi mereka lebih dari yang demikian itu … Kadar ini tentu saja berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain dan dari satu kondisi ke kondisi yang lain …

– Contoh, al-‘âmilûn ‘alayhâ, mereka diberi dari zakat karena mereka bekerja untuk mengumpulkannya … Mereka diberi dari zakat disebabkan amal mereka, yakni sebagai kompensasi (imbalan) tenaga yang mereka curahkan dalam mengumpulkan zakat.  Maka negara menetapkan kadar untuk mereka, upah mereka sesuai tenaga yang mereka curahkan. Jika negara tidak menetapkan upah mereka maka mereka diberi upah yang sepadan (al-ajru al-mitsliy)… Dan tidak ditambah dari yang demikian itu karena zakat bukan donasi untuk mereka, tetapi hanya kompensasi dari tenaga mereka …

– Contoh, al-ghârimîn, mereka diberi dari zakat apa yang melunasi utang mereka secara penuh. Mereka tidak diberi lebih dari itu. Sebab mereka berhak menerima zakat disebabkan utang. Jika sifat ini hilang dari mereka maka mereka tidak menjadi orang yang berhak (mustahiq) zakat …

Begitulah, berkaitan dengan semua golongan. Diberikan dari zakat apa yang membuat sifat yang menjadi sebab mereka berhak menerima zakat itu hilang darinya.

Kami telah mengisyaratkan beberapa makna yang dijelaskan di atas di dalam kitab al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah dalam bab Mashârif az-Zakât sebagai berikut:

(1- Al-fuqarâ`: mereka adalah oranng-orang yang tidak memperoleh harta yang mencukupi mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan asasi mereka yaitu pangan, sandang dan papan. Jadi siapa yang pendapatannya kurang dari apa yang dia butuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, dia termasuk orang fakir. Zakat halal untuk dia. Dia boleh mengambil dari zakat. Dia boleh diberi dari zakat sampai batas yang menghilangkan sifat membutuhkan dan kefakirannya.

Allah SWT telah mengharamkan bagi orang-orang kaya untuk mengambil shadaqah. Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan telah meriwayatkan dari Abdullah bin Amru, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

«لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ، وَلاَ لِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيّ»

“Zakat tidak halal untuk orang kaya dan untuk dzu al-mirrah yang lurus”.

Dzu al-mirrah adalah orang yang memiliki kekuatan, kemampuan dan pendapatan. Jika dia tidak mendapati apa yang dia peroleh, dia termasuk fakir. Sedangkan orang kaya (al-ghaniy) adalah orang yang tidak membutuhkan orang lain. Dan dia memperoleh harta lebih dari apa yang memenuhi kebutuhannya. Dinyatakan di dalam hadits-hadist yang menjelaskan siapa orang kaya. Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«مَا مِنْ أَحَدٍ يَسْأَلُ مَسْأَلَةً، وَهُوَ عَنْهَا غَنِيٌّ، إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كُدُوْحاً، أَوْ خُدُوْشاً، أَوْ خُمُوشاً فِيْ وَجْهِهِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا غِنَاهُ، أَوْ مَا يُغْنِيْهِ؟ قَالَ: خَمْسُوْنَ دِرْهَماً، أَوْ حِسَابُهَا مِنَ الذَّهَبِ» رواه الخمسة

“Tidak lah seseorang meminta-minta sementara dia kaya kecuali datang pada Hari Kiamat di mana cacat atau bekas luka atau noda di wajahnya”. Dikatakan: “ya Rasulullah, apa yang membuatnya cukup (kaya) atau apa yang mencukupinya? Beliau bersabda: “lima puluh dirham atau yang senilai dengannya berupa emas” (HR Khamsah).

 

Jadi siapa yang memiliki lima puluh dirham yakni 148,75 gram perak atau emas yang senilai, kelebihan dari pangan, sandang dan papannya, dan nafkah keluarganya, anak-anaknya dan pembantunya, maka dia termasuk orang kaya, dan dia tidak boleh mengambil shadaqah.

2- al-Masâkîn: yaitu orang yang tidak mendapati apa-apa. Kepapaan telah menimpanya, tetapi mereka tidak meminta-minta kepada orang-orang. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

«لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ الَّذِيْ يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ، تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ، وَلَكِنْ اَلْمِسْكِيْنُ الَّذِيْ لاَ يَجِدُ غِنَى يُغْنِيْهِ، وَلاَ يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَقُوْمُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ». متفق عليه

“Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling kepada orang-orang, dia diberi satu atau dua suap, satu atau dua biji kurma. Tetapi orang miskin itu adalah orang yang tidak menemukan apa yang mencukupinya tetapi dia tidak terfitnah dengannya lalu diberi shadaqah dan dia juga tidak meminta kepada orang-orang” (Muttafaq ’alayh).

 

Orang miskin itu di bawah fakir, sesuai firman Allah SWT:

﴿أَوْ مِسْكِيناً ذَا مَتْرَبَةٍ﴾

atau kepada orang miskin yang sangat fakir. (TQS al-Balad [90]: 16).

 

Yakni mepet ke tanah karena ketelanjangan dan kelaparannya. Dan orang miskin halal baginya shadaqah. Dia berhak mengambil dari zakat. Dia boleh diberi dari shadaqah sampai batas yang menghilangkan kemiskinannya dan menjadikannya tercukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

3- Al-‘âmilûna ‘alayhâ: mereka adalah as-su’âtu dan orang yang bersedekah, yang ditunjuk untuk mengumpulkan shadaqah dari orang yang wajib membayarnya atau untuk mendistribusikan zakat kepada para mustahiqnya. Mereka diberi dari shadaqah, meski dia orang kaya, sebagai kompensasi dari pelaksanaan tugas mereka mengumpulkan shadaqah atau mendistribusikannya. Abu Ubaid telah meriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

«لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ: عَامِلٍ عَلَيْهَا، أَوْ رَجُلٍ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، أَوْ رَجُلٍ لَهُ جَارٌ فَقِيْرٌ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ بِصَدَقَةٍ فَأَهْدَاهَا إِلَيْهِ، أَوْ غَازٍ، أَوْ مُغْرِمٍ»

“Shadaqah tidak halal untuk orang kaya kecuali liga golongan: ‘amil yang ditunjuk atasnya, atau laki-laki yang membelinya dengan hartanya, atau laki-laki yang memiliki tetangga fakir, dia bersedekah kepadanya lalu tetangganya itu menghadiahkannya kepadanya, atau orang yang berperang atau orang yang berutang -gharim-“.

Dan dari Bisr bin Sa’id: bahwa Ibnu as-Sa’idi al-Maliki berkata:

«اِسْتَعْمَلَنِيْ عُمَرٌ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا فَرَغْتُ مِنْهَا، وَأَدَيْتُهَا إِلَيْهِ، أَمَرَ لِيْ بِعُمَالَةٍ، فَقُلْتُ: إِنَّمَا عَمِلْتُ لِلَّه.ِ فَقَالَ: خُذْ مَا أَعْطَيْتُ، فِإِنِّيْ عَمِلْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَمَّلَنِيْ، قُلْتُ مِثْلَ قَوْلِكَ، فَقَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَعْطَيْتُ شَيْئاً مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَ فَكُلْ وتَصَدَّقْ» متفق عليه

“Umar telah mempekerjakanku atas shadaqah, ketika aku telah selesai darinya dan aku tunaikan kepadanya, Umar menyuruhku dengan upah. Aku katakan: “tidak lain aku melakukannya karena Allah”. Umar berkata: “ambillah apa yang aku berikan, karena aku dulu bekerja pada masa Rasulullah saw lalu beliau memberiku upah, dan aku katakan seperti ucapanmu maka Rasulullah saw bersabda kepadaku: “jika aku beri kamu sesuatu tanpa engkau meminta maka makanlah dan bersedekahlah”. (Muttafaq ‘alayh).

4- Al-mu`allafah qulûbuhum: mereka adalah golongan para pemimpin, tokoh, orang-orang berpengaruh atau orang-orang pemberani yang iman mereka belum menancap kuat, dan khalifah atau walinya khalifah berpandangan untuk memberi mereka dari zakat untuk memikat hati mereka atau menguatkan iman mereka atau untuk memanfaatkan mereka demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim, atau untuk mempengaruhi jamaah mereka. Itu semisal orang yang Rasul saw beri seperti Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishnin, al-Aqra’ bin Habis, ‘Abbas bin Mirdas dan selain mereka.  Dari Amru bin Taghlib:

«أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِمَالٍ، أَوْ سَبَيَ فَقَسَّمَهُ، فَأَعْطَى رِجَالاً، وَتَرَكَ رِجَالاً، فَبَلَغَهُ أَنَّ الَّذِيْنَ تَرَكَ عَتَبُوْا، فَحَمِدَ اللهَ، ثُمَّ أَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَوَاللهِ إِنِّيْ لَأُعْطِيَ الرَّجُلَ، وَأَدَعُ الرَّجُلَ، وَالَّذِيْ أَدَعُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ الَّذِيْ أُعْطِيْ، وَلَكِنِّيْ أُعْطِيْ أَقْوَاماً، لَمَا أَرَى فِيْ قُلُوْبِهِمْ مِنَ الْجَزَعِ وَالْهَلَعِ، وَأَكِلُ أَقْوَاماً إِلَى مَا جَعَلَ الله ُفِيْ قُلُوْبِهِمْ مِنَ الْغِنَى وَالْخَيْرِ» رواه البخاري

Rasulullah saw didatangkan kepada beliau harta atau sabiy lalu beliau membagikannya. Beliau memberi seorang laki-laki dan tidak memberi laki-laki yang lain. Lalu sampai kepada beliau bahwa orang yang tidak diberi memprotes. Maka Beliau memuji dan menyanjung Allah kemudian bersabda; “amma ba’du, demi Allah sungguh saya memberi laki-laki dan saya biarkan laki-laki yang lain, dan orang yang saya biarkan dia lebih saya cintai dari orang yang saya beri, tetapi saya memberi kaum karena saya melihat di hati mereka ada kegelisahan dan keluh kesah, dan aku pasrahkan kaum yang lain kepada apa yang Allah jadikan di dalam hati mereka berupa kecukupan dan kebaikan” ( HR al-Bukhari).

Mereka, al-mu`allafah qulûbuhum tidak diberi zakat kecuali jika mereka adalah muslim. Jika mereka kaum kafir, maka tidak diberi dari zakat. Sebab zakat tidak diberikan kepada orang kafir, sesuai sabda Rasul saw kepada Mu’adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman:

«فَأَعْلِمْهُمْ أَّنَ اللهَ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِيْ أَمْوَالِهِمْ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ»

“Beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan shadaqah terhadap mereka dalam harta mereka, diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka” (HR al-Bukhari dair jalur Ibnu Abbas).

Sebagaimana bahwa mereka tidak diberi kecuali jika ‘illat yang menjadi sebab mereka diberi zakat itu eksis. Jika ‘illat itu tidak ada maka mereka tidak diberi. Sebagaimana Abu Bakar dan Umar enggan memberi mereka setelah Islam mulia dan menyebar.

5- Ar-riqâb: yaitu hamba sahaya. Mereka diberi dari zakat jika mereka mukatab (budak yang punya perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya dengan sejumlah harta) untuk memerdekakan diri mereka. Mereka dibeli dengan harta zakat dan dimerdekakan jika mereka bukan budak mukatab. Hamba sahaya tidak ada lagi saat ini.

6- Al-gharimûn: mereka adalah debitur yang menanggung pembayaran utang untuk memperbaiki hubungan keluarga atau membayar diyat atau mereka menanggung utang untuk memenuhi kemashalatan mereka yang khusus.

Adapun orang yang menanggung utang untuk memperbaiki hubungan keluarga atau untuk membayar diyat maka untuk mereka dibayarkan dari zakat, baik mereka orang fakir atau kaya. Dibayarkan kepada mereka sejumlah utang yang mereka tanggung tanpa tambahan. Dari Anas bahwa Nabi saw bersabda:

«إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لِثَلَاثَةٍ، لِذِيْ فَقْرٍ مُدْقِعٍ، أَوْ لِذِيْ غَرِمٍ مُفْظِعٍ، أَوْ لِذِيْ دَمٍّ مُوْجِعٍ»

“Sesungghnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga golongan: orang yang fakir, orang yang punya utang yang besar atau tanggungan darah yang menyakitkan”.

 

Imam Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai meriwayatkan dari Qabishah bin Muhariq al-Hilali, ia berkata:

«تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا، فَقَالَ: أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ، فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا، قَالَ: ثُمَّ قَالَ: ” يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا»

“Aku menanggung beban lalu aku datang kepada Rasulullah saw, aku meminta kepada beliau. Beliau bersabda: “tunggulah sampai datang shadaqah kepada kami maka kami perintahkan untukmu dengannya”. Kemudian beliau bersabda: “hai Qabishah sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga golongan: laki-laki yang menanggung beban maka meminta-minta halal untuknya sampai dia mendapatkannya kemudian dia menahan diri (tidak meminta-minta lagi), dan laki-laki yang dilanda bencana yang menelan hartanya maka meminta-minta halal untuknya sampai dia mendapatkan penyangga hidup -atau beliau bersabda: penopang hidup-, dan laki-laki yang dilanda kemiskinan sampai tiga orang yang memiliki keperluan di kaumnya mengatakan, sungguh dia telah ditimpa kemiskinan, maka meminta-minta halal untuknya sampai dia mendapatkan penyangga hidup -atau beliau bersaba: penopang hidup-. Selain mereka dalam meminta-minta hai Qabishah maka itu menjadi harta haram, pelakunya memakan harta haram”.

Adapun mereka yang menanggung beban untuk memenuhi kepentingan khusus mereka, maka dibayarkan dari zakat untuk memenuhi utang mereka, jika mereka fakir atau mereka bukan fakir yang tidak mampu membayar utang mereka, adapun jika mereka kaya yang mampu membayar utang mereka maka tidak dibayarkan untuk mereka sebab zakat tidak halal untuk mereka.

7- Fi sabîlillâh: yakni jihad dan apa yang diperlukan untuk jihad dan apa yang menjadi penentu jihad berupa pembentukan pasukan, mendirikan industri, pembuatan senjata dsb. Di mana saja dinyatakan fî sabîlillâh di dalam al_Quran, maka itu tidak berarti kecuali jikad. Maka dibayarkan dari zakat untuk jihad dan apa yang diperlukan. Hal itu tidak dibatasai kadarnya. Jadi boleh zakat dibelanjakan seluruhnya atau sebagiannya untuk jihad menurut apa yang menjadi pandangan khalifah sebagai kemaslahatan untuk para mustahiq zakat. Abu Dawud telah meriwayatkan dari Abu Said al-Khudzri, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

«لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ…»

Tidak halal shadaqah untuk orang kaya kecuali fi sabîlillâh”.

Dan dalam riwayat lainnya:

«… أَوْ لِغَازٍ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ…»

“ … atau untuk orang yang berperang di jalan Allah …”.

8- Ibnu as-Sabîl: yaitu orang yang terputus perjalanannya (kehabisan bekal) yang tidak menemukan apa yang bisa mengantarkannya ke negerinya maka dia diberi dari zakat kadar yang bisa menyampaikannya ke negerinya, baik sedikit atau banyak. Sebagaimana dia diberi apa yang mencukupinya berupa nafkahnya di perjalanan sampai dia tiba di negerinya. Dan dia diberi dari shadaqah meski dia orang kaya di negerinya. Hal itu sesuai sabda Rasul saw:

«لاَ تَحِلُّ اَلصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، أَوْ اِبْنِ السَّبِيْلِ، أَوْ…» رواه أبو داود

“Tidak halal shadaqah untuk orang kaya kecuali dalam fi sabîlillâh atau ibnu as-sabîl atau … “ (HR Abu Dawud).

 

Selain golongan-golongan yang disebutkan di dalam ayat tersebut, tidak boleh diberi dari zakat. Jadi tidak boleh dibayarkan dari zakat atas pendirian masjid, atau rumah sakit atau yayasan sosial atau atas kemaslahatan negara atau ummat sebab zakat itu milik khusus untuk delapan ashnaf, tidak ada yang lain yang ikut serta di dalamnya.

Khalifah memiliki wewenang dalam pemberian zakat kepada golongan-golongan ini menurut apa yang dia pandang merealisasi kemaslahatan golongan-golongan ini. Sebagaimana dahulu Rasulullah saw dan para khalifah sesudah beliau, mereka melakukan yang demikian itu.  Khalifah boleh mendistribusikannya kepada delapan golongan tersebut, sebagaimana khalifah juga boleh membatasi dalam pemberiannya kepada sebagian dari delapan golongan ini menurut apa yang dia pandang di dalamnya ada kemaslahatan untuk golongan-golongan ini.  Jika golongan-golongan ini tidak ada maka harta zakat disimpan di Baitul mal, di Diwân ash-Shadaqât untuk dibelanjakan ketika diperlukan dalam pos-pos pembelanjaannya. Abu ‘Ubaid telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., ia berkata tentang shadaqah:

«إِذَا وَضَعْتَهَا فِيْ صِنْفٍ وَاحِدٍ مِنَ اْلأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ أَجْزَأَكَ»

“Jika engkau letakkan dalam satu golongan dari delapan golongan maka ia mendatangkan pahala untukmu”.

Demikian juga Atha’ dan al-Hasan mengatakan dari Malik, ia berkata: “perkara tersebut menurut kami tentang pembagian shadaqah, bahwa yang demikian itu tidak terjadi kecuali menurut ijtihad dari wali. Golongan manapun yang di dalamnya ada kebutuhan dan jumlah, maka golongan itu diutamakan menurut kadar yang menjadi pandangan wali”. Selesai kutipan dari kitab al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah.

Saya berharap di dalam ini ada kecukupan. Wallâh a’lam wa ahkam.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

17 Sya’ban 1441 H

10 April 2020 M

 

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/67311.html

https://web.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/photos/a.1705088409737176/2604964059749602/%D8%9Ftype=3&theater

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close