Tanya Jawab

Apakah Orang yang Bunuh Diri Dinilai Kafir?

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Bagaimana keadaan Anda ya amiruna?

Pertanyaan: apakah seorang muslim yang bunuh diri dinilai kafir, tidak dikuburkan di pekuburan kaum Muslim dan tidak dishalatkan?

Berilah manfaat kepada kami (dengan jawabannya), dan semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda.

Abu Khalid Walid ‘Abid Abu Khalid dari Jenin Palestina.

Dan semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda wahai saudaraku yang dimuliakan, saya sangat berterima kasih.

[Walid ‘Abid]

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Berkaitan dengan topik orang yang bunuh diri dan apakah dia dinilai kafir atau dia tetap di atas islamnya, masalah tersebut sebagai berikut:

Pertama: di dalam topik ini telah dinyatakan dail-dalil bahwa orang yang bunuh diri, dia kekal selamanya di Jahannam:

1- Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda:

«مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِداً مُخَلَّداً فِيهَا أَبَداً، وَمَنْ تَحَسَّى سُمّاً فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِداً مُخَلَّداً فِيهَا أَبَداً، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِداً مُخَلَّداً فِيهَا أَبَداً» متفق عليه واللفظ للبخاري

“Siapa yang menjatuhkan diri dari gunung dan membunuh dirinya sendiri maka dia di neraka Jahannam yang dia menjatuhkan dirinya di situ, dia kekal selamanya di dalamnya. Dan siapa yang menghirup racun dan membunuh dirinya sendiri maka racunnya itu di tangannya yang dia hirup di neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya selamanya. Dan siapa yang membunuh dirinya sendiri menggunakan pisau maka pisaunya ada di tangannya yang dia tusukkan di perutnya di neraka Jahannam kekal di dalamnya selamanya” (HR al-Bukhari dan Muslim, lafal al-Bukhari).

 

2- Dan dari al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra, yang ia marfu’kan, Rasul saw bersabda:

«مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِداً مُخَلَّداً أَبَداً، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِسُمٍّ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِداً مُخَلَّداً أَبَداً» أخرجه الترمذي

“Siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan pisau niscaya dia datang pada Hari Kiamat dan pisaunya ada di tangannya yang dia tusukkan di perutnya di neraka Jahannam, dia kekal selamanya di dalamnya. Dan siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan racun maka racunnya ada di tangannya yang dia hirup di neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya selamanya” (HR at-Tirmidzi).

 

Jelas dari hadits-hadits ini bahwa orang yang membunuh dirinya sendiri, dia akan kekal di neraka Jahannam “khâlidan mukhalladan abadan -dia kekal selamanya di dalamnya-“. Dan di dalam ini ada isyarat bahwa dia mati sebagai orang kafir.

Kedua: tetapi dinyatakan dalil-dalil lainnya bahwa dia mati di atas Islam tetapi dia menjadi orang yang melakukan dosa besar. Di antara dalil-dalil ini:

1- Dari Abu az-Zubair dari Jabir …. ketika Nabi saw berhijrah ke Madinah, ath-Thufail bin Amru berhijrah dan bersamanya seorang laki-laki dari kaumnya lalu mereka tidak cocok dengan cuaca Madinah dan laki-laki itu menderita sakit dan merasa putus harapan dan dia mengambil anak panah bermata lebar miliknya lalu dia memotong ruas-ruas jarinya lalu tangannya mengalirkan darah hingga dia meninggal, lalu ath-Thufail bin Amru di dalam mimpinya melihat laki-laki itu kondisinya baik dan dia lihat menutupi tangannya. Ath-Thufail bin Amru berkata kepadanya: “apa yang dilakukan Rabbmu kepadamu?” Laki-laki itu berkata: “Rabbku mengampuniku karena hijrahku kepada nabi-Nya”. Ath-Thufail berkata: “kenapa aku lihat kamu menutupi tanganmu?” Dia berkata: “dikatakan kepadaku, “kami tidak akan memperbaiki apa yang engkau rusak dari badanmu”. Lalu ath-Thufail mengisahkannya kepada Rasulullah saw, maka Rasulullah saw bersabda:

«اللَّهُمَّ وَلِيَدَيْهِ فَاغْفِرْ»

“Ya Allah kedua tangannya, ampunilah” (HR Muslim dari Jabir).

2- Dari Abu az-Zubair dari Jabir …. dia berkata: “ath-Thufail berhijrah dan bersamanya seorang laki-laki dari kaumnya lalu laki-laki itu sakit -lalu dia meracau atau mengucapkan kata-kata yang tidak jelas- lalu dia mendatangi tempat anak panah miliknya dan mengambil anak panah bermata lebar lalu dia gunakan memotong sendi ujung jarinya dan dia mati. Ath-Thufail melihatnya di dalam mimpi. Dia berkata: “apa yang Allah lakukan denganmu?” Laki-laki itu berkata: “Allah mengampuniku karena hijrahku kepada Nabi saw”. Ath-Thufail berkata: “kenapa tanganmu?” Dia berkata: “dikatakan kepadaku: “sesungguhnya kami tidak akan memperbaiki dari dirimu apa yang telah engkau rusak”. Jabir berkata: “ath-thufail pun mengisahkannya kepada Nabi saw lalu Beliau bersabda:

«اللَّهُمَّ وَلِيَدَيْهِ فَاغْفِرْ» ورفع يديه

“Ya Allah kedua tangannya ampunilah” Dan Beliau mengangkat kedua tangan Beliau.

Dikeluarkan oleh al-Hakim di al-Mustadrak dan ia berkata; “ini merupakan hadits shahih menurut syarat asy-Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak mengeluakannya”.

Jelas dari hadits-hadits ini bahwa orang yang bunuh diri, dia mati di atas Islam. Rasul saw memohonkan ampunan untuknya dan bahwa orang yang bunuh diri melakukan dosa besar sehingga dinyatakan di dalam hadits tersebut:

«لَنْ نُصْلِحَ مِنْكَ مَا أَفْسَدْتَ»، «إِنَّا لَنْ نُصْلِحَ مِنْكَ مَا أَفْسَدْتَ مِنْ نَفْسِكَ»

“Kami tidak akan memperbaiki dari (diri)mu apa yang telah engkau rusak”, “sesungguhnya kami tidak akan memperbaiki dari (diri)mu apa yang engkau rusak dari dirimu”.

 

Ketiga: jelas dari hadits-hadits ini tampaknya kontradiksi di antara hadits-hadits ini. Di bagian pertama, bahwa orang yang bunuh diri dia mati di atas kekufuran, sementara di bagian kedua bahwa orang yang bunuh diri dia mati sebagai muslim yang melakukan dosa besara dengan bunuh diri. Dan karenanya, bagian pertama, dilarang shalat atasnya atau dilarang dikuburkan di pemakaman kaum Muslim. Sedangkan bagian kedua, dia dishalatkan dan dikuburkan di pemakaman kaum Muslim. Artinya, di situ ada kontradiksi secara zhahir di antara hadits-hadits ini. Dan jika begitu, maka hadits-hadits ini ditolak secara dirayah atau dihimpun di antara hadits-hadits itu. Dan karena mengamalkan dua hadits lebih utama dari mengabaikan salah satunya, maka pertama-tama disengaja kepada menghimpunnya jika mungkin. Dan dengan menelaah di dalam kedua bagian hadits tersebut dan merenungkan perkaranya maka menghimpun di antara keduanya adalah mungkin. Yaitu, hadits-hadits bagian pertama adalah tentang orang yang bunuh diri sebagai kafir mengingkari hukum-hukum Islam yang telah diketahui merupakan bagian dari agama secara dharurah (ma’lumun min ad-dîn bi adh-dharûrah), artinya dia musyrik kepada Allah atau mengingkari shalat, puasa dan semisalnya. Orang yang bunuh diri ini, dia kafir dan tidak dishalatkan dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum Muslim. Adapun bagian kedua, orang yang mati di atas Islam tetapi dia bermaksiyat maka dia adalah orang yang bunuh karena sebab lain, seperti misalnya karena kegelisahan karena kesempitan hidup atau realitas buruk yang dia alami atau sebab-sebab semisal itu maka dia mati dalam kondisi melakukan dosa besar. Dan berikutnya, pertemuan di antara dalil-dalil ini adalah sebagai berikut:

Siapa yang bunuh diri dan dia telah mengumumkan kekufurannya di tengah orang-orang atau pengingkarannya terhadap hukum syara’ manapun yang sudah diketahui bersama termasuk bagian dari agama (ma’lûmun min ad-dîn bi adh-dharûrah) secara jelas dan ditegaskan maka dia mati di atas kekufuran. Dan siapa yang tertutup keadaannya, dia tidak mendeklarasikan kekufurannya di tengah orang-orang dan secara jelas dan tertentu tetapi dia tetap di atas islamnya dan dia bunuh diri maka dia ini mati di atas Islam dan dia dishalatkan serta dikuburkan di pemakaman kaum Muslim …

Keempat: oleh karena itu maka jawaban pertanyaan Anda tentang orang yang bunuh diri adalah sesuai apa yang kami sebutkan di point ketiga di atas. Jika orang yang bunuh diri itu tidak mengumumkan kekufurannya secara jelas dan tegas maka dia menjadi orang yang bermaksiyat melakukan dosa besar, tetapi dia mati tetap di atas Islam dan dia dishalatkan serta dikuburkan di pemakaman kaum Muslim.

Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini. Wallâh a’lam wa ahkam.

Kelima: perlu diketahui bahwa banyak dari fukaha kaum Muslim telah menghitung orang yan bunuh diri yang tertutupi keadaannya, yang dia tidak mengumumkan kekufurannya sebelum bunuh dirinya atau ketika bunuh diri, mereka menilainya sebagai Muslim yang jenazahnya dishalatkan dan dikuburkan di pemakanan kaum Muslim. Di antara para fukaha itu:

1- Dinyatakan di al-Mughni Ibnu Qudamah (II/415).

[Masalah: ia berkata: (imam jangan menyolatkan al-ghâlu dari ghanimah dan tidak pula terhadap orang yang bunuh diri). Al-ghâlu adalah orang yang menutupi ghanimahnya atau sebagiannya untuk dia ambil untuk dirinya sendiri dan mengkhususkan dengannya. Ini hendaklah imam tidak menyolatkannya, dan tidak pula terhadap orang yang bunuh diri secara sengaja. Dan semua orang menyolatkannya. Ahmad menyatakan atas kedua hal itu … Jabir bin Samurah meriwayatkan:

«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ جَاءُوهُ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“Nabi saw didatangkan kepada beliau laki-laki yang bunuh diri menggunakan anak panah bermata lebar lalu beliau tidak menyolatkannya” (HR Muslim).

Abu Dawud telah meriwayatkan:

«أَنَّ رَجُلاً انْطَلَقَ إلَى النَّبِيِّ ﷺ فَأَخْبَرَهُ عَنْ رَجُلٍ أَنَّهُ قَدْ مَاتَ، قَالَ: وَمَا يُدْرِيك؟ قَالَ: رَأَيْته يَنْحَرُ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ، قَالَ: أَنْتَ رَأَيْته؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: إذاً لَا أُصَلِّي عَلَيْهِ»

“Ada seorang laki-laki pergi menemui Nabi saw lalu dia memberitahu beliau tentang seorang laki-laki bahwa dia telah meninggal. Beliau bersabda: “apa yang kamu ketahui?” Laki-laki itu berkata: “aku melihat dia bunuh diri dengan anak panah bermata lebar”. Beliau bersabda: “engkau melihatnya?” Dia berkata: “benar”. Beliau bersabda: “jika begitu aku tidak menyolatkannya”.

 

Zaid bin Khalid al-Juhaniy telah meriwayatkan, dia berkata:

«تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنْ جُهَيْنَةَ يَوْمَ خَيْبَرَ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ. فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ الْقَوْمِ، فَلَمَّا رَأَى مَا بِهِمْ قَالَ: إنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ مِنْ الْغَنِيمَةِ»

“Seorang laki-laki dari Juhainah wafat pada perang Khaybar. Lalu hal itu disebutkan kepada Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: “shalatkan teman kalian”. Maka wajah kaum itu berubah. Ketika beliau melihat keadaan mereka itu, beliau bersabda: “teman kalian menutupi sebagian ghanimah”.

Imam Ahmad berhujah dengannya. Keengganan ini khusus untuk imam. Sebab Nabi saw ketika enggan menyolatkan orang yang menutupi ghanimah itu, beliau bersabda: “shalatkanlah teman kalian”. Dan diriwayatkan bahwa beliau memerintahkan untuk menshalatkan orang yang bunuh diri. Dan Nabi saw adalah imam, maka dilekatkan kepadanya orang yang menyamai beliau dalam hal itu (sebagai imam/khalifah). Dari tidak shalatnya Nabi saw tidak mengharuskan peninggalan shalat selain beliau. Nabi saw kala itu di awal islam, beliau tidak menyolatkan orang yang memiliki tanggungan utang yang tidak punya harta untuk melunasinya, dan beliau memerintahkan mereka untuk menyolatkannya … Abu Hurairah ra telah meriwayatkan:

«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ، فَيَقُولُ: هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ وَفَاءٍ؟ فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ، وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ الْفُتُوحَ قَامَ فَقَالَ: أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ، وَتَرَكَ دَيْناً، عَلَيَّ قَضَاؤُهُ، وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِلْوَرَثَةِ.»

“Nabi saw, kepada beliau di datangkan seorang laki-laki yang wafat dan dia memiliki tanggungan utang. Beliau bertanya: “apakah dia meninggalkan harta untuk melunasi utangnya?” Jika diceritakan bahwa dia meninggalkan harta untuk melunasinya maka beliau menyolatkannya, dan jika tidak maka beliau bersabda kepada kaum Muslim: “shalatkan teman kalian”. Ketika Allah memberikan berbagai kemenangan, beliau berdiri dan bersabda: “aku lebih utama dengan kaum Mukmin dari diri mereka sendiri, maka siapa dari ornag mukmin yang wafat dan dia meninggalkan utang, maka menjadi kewajibanku melunasinya, dan siapa yang meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya”.

At-Tirmidzi berkata: “ini merupakan hadits shahih”].

2- Dinyatakan di al-Mudawwanah karya imam Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amir al-Ashbahiy al-Madini (w. 179 H) (I/254):

[… ia berkata: imam Malik berkata: orang yang bunuh diri dishalatkan dan dilakukan apa yang dilakukan dengan orang dari kaum Muslim yang meninggal, sementara dosanya bagi dirinya sendiri. Dia berkata: “Malik ditanya tentang seorang wanita yang mencekik dirinya sendiri? Malik berkata: “shalatkan dia, sementara dosanya bagi dirinya sendiri”. Ibnu Wahab berkata, dan dia berkata: Atha’ bin Abi Rabah mengatakan semisal pendapat Malik. Dia berkata: Ali bin Ziyad berkata dari Sufyan dari Abdullah bin ‘Awn dari Ibrahim an-Nakha’iy, dia berkata: “as-sunnah bahwa orang yang bunuh diri dishalatkan”].

3- Dinyatakan di Syarhu an-Nawawi ‘alâ Muslim (VII/47):

[Ucapannya (kepada Nabi saw didatangkan seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah bermata lebar dan beliau tidak menyolatkannya). Al-masyâqish adalah anak panah bermata lebar, bentuk tunggalnya misyqash. Dan di dalam hadits ini ada dalil untuk orang yang mengatakan, orang yang bunuh diri tidak dishalatkan karena kemaksiyatannya. Dan ini merupakan pendapat Umar bin Abdul Aziz dan al-Awza’iy. Al-Hasan, an-Nakha’iy, Qatadah, Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’iy dan jumhur ulama mengatakan, orang yang bunuh diri dishalatkan. Mereka menjawab tentang hadits ini bahwa Nabi saw tidak menyolatkannya sendiri sebagai larangan untuk orang-orang dari perbuatan semisal ini, sementara para sahabat menyolatkannya. Dan ini seperti Nabi saw di awal perkara tidak menyolatkan orang yang memiliki tanggungan utang sebagai larangan untuk mereka dari gampang berutang dan dari mengabaikan pelunasan utang, dan beliau memerintahkan para sahabat beliau untuk menyolatkanya. Beliau saw bersabda: “shalatkan teman kalian …].

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

7 Dzul Qa’dah 1442 H

18 Juni 2021 M

 

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/76106.html

https://web.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2951377791774892

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close