Tanya Jawab

Bagaimana Saya Menjauhi Kekufuran dan Kesyirikan dan Mati Sebagai Muslim

بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Bagaimana Saya Menjauhi Kekufuran dan Kesyirikan dan Mati Sebagai Muslim

Kepada Islam Zidan

 

Soal:

As-Salamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Bagaimana saya menjauhi kekufuran atau syirik dan mati sebagai muslim? Sebab saya tidak ingin menjadi orang yang merugi perbuatannya … Dan apakah kekufuran itu hanya perbuatan atau ucapan atau keyakinan??? Saya berharap jawaban, semoga Allah melimpahkan berkah kepada Anda.

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertanyaan Anda terdiri dari dua bagian:

Pertama, bagaimana seseorang menjauhi syirik dan kekufuran dan mati sebagai muslim…

Kedua, apakah kekufuran itu perbuatan atau ucapan atau keyakinan …

Dan saya akan memulai jawaban pada bagian kedua sebab jawaban bagian pertama dibangun di atas jawaban bagian kedua…

  • Jawaban Pertanyaan Bagian Kedua:

Akidah dan iman maknanya sama. Yaitu pembenaran yang pasti yang sesuai fakta berdasarkan dalil (bukti). Iman itu tempatnya di hati. Iman itu bergantung pada pembenaran yang pasti, bukan hanya sekadar pembenaran. Pembenaran pasti itu harus sesuai dengan fakta dan berdasarkan dalil (bukti), sehingga kokoh bersemayam dalam hati. Ketika itu seseorang menjadi mukmin. Kekufuran tempatnya juga dalam hati. Sebab hal itu terkait dengan pembenaran (at-tashdîq) dan pembenaran itu tempatnya dalam hati… Allah SWT berfirman:

﴿قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُم﴾

Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu…” (TQS al-Hujurat [49]: 14).

 

Sebab belum stabil bersemayam di dalam hatimu… Allah SWT berfirman:

﴿وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ﴾

“Tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus (TQS al-Hujurat [49]: 7).

 

Allah SWT berfirman:

﴿مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ﴾

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar” (TQS an-Nahl [16]: 106).

 

Karena itu, poros edar iman dan kufur adalah pada pembenaran dalam hati dan keyakinan hati, dan bukan atas ucapan dan perbuatan. Sebab ucapan dan perbuatan, keduanya bagian dari aktivitas lahiriyah (jawârîh) dan lisan, dan keduanya bukan merupakan pembenaran hati… Hanya saja, harus diperhatikan dua perkara dalam konteks ini, yaitu:

  1. Ucapan dan perbuatan itu meskipun bukan merupakan keyakinan, keduanya kadang tumbuh dari keyakinan dan menampakkan keyakinan itu. Dalam keadaan ini maka ucapan dan perbuatan mengambil hukum keyakinan dan seseorang mungkin dikafirkan dengan keduanya. Seorang muslim dikafirkan dalam empat keadaan:
    1. Dengan keyakinan seperti meyakini sesuatu dari selain Islam. Misalnya, meyakini kenabian salah seorang manusia setelah Muhammad saw, seperti orang yang meyakini kenabian al-Qadiyani. Maka dia dikafirkan dengan keyakinannya ini, sebab hatinya meyakini sesuatu dari selain Islam.
    2. Dengan keraguan. Hal itu seperti ragu pada satu perkara dari perkara Islam yang bersifat yakin. Siapa yang ragu pada kenabian Muhammad saw maka dengan itu ia menjadi kafir sebab hatinya tidak lagi terikat pada pembenaran atas kenabian Muhammad saw.
    3. Dengan ucapan yang tumbuh dari keyakinan. Seperti seseorang mengatakan bahwa tidak ada pencipta atau bahwa al-Quran al-Karim bukan merupakan wahyu Allah. Siapa yang mengatakan semisal ucapan ini dia menjadi kafir dengan ucapannya yang menunjukkan keyakinannya. Akan tetapi disyaratkan ucapan itu tidak mengandung takwil, melainkan jelas dan pasti dengan ucapan itu.
    4. Dengan perbuatan yang tumbuh dari keyakinan. Seperti bersujud kepada berhala atau shalat dengan shalatnya orang Yahudi dan Nashrani. Perbuatan seperti ini menunjukkan akidah pelakunya. Maka siapa yang bersujud kepada berhala atau shalat dengan shalatnya Yahudi atau shalat dengan shalatnya Nashrani, maka ia telah kafir dengan perbuatannya ini dikarenakan dalalahnya (penunjukkannya) terhadap keyakinannya yang menyalahi Islam. Demikian juga dalam kondisi ini, perbuatan tersebut tidak boleh mengandung takwil, akan tetapi harus jelas dan pasti dengan perbuatan itu.

Inilah empat kondisi yang dengannya seorang Muslim bisa dikafirkan. Meyakini sesuatu dari selain Islam dan meragukan sesuatu yang pasti dari Islam, keduanya tampak jelas merupakan aktivitas hati. Sebab keyakinan dan keraguan itu berkaitan dengan pembenaran. Adapun, ucapan dan perbuatan dari sisi ucapan dan perbuatan itu sendiri, keduanya bukan aktivitas hati, melainkan aktivitas lahiriyah dan lisan. Hanya saja karena keduanya terkait dengan aktivitas hati dengan dalalah (penunjukkan) bahwa keduanya lahir atas keyakinan yang ada di dalam hati, maka keduanya diperlakukan seperti i’tiqad dalam contoh-contoh yang telah disebutkan.

 

Adapun semua ucapan dan perbuatan lainnya yang tidak menunjukkan i’tiqad pelakunya, maka semua itu ada di luar wilayah kufur dan iman. Misalnya, orang yang melakukan suatu kemaksiatan dan dia mengakui Islam dan akidahnya. Karena itu, yang ditempuh oleh kaum Muslim adalah tidak mengkafirkan seorang Muslim karena dosa yang dilakukannya, kecuali jika di dalamnya ada pengingkaran, seperti orang yang tidak berpuasa dan mengingkari kewajiban puasa, maka dengan itu dia dikafirkan. Adapun orang yang tidak berpuasa, sementara dia mengakui kewajiban puasa maka ia fasik dan bukan kafir, sebab pengkafiran tidak terjadi kecuali dengan keyakinan. Jadi pengkafiran merupakan perkara besar dalam Islam. Rasul saw bersabda:

«إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا» رواه البخاري من طريق أبي هريرة

“Jika seorang laki-laki berkata kepada saudaranya, “ya kafir” maka tuduhan itu kembali kepada salah satu dari keduanya” (HR al-Bukhari dari jalur Abu Hurairah).

 

Dalam riwayat Ahmad dari Ibnu Umar dari Nabi saw, beliau bersabda:

«مَنْ كَفَّرَ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا»

“Siapa yang mengkafirkan saudaranya maka kekafiran itu kembali kepada salah satu dari keduanya”.

 

  1. At-tashdîqu al-jâzim (pembenaran yang pasti) secara bahasa memiliki dalâlatu iltizâm, yaitu kesesuaian lisan kepada hati. Maka lisan tidak mengingkari apa yang dibenarkan oleh hati secara pasti. Seorang yang mengatakan saya beriman kepada Allah dan memastikan bahwa Dia pencipta alam semesta ini dan tiada sekutu bagi-Nya, maka dia tidak akan mengatakan bahwa Allah keliru atau memiliki sekutu atau bukan Pencipta. Atau dia mengingkari apa yang diwajibkan oleh Allah SWT Sang Pencipta alam semesta, atas sesuatu yang terbukti dengan yakin bahwa Allah SWT telah memfardhukannya. Seperti orang mengatakan, “Saya beriman kepada Allah”, tetapi dia mengingkari shalat atau puasa atau suatu perkara yang telah diketahui secara dharurah merupakan bagian dari agama (ma’lûmun min ad-dîn bi adh-dharûrah), maka orang ini menjadi kafir, sebab dia mendustakan perintah Allah yang ditetapkan dengan pasti (qath’i).

Karena itu Iblis laknatullah ‘alayhi kafir, sebab dia mengingkari kebenaran perintah Allah kepadanya untuk bersujud kepada Adam. Dia beriman kepada wujud Allah, akan tetapi dia mengingkari kebenaran perintah Allah SWT. Allah SWT berfirman:

﴿قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ﴾

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah” (TQS al-A’raf [7]: 12).

 

Jadi Iblis mengumumkan bahwa Allah SWT keliru dalam perintah-Nya kepada dia untuk bersujud. Jadi iblis laknatullah ‘alayh memandang bahwa seharusnya Adam lah yang bersujud kepadanya, bukan dia bersujud kepada Adam. Jadi iblis la’anahullâh mengingkari kebenaran perintah Allah. Maka dengan itu ia menjadi termasuk orang-orang kafir yang berdosa. Begitulah, telah kafir pula orang-orang yang meyakini dalam hati mereka kebenaran ayat-ayat yang dibawa oleh Musa as, akan tetapi mereka mengingkarinya dengan lisan mereka dan mereka nilai sebagai sihir. Allah SWT berfirman:

﴿وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ﴾

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan” (TQS an-Naml [27]: 14).

 

Ringkasnya:

Hukum asal pada kekufuran bahwa itu merupakan keyakinan (i’tiqâd) dengan selain Islam, dan itu bukan ucapan atau perbuatan. Namun jika ucapan atau perbuatan itu tumbuh dari keyakinan atau di dalamnya ada pengingkaran untuk sesuatu bagian dari Islam yang bersifat qath’i, maka dalam kondisi ini ucapan dan perbuatan itu mengambil hukum keyakinan dan menjadi kekufuran, dan tempat berlindung hanya kepada Allah SWT.

 

  • Jawaban Pertanyaa Bagian Pertama:

Adapun bagaimana seseorang menjauhi kekufuran dan syirik dan mati sebagai muslim maka tempat kembali hal itu kepada dua perkara mendasar:

  1. Ia berjalan dalam mengambil akidah berdasarkan manhaj yang shahih yang dijelaskan oleh al-Quran al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Rambu-rambu paling pentingnya bisa kami ringkas dalam point-point berikut:
      1. Mengambil akidah dengan al-yaqîn (keyakinan) bukan dengan zhann (dugaan kuat), dengan keberadaan dalil-dalil yang menunjukkan apa yang dituntut merupakan dalil-dalil yang qath’i dalam hal tsubut (sumber) dan dalalah (makna)-nya.

    ﴿إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنْثَى * وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا﴾

    Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (TQS an-Najm [53]: 27-28).

     

    Jadi zhann (dugaan kuat) tidak cukup dalam hal akidah, akan tetapi wajib yaqîn dan qath’i.

    1. Memahami akidah dengan bersandar kepada dalil-dalil aqliyah dalam perkara-perkara yang dapat terjangkau oleh indera. Semisal berpikir tentang makhluk-makhluk Allah; dan bersandar kepada dalil-dalil naqli yang dibawa oleh wahyu dalam perkara-perkara ghaib yang tidak terjangkau indera, dan berhenti pada apa yang dinyatakan di dalam nas; yakni tidak memperumit pembahasan-pembahasan akidah islamiyah dan falsafahnya, akan tetapi mengambilnya dan memahaminya dengan mudah dan sederhana dan pada waktu yang sama dengan kedalaman dan kecemerlangan. Hal itu sama persis sebagaimana diambil dan dipahami oleh para sahabat Rasul saw:
  • Seseorang berpikir dan mentadaburi makhluk-makhluk, menelaah dan memahami bahwa ada Pencipta yang menciptakannya. Allah SWT berfirman:

﴿أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ * وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ * وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ * وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ﴾

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (TQS al-Ghasyiyah [88]: 17-20).

 

Allah SWT berfirman:

﴿أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ* أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ﴾

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan) (TQS ath-Thur [52]: 35-36).

 

Allah SWT berfirman:

﴿وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ * وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ﴾

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?(TQS adz-Dzariyat [51]: 20-21).

 

Kemudian mentadaburi ayat-ayat al-Quran al-Karim dan itu adalah mudah bagi orang yang dimudahkan untuknya oleh Allah SWT.

﴿وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ﴾

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan alQuran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (TQS al-Qamar [54]: 40).

 

Dan dia mengimani hukum-hukum dan hal-hal ghaib yang dibawa dan tidak masuk dalam pembahasan hal-hal ghaib yang tidak ada di bawah inderanya. Akan tetapi ia mengimaninya seperti yang dibawa wahyu. Jadi dia mengimani Asma-Asma Allah al-husna sebagaimana yang dinyatakan. Dia tidak masuk dalam pembahasan Zat Allah SWT:

﴿لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ﴾

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (TQS al-An’am [6]: 103).

 

Ia mengimani semua hal ghaib: Hari Akhir, Surga, Neraka … dll, dan membatasi diri dalam hal itu terhadap apa yang dinyatakan di dalam al-Quran al-Karim dan as-Sunnah ats-Tsabitah berasal dari Rasulullah saw tanpa tambahan atau pengurangan. Allah SWT berfirman:

﴿تِلْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهَا إِلَيْكَ مَا كُنْتَ تَعْلَمُهَا أَنْتَ وَلَا قَوْمُكَ مِنْ قَبْلِ هَذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ﴾

Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa (TQS Hud [11]: 49).

 

Allah SWT berfirman:

﴿قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ﴾

“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (TQS an-Naml [27]: 65).

 

  1. Muslim tersebut mukhlish dalam niatnya hanya untuk Allah SWT, membenarkan Rasulullah saw, bertawakal kepada Allah, mengikuti petunjuk-Nya, takwa kepada-Nya dan menjauhi kezaliman dan kemaksiyatan, berdoa kepada Allah SWT agar meneguhkannya di atas kebenaran dan keimanan seperti yang ada di dalam hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam Sunan-nya dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw memperbanyak mengucapkan:

«يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ»

“Wahai Zat yang membolak-balik hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”.

 

Dan berikutnya Allah akan meneguhkan dia dengan izin-Nya dengan ucapan yang teguh:

﴿يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ﴾

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (TQS Ibrahim [14]: 27).

 

Dan setiap kali ia bertakwa, ikhlas dan benar maka Allah akan memudahkan urusannya. Allah SWT berfirman:

﴿فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى(5) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى(6) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى(7) وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى(8) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى(9) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى(10) وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى(11) إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى(12) وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَى(13)﴾

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk, dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia(TQS al-Lail [92]: 5-13).

 

  1. Sebagai penutup saya mengarahkan perhatian penanya kepada point bahwa seorang muslim yang mengimani akidah Islam yakni mengimani Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasu-rasul-Nya, Hari Akhir serta Qadha’ dan Qadar baik dan buruknya, sebagaimana yang ada di dalam kitabullah SWT:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (TQS an-Nisa’ [4]: 136).

 

Dan sebagaimana yang ada di dalam hadits Rasul saw yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari dari Abu Hurairah ra dan yang dikeluarkan oleh imam Muslim dari Abdullah bin Umar, dan redaksi Muslim: Abdullah bin Umar berkata, bapakku Umar bin al-Khathab telah menceritakan kepadaku, ia berkata:

بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ  ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ ، فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : «الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا»، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ، وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ، قَالَ: «أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ»، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِحْسَانِ، قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ»… قَالَ: ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ لِي: «يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟» قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ»

“Ketika kami bersama Rasulullah saw suatu hari, datang kepada kami seorang laki-laki yang sangat putih pakaiannya, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat padanya bekas perjalanan, dan tidak ada seorang pun dari kami yang mengenalnya, sampai dia duduk kepada Nabi saw, dia menempelkan kedua lututnya ke lutut Nabi saw dan meletakkan kedau telapak tangannya di kedua paha Nabi saw, dia berkata: “Ya Muhammad beritahukan kepadaku tentang Islam”. Maka Rasulullah saw bersabda: “Islam adalah engkau bersaksi bawha tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasulullah saw, engkau dirikan shalat, engkau tunaikan zakat, engkau berpuasa Ramadhan, engkau berhaji ke Baitullah jika engkau mampu menempuh perjalanan ke sana”. Laki-laki itu berkata: “Engkau benar”. Umar berkata: “Maka kami heran padanya, dia bertanya tapi dia yang membenarkan”. Laki-laki itu berkata: “Beritahukan kepadaku tentang iman”. Nabi saw bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, dan engkau mengimani al-Qadar baik dan buruknya”. Laki-laki itu berkata: “Engkau benar”. Lalu ia berkata: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Rasulullah saw bersabda: “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”… Umar berkata: “Kemudian laki-laki itu pergi, maka aku berdiam beberapa waktu, kemudian Nabi saw bersabda kepadaku: “Ya Umar tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?” Aku katakan: “Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya ia adalah Jibril, dia datang kepada kalian mengajarkan kepada kalian agama kalian”.

 

Terakhir, saya memohonkan kepada Allah SWT untuk penanya, kehidupan yang ia habiskan di dalam ketaatan kepada Allah SWT dan ketaatan kepada rasul-Nya, sehingga ia meraih kesuksesan di dunia dan akhirat dan hal itu merupakan kesuksesan yang besar.

 

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

3 Sya’ban 1438 H

30 April 2017 M

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/43848.html#sthash.wSYH8cSr.dpuf

https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/622272917969783/?type=3&theater

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close