Perkataan Ulama

AHLUS SUNNAH: KHILAFAH WAJIB DAN DALILNYA QATH’I. MENGINGKARINYA BERDOSA SERIUS APALAGI MENGHALANG-HALANGI!

Al-Imam Abu Al-Hasan Saifuddin Al-Amidi Asy-Syafi’i (w. 631 H)

Dalam kitabnya Ghâyah al-Marâm fî ‘Ilm al-Kalâm, menjelaskan:

اﻟﻄﺮﻑ اﻷﻭﻝ: ﻓﻰ ﻭﺟﻮﺏ اﻹﻣﺎمة ﻭﻣﺎ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﻬﺎ.
ﻣﺬﻫﺐ ﺃﻫﻞ اﻟﺤﻖ ﻣﻦ اﻹﺳﻼﻣﻴﻴﻦ ﺃﻥ ﺇﻗﺎﻣﺔ اﻹﻣﺎﻡ ﻭاﺗﺒﺎﻋﻪ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺷﺮﻋﺎ ﻻ ﻋﻘﻼ ، ﻭﺫﻫﺐ ﺃﻛﺜﺮ ﻃﻮاﺋﻒ اﻟﺸﻴﻌﺔ ﺇﻟﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﺫﻟﻚ ﻋﻘﻼ ﻻ ﺷﺮﻋﺎ ، ﻭﺫﻫﺐ ﺑﻌﺾ اﻟﻘﺪﺭﻳﺔ ﻭاﻟﺨﻮاﺭﺝ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﻟﻴﺲ ﻭاﺟﺒﺎ ﻻ ﻋﻘﻼ ﻭﻻ ﺷﺮﻋﺎ.

“Bagian pertama: tentang kewajiban imamah/khilafah dan hal-hal terkait. Pendapat ahlul haq (Ahlussunnah wal Jama’ah) dari kalangan umat Islam adalah bahwa mewujudkan seorang imam/khalifah dan menaatinya bagi kaum muslim merupakan kewajiban syar’i, bukan kewajiban ‘aqli. Sedangkan sebagian besar sekte syi’ah berpendapat bahwa ia wajib ‘aqli, bukan wajib syar’i. Dan sedangkan sebagian qadariyah dan khawarij berpendapat bahwa ia tidak wajib sama sekali, baik secara ‘aqli maupun syar’i.”¹

Masih di kitab yang sama, beliau menegaskan:

ﻗﺎﻝ ﺃﻫﻞ اﻟﺤﻖ اﻟﺪﻟﻴﻞ الحق اﻟﻘﺎﻃﻊ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﻗﻴﺎﻡ اﻹﻣﺎﻡ واتباعه ﺷﺮﻋﺎ ﻣﺎ ﺛﺒﺖ ﺑﺎﻟﺘﻮاﺗﺮ ﻣﻦ ﺇﺟﻤﺎﻉ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻰ اﻟﺼﺪﺭ اﻷﻭﻝ ﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺓ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﻣﺘﻨﺎﻉ ﺧﻠﻮ اﻟﻮﻗﺖ ﻋﻦ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻭﺇﻣﺎﻡ ، ﺣﺘﻰ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﻰ ﺧﻄﺒﺘﻪ اﻟﻤﺸﻬﻮﺭﺓ ﺑﻌﺪ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: ﺃﻻ ﺇﻥ ﻣﺤﻤﺪا ﻗﺪ ﻣﺎﺕ ﻭﻻ ﺑﺪ ﻟﻬﺬا اﻟﺪﻳﻦ ﻣﻤﻦ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻪ . ﻓﺒﺎﺩﺭ اﻟﻜﻞ ﺇﻟﻰ ﺗﺼﺪﻳﻘﻪ ﻭاﻹﺫﻏﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﻗﺒﻮﻝ ﻗﻮﻟﻪ ، ﻭﻟﻢ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﻓﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ، ﻭﻻ ﺗﻘﺎﺻﺮ ﻋﻨﻪ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﺎﺏ اﻟﺪﻳﻦ ، ﺑﻞ ﻛﺎﻧﻮا ﻣﻄﺒﻘﻴﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﻓﺎﻕ ، ﻭﻣﺼﺮﻳﻦ ﻋﻠﻰ ﻗﺘﺎﻝ اﻟﺨﻮاﺭﺝ ﻭﺃﻫﻞ اﻟﺰﻳﻊ ﻭاﻟﺸﻘﺎﻕ ، ﻭﻟﻢ ﻳﻨﻘﻞ ﻋﻦ ﺃﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﺫﻟﻚ ﻭﺇﻥ اﺧﺘﻠﻔﻮا ﻓﻰ اﻟﺘﻌﻴﻴﻦ.

“Ahlul haq (Ahlussunnah wal Jama’ah) berpendapat: dalil yang haq serta kebenarannya pasti (qath’i) tentang wajib syar’i nya mewujudkan serta menaati seorang imam/khalifah adalah riwayat mutawatir tentang terjadinya ijmak (konsensus) kaum muslim di periode awal pasca wafatnya Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- untuk tidak membiarkan terjadi masa kekosongan dari seorang imam/khalifah. Sampai-sampai Abu Bakar dalam khutbahnya yang terkenal sepeninggal Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- berkata: ‘Ketahuilah bahwa Nabi Muhammad telah wafat, maka harus ada seseorang yang menggantikan posisi beliau’. Seluruh sahabatpun serentak membenarkan serta patuh menerima perkataan beliau. Tidak ada seorangpun di antara kaum muslim yang menyelisihi hal itu. Juga tidak ada seorangpun dari kalangan ulama yang melalaikannya. Bahkan mereka sepakat membenarkannya. Terus dalam memerangi kaum khawarij, kalangan menyimpang dan pemecah belah (persatuan umat islam). Tidak ada seorangpun dari mereka yang diriwayatkan mengingkari hal itu. Sekalipun mereka berbeda dalam menentukan (siapa sosok imam/khalifahnya).”²

¹Al-Amidi, Abu al-Hasan Saifuddin Ali bin Abu Ali ats-Tsa’labi. 2004. Ghâyah al-Marâm fî ‘Ilm al-Kalâm. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah) hlm. 309, 311
²Ibid. hlm 311

Fawaid:
• Khilafah hukumnya wajib syar’i bukan wajib ‘aqli. Artinya wajib berdasarkan dalil syara’ bukan wajib/harus berdasarkan akal yang biasanya merujuk pada kebiasaan dan tradisi semata.

• Tidak ada di antara ahlussunnah wal jama’ah yang menolak kewajiban imamah/khilafah, bahkan walaupun sekedar menganggapnya sebagai wajib ‘aqli.

• Menurut Ahlussunnah wal jama’ah kewajiban khilafah dalilnya bersifat qath’i (pasti benarnya), secara tsubut maupun dilalah. Yakni ijmak sahabat yang diriwayatkan secara mutawatir atas wajibnya mengangkat seorang khalifah pasca wafatnya Rasulullahshallallahualaihiwasallam.

• Menyalahi perkara wajib syar’i akan mengakibatkan dosa. Terlebih jika dalilnya qath’i, maka konsekwensi sangat serius.

• Perbedaan dalam menentukan siapa sosok khalifah tidak otomatis menegasikan syariat keharusan adanya seorang khalifah.

 

Ustadz Azizi Fathoni

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close