Tanya Jawab

Apa yang Dimaksud Ma’qul an-Nash?

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah senantiasa menjaga Anda syaikhuna dan menolong Anda untuk mengemban amanah dan menguatkan Anda dengan pertolongannya dalam waktu dekat dengan izin-Nya:

Perkenankan saya syaikhuna dengan pertanyaan ini, semoga Allah senantiasa menjaga Anda.

Pertanyaan dalam Ushul Fiqh: kenapa kita menganggap al-‘illat itu sebagai ma’qûl an-nash, dan kita tidak menganggapnya bagian dari al-mafhûm, padahal al-‘illat dalâlah itu ditetapkan dengan dalâlah at-tanbîh wa al-îmâ`, padahal itu termasuk dalâlah al-mafhûm? Dan apa yang kita maksud dengan ma’qûl an-nash?

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Nash itu memiliki manthuq dan mafhum. Jika mungkin diistinbath ‘illat dari al-manthûq atau al-mafhûm maka dikatakan bahwa nash ini memiliki ma’qûl … Adapun jika tidak mungkin diistinbath al-‘illat dari al-manthûq atau dari al-mafhûm maka dikatakan bahwa nash ini tidak memiliki ma’qûl. Misalnya, sabda Rasul saw:

«… وَفِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ شَاةٌ…»، أخرجه البخاري

“… dan di dalam shadaqah (zakat) domba, adalah pada yang digembalakan, jika jumlahnya 40 – 120 …” (HR al-Bukhari).

Benar bahwa nash ini memiliki manthuq yaitu zakat domba yang digembalakan. Dan nash ini juga memiliki mafhum yaitu di sini mafhum mukhalafah yakni pada selain yang digembalakan tidak ada zakat. Tetapi nash tersebut dengan lafalnya juga menunjukkan ‘illat karena kata “sâ`imatihâ –(domba) yang digembalakan-“ merupakan washfun mufhimun -sifat yang memberi pemahaman-, yakni yang digembalakan. Oleh karena itu seandainya sebagian besar waktunya diberi makan maka tidak dizakati. Maka di sini dikatakan bahwa nash ini disamping manthuq dan mafhumnya juga memiliki ‘illat atau dengan ungkapan lainnya memiliki ma’qûl an-nash.

Olehnya itu, di situ tidak ada kontradiksi antara keadaan nash itu memiliki manthuq dan mafhum dengan keadaannya yang juga memiliki ma’qûl. Tetapi tidak semua nash seperti itu. Kadang kala nash itu memiliki manthuq dan mafhum tetapi tidak memiliki ma’qûl, yakni darinya tidak dipahami ‘illat. Misalnya, firman Allah SWT:

﴿فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوّاً

“Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh …” (TQS al-Qashshash [28]: 8).

Nash ini memiliki manhuq dan mafhum. Mereka menemukan Musa as, dan ini termasuk manthuq, tetapi bukan agar Musa menjadi musuh bagi mereka tetapi akibat diambilnya dia (mafhumnya) adalah Musa menjadi musuh bagi mereka, yakni bahwa akibat perkara ini adalah Musa menjadi musuh bagi mereka. Jadi di sini tidak ada ‘illat … Tetapi misalnya firman Allah SWT:

﴿وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ

“para mu’allaf yang dibujuk hatinya” (TQS at-Tawbah [9]: 60).

Di sini, nash tersebut memiliki manthuq dan mafhum, dan demikian juga darinya dipahami ‘illat. Yakni bahwa pembujukan hati adalah ‘illat pemberian mereka dari harta zakat. Maka jika perkaranya tidak lagi menyerukan pembujukan hati mereka, yakni banyaknya jumlah kaum Muslim dan kaum Muslim telah mulia maka di situ fakta orang-orang yang dibujuk hatinya tidak ada lagi. Oleh karena itu, orang-orang yang dibujuk hatinya diberi dari harta zakat di awal Islam. Ketika Islam telah mulia dan kaum Muslim jumlahnya banyak maka Umar ra melarang pemberian mereka. Jadi pembujukan hati di sini merupakan ‘illat dalâlah disebabkan sifat yang memberikan pemahaman untuk pembujukan hati.

Dan berdasarkan hal itu maka jawaban pertanyaan Anda menjadi sebagai berikut:

1- Di situ tidak ada kontradiksi antara al-‘illat dalâlah yang diistinbath dari nash jika di dalamnya ada sifat yang memberi pemahaman (washfun mufhimun) dengan keberadaan nash itu memiliki manthuq dan mafhum. Dengan ungkapan lain, kadang kala nash itu memiliki manthuq dan mafhum dan pada saat yang sama darinya dipahami ‘illat dalâlah. Al-‘illat dalâlah tidak berarti dia tidak diistinbath dari nash baik dari manthuqnya semisal al-‘illat sharâhah seperti sabda Rasul saw:

«إِنَّمَا جُعِلَ الِاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ»، أخرجه البخاري

“Tidak lain dijadikannya meminta izin itu untuk melihat” (HR al-Bukhari).

 

Atau dari mafhumnya semisal al-‘illat dalâlah sebagaimana yang kami sebutkan di atas dalam hadits:

«… وَفِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ شَاةٌ…»، أخرجه البخاري

“… dan di dalam shadaqah (zakat) domba, adalah pada yang digembalakan, jika jumlahnya 40 – 120 …” (HR al-Bukhari).

 

Dan ayat:

﴿وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ

“para mu’allaf yang dibujuk hatinya” (TQS at-Tawbah [9]: 60).

 

2- Adapun apa itu ma’qûl an-nash, maka itu adalah al-‘illat asy-syar’iyyah yakni jika dari nash dengan manthuq atau mafhumnya dipahami ‘illat maka dikatakan bahwa nash ini memiliki ma’qûl. Adapun jika nash itu memiliki manthuq dan mafhum saja dan darinya tidak diistinbath ‘illat maka dikatakan bahwa nash ini memiliki manthuq dan mafhum dan tidak memiliki ma’qûl.

Kami telah menjelaskan perkara ini di buku-buku kami. Dan akan saya kutipkan sebagian apa yang dinyatakan di buku-buku kami:

– Dinyatakan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz iii halaman 66-68: [dan dalil-dalil syar’iy itu ada dua: pertama, kembali kepada lafal nash dan apa yang ditunjukkan oleh manthuq dan maafhumnya; dan kedua, kembali kepada ma’qûl an-nash, yakni kembali kepada al-‘illat asy-syar’iyyah …].

– Demikian juga dinyatakan di dalam asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz iii halaman: 347-349 pada bab al-‘Illat:

[… jadi an-nash itu jika tidak mengandung ‘illat maka dia memiliki manthuq dan memiliki mafhum tetapi tidak memiliki ma’qûl, sehingga kepadanya tidak digabungkan yang lainnya sama sekali. Tetapi jika mengandung ‘illat, dengan digabungkannya hukum di situ melalui sifat yang memberi pemahaman (washfun mufhimun), maka nash itu memiliki manthuq, memiliki mafhum dan memiliki ma’qûl sehingga kepadanya digabungkan yang lainnya. Jadi adanya ‘illat menjadikan nash mencakup jenis-jenis lainnya dan individu-individu peristiwa lainnya, tidak dengan manthuqnya dan tidak pula dengan mafhumnya, tetapi dengan jalan penggabungan (al-ilhâq) dikarenakan perserikatannya dengan apa yang ada di dalam ‘illat.  Jadi ‘illat di situ merupakan sesuatu yang baru tambahan atas dalâlah terhadap hukum. Dan ‘illat itu merupakan perkara yang membangkitkan pensyariatan hukum …].

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

16 Dzul Qa’dah 1442 H

27 Juni 2021 M

 

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/q-a/76270.html

https://web.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2957675177811820

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close